Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 09 Juli 2016

Keraguan terhadap Uni Eropa (PETER GONTHA)

Kalangan yang skeptis terhadap euro sekarang memiliki payung untuk menyampaikan atau paling tidak alasan untuk meneruskan perjuangannya melawan kesepakatan Uni Eropa, lebih-lebih setelah Inggris keluar (Brexit) dari Uni Eropa berdasarkan hasil referendum 23 Juni lalu.

Di seluruh Eropa, mereka yang anti Uni Eropa (UE) bersorak-sorai. Sekarang dari kejauhan mereka dapat mencium atau melihat akhir dari UE. Mereka berpandangan perjuangan mereka membubarkan UE akan berhasil apabila seluruh kekuatan mereka disatukan di dalam satu wadah.

Ternyata memang selama ini tahap demi tahap telah terjadi kebencian terhadap keangkuhan birokrat UE di Brussels, yang  telah diberi julukan Eurocrat. Kalau  menonton televisi, jelas terlihat tanda "V" (victory, kemenangan), bukan untuk kemenangan sebuah kesebelasan di tengah laga Piala Eropa, tetapi untuk kemenangan Brexit (Inggris keluar dari UE),  dan tentunya ini datang dari kubu anti UE.

"Pembebasan telah terjadi, marilah kita rayakan kemenangan," kata Marine Le Pen, pemimpin Front National Perancis, dengan senyumnya yang sinis. Untuk kalangan  Euroskeptik, kelompok yang skeptik terhadap euro, referendum Brexit pada 23 Juni  adalah titik balik terhadap perjuangan mereka selama 5-10 tahun terakhir.

UE dinilai gagal total dalam mengembangkan ekonomi maupun politik terpadu. Pada akhirnya perjuangan Euroskeptik telah mencapai kematangan, dan terkesan cenderung meluas.

Latar belakang

Sekitar 10 tahun lalu para aktivis anti UE di Brussels masih dianggap sebagai anak taman kanak-kanak yang hanya mencari perhatian. Namun, kekuatan haluan kanan Perancis dan Belanda telah menggalang kekuatan masyarakat untuk tidak menyetujui Undang-Undang Dasar Eropa.

Perlu dikemukakan pula, suara kelompok anti UE di Parlemen Eropa disepelekan sebagai taman kanak-kanak. Kelompok penentang UE tidak dapat membentuk "fraksi" sehingga hampir tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menyampaikan pendapatnya.

Kalaupun, misalnya, kelompok penentang ini berhasil membuat fraksi, ini pun tidak akan bertahan lama, karena di antara mereka selalu terjadi perbedaan dan pertentangan pendapat yang teramat besar. Kesulitan mengatasi perbedaan pendapat inilah yang dihadapi Partai Front National dari Austria maupun Partai Lega Nord dari Italia sebagai tantangan serius dalam upayanya membentuk satu fron dengan partai ultra kanan Ataka dari Bulgaria maupun Partai Liga Kekeluargaan dari Polandia.

Sementara orang, seperti Nigel Farage, pemimpin kelompok Brexit dari Inggris dianggap "badut" yang lucu, tetapi disebut-sebut tidak membahayakan. Sebagai jawaban dari ketidaksetujuan wakil dari Belanda atas beberapa usulan di Parlemen Eropa, para pemimpin UE mengadakan sebuah konferensi dengan  tema, "Suara Eropa" (The Sound of Europe).

Topik konferensi atau pertemuan antarpimpinan ini dianggap sebagai pengganti Europe a Beautiful Idea, tetapi banyak hal yang terlupakan dan justru dianggap remeh oleh pemimpin UE tersebut.

Musuh bersama

Yang menjadi alasan utama para "pejuang" anti UE adalah kehilangan identitas masing-masing negaranya, tetapi pada waktu terjadi ketidakpuasan terhadap efek globalisasi dan krisis keuangan dunia, pada saat itulah kelompok anti UE merasakan datangnya angin segar.

Juga menarik untuk diperhatikan pada saat itu adalah bahwa tiba-tiba pertentangan kelompok haluan kiri dan kanan terasa tidak terlihat bahkan terkesan menjadi rukun. Kelompok dan partai kanan yang sangat populis, seperti United Kingdom Independence Party (UKIP) di Inggris dan Front National dari Perancis menemukan kerukunan dengan partai ultra kiri yang anti UE, seperti Partai Syriza dari Yunani dan Partai MoVimento 5 Stelle (Gerakan 5 Bintang) dari Italia.

Musuh bersama adalah Brussels, dan menurut Syriza (partai berhaluan kiri Yunani) dan Partai Podemos dari Spanyol, penduduk dan masyarakat negara selatan dihadapkan dengan kebijakan penghematan yang sangat kejam dari pihak negara UE yang kaya, sementara sebaliknya Partai Alternative fur Deutschland (AfD), The Alternative for Germany, yang sangat ultra kanan menganggap bahwa UE terlalu banyak memberikan uang para pembayar pajak Jerman kepada Yunani.

Menurut mereka, Yunani tidak mempunyai harapan untuk menyelesaikan krisis ekonominya. AfD adalah partai yang juga sangat menentang masuknya imigran Timur Tengah ke daratan Eropa. Dengan adanya krisis imigran yang dihadapi Eropa, keyakinan AfD mulai mendapatkan perhatian masyarakat. Di sinilah ultra kanan meyakini bahwa serangan terakhir yang mematikan terhadap UE harus dilakukan sekarang juga.

Hanya saja menjadi kendali adalah format apa yang harus digunakan masih merupakan tanda tanya. Le Pen dan pemimpin Partai Partij voor de vrijheid (PVV) atau Partai untuk Kebebasan) dari Belanda menuntut adanya referendum mengenai keanggotaannya di UE. Dalam hal ini AfD belum sampai taraf ingin keluar dari UE.

Meski demikian, AfD meminta bahwa kekuasaan UE Brussels yang berkelebihan, dipangkas, keterlibatannya hanya pada persoalan ekonomi, tetapi tidak mencampuri urusan politik dan pemerintahan negara anggota UE. Hal ini sangat jelas terlihat di Polandia, antara lain karena partai berkuasa terang-terangan menantang Parlemen UE.

Ekonomi dan euro

Partai-partai anti UE yang kaya juga mengusulkan ditiadakannya mata uang euro untuk mencegah negaranya kembali menyelamatkan negara selatan yang "miskin" dari keterpurukan  ekonominya. Partai MoVimento 5 Stelle dari Italia meminta agar segera diadakan referendum mengenai peniadaan mata uang euro tersebut. Partai Dansk Folkeparti (Partai Rakyat) dari Denmark yang merupakan partai pendukung pemerintahan minoritas juga ingin agar Denmark mempertimbangkan untuk keluar dari UE apabila tak adanya perubahan kebijakan di Brussels.

Singkat kata, sampai saat ini belum ada kesepakatan antara partai yang populis bagaimana mengurangi kekuasaan yang dimiliki para Eurokrat di Brussels. Yang sangat bahaya bagi kelangsungan UE adalah, bahwa adanya banyak partai berkuasa, seperti Prawo i Sprawiedliwo (Law and Justice) di pemerintahan Polandia yang meminta agar banyak kesepakatan di UE diubah.

Apabila hal ini sampai terjadi, negara anggota pro-UE akan membuka kesempatan untuk diadakannya berbagai referendum yang sangat mungkin akan berakibat berakhirnya kesepakatan UE. Problematik ini sudah muncul dalam perbincangan di berbagai televisi, surat kabar, dan diskusi akademik di Eropa.

PETER GONTHADUTA BESAR INDONESIA UNTUK POLANDIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Keraguan terhadap Uni Eropa".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger