Kenyataan ini lebih meresapkan kesedihan ketimbang membesarkan hati. Sebab, selama kita terus saja mendapati kabar pengungkapan berkorupsi dan penangkapan langsung terhadap orang yang sedang korupsi, yang sesungguhnya kita dapati adalah sebuah kenyataan pahit bahwa bangsa kita begitu giat melakukan korupsi. Giatnya koruptor dalam berkorupsi tidak kalah dengan tekunnya para penyidik KPK membongkar korupsi.
Kenyataan ini dapat membuat kita berpikir betapa kegiatan pemberantasan yang dilakukan KPK, kendati begitu penting, tak mengurangi kejadian korupsi. Jadi, mengandalkan pembongkaran dan penangkapan oleh KPK saja tidaklah cukup; perlu ditemukan jalan-jalan yang lain untuk mengurangi korupsi.
Perbuatan nekat
Melakukan korupsi di tengah kurun waktu yang ditandai oleh keberadaan KPK yang begitu sigap dan galak adalah sebuah kenekatan. Barangkali tidak kalah dengan nekatnya pelaku pengeboman bunuh diri. Setiap kenekatan terjadi karena kepercayaan mutlak terhadap sebuah jalan tunggal dalam upaya mencapai tujuan.
Orang yang nekat adalah manusia yang bersikeras untuk menjalankan sebuah cara karena ia tidak melihat atau tak punya jalan yang lain. Orang yang melakukan pengeboman bunuh diri hanya memiliki satu cara untuk mengalahkan lawan, yaitu dengan membunuh. Membunuh jadi cara tunggal yang mutlak, maka ia membunuh musuh sekaligus membunuh diri sendiri. Pelaku korupsi melihat korupsi sebagai satu-satunya jalan untuk mendapatkan banyak uang. Ia begitu percaya pada cara tunggal itu; sekaligus dia tak mengetahui jalan-jalan yang lain buat mendapatkan uang yang berlimpah.
Keterpakuan pada satu-satunya jalan adalah biang keladi setiap kenekatan. Karena yang ada hanya satu jalan saja, maka jalan itu diulang-ulang penggunanya. Inilah sebabnya kita melihat bahwa berbuat korupsi dan meledakkan bom bunuh diri itu selalu saja diulang-ulang kendati pemberantasan korupsi dan penghukuman terhadap koruptor, serta pengejaran dan pemenjaraan teroris begitu gencar dilakukan.
Psikoanalisis menggarisbawahi betapa pengulang-ulangan cara tunggal di tengah kehidupan adalah inti dari psikopatologi (Summers, 2013). Hal yang sedemikian pokok, yang bersarang dalam gangguan jiwa, adalah keterpakuan manusia pada cara tunggal dan pengulang-ulangan penerapan jalan satu-satunya itu dalam menjalani kehidupan. Apa yang membikin pribadi hanya kenal pada satu jalan belaka dan buta terhadap alternatif lain yang acapkali lebih baik, benar, dan efektif untuk mencapai tujuan?
Jawaban yang mendasar diinspirasikan oleh Emmanuel Levinas (1961) bahwa hal itu terjadi ketika manusia mengurung keberadaannya hanya dalam dirinya sebagai totalitas, seolah dirinya adalah seluruhnya. Sementara orang lain dan dunia di sekitarnya hanya obyek-obyek belaka bagi sang diri. Sebagai sebuah totalitas, diri menjadi begitu picik, tertutup, dan terbatas. Dalam keadaan seperti inilah, pribadi cenderung hanya mengenal sedikit cara saja dalam menjalani kehidupan, bahkan sampai pada sekadar tahu sebuah jalan tunggal, atau cara satu-satunya, untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Filsuf Perancis itu menyampaikan pemikirannya betapa sesungguhnya manusia dapat menghayati dirinya dalam ketersambungan dengan orang-orang lain dan dunia di sekitarnya yang tak berhingga. Diri yang semula adalah totalitas yang begitu angkuh tetapi picik, punya kesempatan meluaskan hidupnya dengan menjalin hubungan dengan "yang tak berhingga", yaitu sesamanya dan lingkungannya.
Perjumpaan dan ketersambungan diri dengan yang tak berhingga itulah yang memungkinkan pribadi tak lagi terpaku pada jalan tunggal yang diulang-ulang dalam menjalani hidupnya. Namun, untuk itu pribadi niscaya sudi mengalami "tatapan mata sesama" yang memberikan dampak interogatif dan imperatif kepadanya, seolah sesama manusia itu, melalui tatapan matanya, berseru: "Jangan binasakan aku!" Kesediaan mengalami tatapan mata orang lain yang mengguncang totalitas itu menjadi sebuah momen afektif atau saat yang mengantar pribadi untuk menyelami dan mengerti perasaan orang-orang lain.
Pada perspektif ini, komunikasi yang dijalin antara diri dan sesama adalah penerjemahan intersubyektif dari penghayatan dan pengertian atas dunia afektif itu. Di tengah hubungan intersubyektif itulah pribadi menjadi begitu luas dan terbuka, tidak terikat pada jalan tunggal yang akan sedemikian membelenggu.
Menutup diri
Pelaku korupsi dan pengebom bunuh diri hanyalah sebagian dari pribadi-pribadi yang menutup diri terhadap perjumpaan dan kemungkinan ketersambungan diri mereka dengan sesama (rakyat; masyarakat). Para koruptor dan teroris adalah insan-insan yang menobatkan diri secara mutlak sebagai totalitas yang seolah-olah sendirian menempati dan memenuhi dunia, menganggap remeh orang lain dan lingkungan yang bagi mereka tak lebih dari obyek-obyek eksploitasi belaka. Ia terlalu sibuk dan asyik dengan diri dan rancangan-rancangan mereka sendiri, dengan keengganan yang sangat parah terhadap kemungkinan menyelami dan menghayati dunia perasaan sesama manusia.
Barangkali, sebagai totalitas, mereka merasakan keasyikan autistik tanpa bisa menyadari betapa mereka sedemikian picik, miskin, dan karena itu hanya mengenal jalan tunggal yang seperti begitu mutlak dan selalu diulang-ulang perwujudannya dalam kehidupan: meraup uang berlimpah melalui korupsi; mengalahkan lawan dengan membunuh. Bisa jadi, resep singkatnya sederhana: bukalah mata terhadap wajah dan perasaan sesama, jalankan kehidupan dengan sungguh menimbang perasaan dan seruan mereka.
Pada tingkat prevensi yang begitu mendasar, bangsa perlu menjalankan pendidikan untuk menjadi peka terhadap dunia rasa atau afek sesama manusia, bagi anak-anaknya, sejak usia dini, mulai dari lingkup keluarga hingga sekolah-sekolah. Dan, sederhana saja, itu hanya terjadi ketika orangtua, guru, tokoh masyarakat, penguasa meneladankan sikap dan perbuatan yang peka terhadap afek sesama, perasaan masyarakat, dan seruan rakyat.
LIMAS SUTANTO, PSIKIATER KONSULTAN PSIKOTERAPI, TINGGAL DI MALANG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Korupsi dan Bom Bunuh Diri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar