Kawanan gajah yang memakan berbagai jenis tanaman di sekitar permukiman warga disebabkan menyempitnya ruang penghidupan gajah di suaka margasatwa Balai Raja, dari semula seluas 18.000 hektar menjadi tinggal 120 ha. Hal ini akibat ekstensifikasi perkebunan sawit dalam 10 tahun terakhir.
Penyempitan ruang penghidupan bukan hanya pada satwa, juga dialami warga lapis bawah yang sumber nafkahnya dari sektor informal di wilayah perkotaan. Hal ini tak lepas dari makin terbatasnya ruang (publik) yang dapat dijadikan tempat usaha ataupun karena adanya ragam larangan berusaha di sejumlah kawasan. Alhasil, untuk melanjutkan kehidupan ekonominya, warga harus mencari ruang-ruang baru atau bertahan di ruang lama yang terlarang sekalipun berjibaku menghadapi penggusuran oleh satpol PP.
Di Jakarta, misalnya, penggusuran sektor informal merupakan pemandangan biasa karena nyaris berlangsung tiap minggu. Menurut LBH Jakarta, tahun 2015 setidaknya ada 113 kasus dengan korban 8.145 keluarga dan 6.283 unit usaha yang terdampak serta 67 persen kasusnya dibiarkan tanpa solusi. Penegakan hukum atas tindak penggunaan ruang publik bagi kegiatan komersial yang mengganggu aktivitas warga lain memang penting dilakukan. Namun, yang tak kalah penting adalah penuntasan akar masalahnya, yaitu penyediaan ruang dalam menjamin kelangsungan penghidupan warga.
Ketidakadilan
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan suatu wilayah, ke depan konflik perebutan ruang untuk kegiatan ekonomi tampaknya akan semakin meningkat baik frekuensi, wilayah, dan para pihak yang terlibat. Pemanfaatan ruang publik bagi kegiatan komersial sesungguhnya bukan semata dilakukan warga lapis bawah. Pengusaha dengan dukungan penguasa disinyalir justru yang banyak mengakuisisi ruang publik untuk kepentingan usahanya. Di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, diperkirakan areal ruang terbuka hijau telah berkurang dari 35 persen pada 1970-an jadi 10 persen pada saat ini karena dialihkan sebagai kawasan bisnis yang meliputi perkantoran, mal, dan hotel.
Ini menunjukkan, langkah pemerintah mengatasi keterbatasan ruang usaha cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi semata. Sekalipun berdampak pada kesenjangan, ketakadilan, dan kerusakan ekologi. Indikasinya, pemberian izin konversi hutan untuk perkebunan dan pertambangan sehingga membuat satwa keluar habitat ekosistemnya. Termasuk reklamasi pantai untuk pengembangan industri dan properti yang menyebabkan akses nelayan mencari ikan terhambat.
Demikian pula yang terjadi pada penggusuran terhadap lapak/ kios dari komunitas marjinal karena secara fisik dinilai mengganggu kenyamanan dan keindahan kota. Padahal, disadari penggusuran bukan hanya mengambil barang dagangan dan alat produksi lainnya, tetapi yang lebih parah mematikan sumber nafkahnya serta menyalahi konstitusi negara berkenaan dengan hak sosial, ekonomi, dan budaya.
Kegagalan pemerintah dalam mencari solusi yang adil dalam perebutan ruang penghidupan telah menimbulkan, pertama, tumbuhnya ketakpuasan politik dari kelas menengah terdidik. Sekalipun tidak memiliki pertalian darah dan bisnis, kelompok ini justru aktif melakukan protes baik melalui media sosial, demontrasi, hingga aksi penggalangan dana dan logistik untuk membantu korban. Paul Mason (Editor Ekonomi BBC) dalam tulisannya , Why It's Kicking Off Everywhere: The New Global Revolutions, mengatakan, bahwa kaum muda terdidik percaya faktor ketakadilan bukan semata masalah ekonomi, tetapi lebih karena penerapan kekuasaan yang sewenang-wenang.
Kedua, terhentinya aktivitas ekonomi sektor informal akibat ketiadaan ruang usaha membuat penurunan pendapatan dan berimplikasi atas peningkatan kesenjangan di antara warga. Menurut Bank Dunia, ketimpangan di Indonesia kian meluas karena manfaat dari pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati 20 persen masyarakat terkaya. Adapun 80 persen penduduk atau lebih dari 205 juta orang tetap tertinggal.
Jaminan penghidupan
Keberadaan warga lapis bawah yang berusaha di ruang publik tidak sepenuhnya salah karena sering kali difasilitasi oleh aparat pemerintah lokal (kelurahan). Terlebih, mereka juga berguna dalam melayani kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah, terutama di bidang jasa dan perdagangan. Kebijakan menyingkirkan hak warga dalam berniaga di ruang-ruang strategis tampaknya perlu dikaji kembali. Hal ini mengingat walau digusur ratusan kali pun, mereka tetap kembali karena di situlah tumpuan kehidupan mereka.
Pemerintah perlu memikirkan suatu kebijakan yang menyediakan ruang usaha bagi masyarakat miskin di sektor informal untuk mengoptimalkan peluang ekonomi yang tumbuh subur di wilayah perkotaan. Dengan demikian, aktivitas usahanya tak membuat ruang publik berantakan: menyumbat jalan-jalan, bersaing secara tak adil dengan usaha formal, dan membatasi kemajuan warga yang terpinggirkan. Adanya ruang yang nyaman dan didukung struktur dan kerangka peraturan yang membantu kemajuan usaha kecil komunitas marjinal ini bukan saja menarik pembeli, juga dapat melestarikan keamanan penghidupan warga.
Memang, untuk mewujudkan kondisi tersebut dibutuhkan alokasi anggaran yang besar dan seharusnya pemerintah tidak mempersoalkan. Hal ini mengingat menjamin hak sosial ekonomi warga agar tidak terpuruk dalam kemiskinan adalah tanggung jawab negara. Jika tidak, dikhawatirkan akan memicu terjadinya kerusuhan sosial karena warga tidak sanggup lagi menahan penderitaannya, sebagaimana kawanan gajah yang merusak tanaman warga.
SUHARDI SURYADI DIREKTUR LP3ES 2005-2010
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Memperebutkan Ruang Penghidupan".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar