Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 25 Juli 2016

Mereduksi Ketidakpastian (TRI WINARNO)

Dunia baru saja dibuat tercengang oleh hasil referendum di Inggris yang memutuskan opsi Brexit, alias pisah dari Uni Eropa. Pasca Brexit dunia dihadapkan pada ketidakpastian yang mendalam dalam berbagai aspek, terutama prospek perekonomian global kini dan ke depan, serta nasib globalisasi perekonomian di tengah-tengah terpuruknya perekonomian dunia.

Saking tebalnya ketidakpastian langkah perekonomian tahun 2016, Bank Sentral AS (The Fed) yang semula akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya (fed fund rate) sekitar Juni-Juli 2016 dipastikan tak akan terimplementasi. Rencana The Fed menaikkan bunga acuan dua kali dalam sisa tahun ini juga masih tanda tanya besar dalam realisasinya, apalagi mengingat November 2016 akan berlangsung pemilihan presiden di AS dengan salah satu kandidatnya adalah Donald Trump, tokoh yang dijuluki "the Destroyer", alias sang ultrakanan yang anti globalisasi.

Ketidakpastian perekonomian global yang kian mengkhawatirkan sebenarnya sudah terlihat dari ketidakkonsistenan data pengukur kekuatan perekonomian AS yang kontradiktif sehingga sulit disimpulkan apakah perekonomian AS sudah membaik atau tidak. Ketika analisis ekonomi dilakukan untuk data perekonomian Jepang terkini, hasilnya makin eratik, menyimpulkan bahwa Jepang sudah sulit bangkit. Dan tatkala analisis ekonomi tertuju ke Uni Eropa (UE), hasilnya makin jelas bahwa UE menghadapi pemulihan ekonomi yang sangat lemah, apalagi ditambah keluarnya Inggris dari keanggotaannya.

Perang nilai tukar

Cerita ekonomi global kian memprihatinkan jika dicermati dataemerging markets yang sedang dilanda pelambatan ekonomi yang sangat tajam. Raksasa emerging economy, Tiongkok, menghadapi risiko pelambatan ekonomi yang mengkhawatirkan, yang mungkin lebih parah dari perkiraan semula sehingga memicu pelarian modal keluar dari pasar Tiongkok, yang memberi tekanan hebat pada renminbi.

Salah satu sumber ketidakpastian perekonomian dewasa ini adalah nilai tukar mata uang utama dunia. Dari pertengahan 2013 hingga 2015, nilai tukar euro mengalami pelemahan. Dari 2016 ke depan, dollar AS akan cenderung dilemahkan setelah Brexit. Mulai terlihat adanya perang nilai tukar (currency war)antarmata uang kuat dunia, yang ditandai dengan gejala persaingan devaluasi nilai tukar.

Mereduksi ketidakpastian ekonomi

Mencermati ketidakpastian tersebut, apa yang mesti dilakukan pemangku kebijakan ekonomi utama dunia sehingga mampu mereduksi ketidakpastian perekonomian global?

Ada dua langkah utama yang mesti dilakukan. Pertama, memperkuat dan menyinergikan kerja sama perekonomian global. Kebetulan pada September 2016 akan berlangsung KTT G-20 di Hangzhou, Tiongkok. Dalam KTT ini perlu diupayakan langkah tepat, cepat, dan terukur untuk mendorong mesin ekonomi global melaju lebih kencang. Salah satu isu utamanya, bagaimana memperkuat, menyinergikan, dan mengefektifkan kerja sama perekonomian global.

Tatkala perubahan kebijakan di suatu negara berdampak signifikan pada kondisi perekonomian global, kerja sama yang kuat antarnegara menjadi sangat vital dalam menentukan stabilitas perekonomian dunia. Pada tataran tertentu sebagian besar pemimpin dunia telah menyadari pentingnya kerja sama ini. Sejak krisis keuangan global 2008, sudah banyak inisiatif yang ditujukan untuk memperkuat kerja sama perekonomian global.

Misalnya, G-20 telah menyepakati Mutual Assessment Process, di mana negara anggota G-20 dievaluasi berdasarkan pada capaian indikator-indikator yang telah disepakati yang dianggap memberikan kontribusi signifikan pada pemulihan perekonomian global. Selain itu, Dana Moneter Internasional (IMF) melakukan pengawasan kebijakan makroekonomi untuk negara-negara utama dunia. Langkah ini dinilai oleh berbagai pihak sebagai sistem kerja sama ekonomi multilateral paling rinci sepanjang sejarah dalam mengelola isu pemulihan ekonomi global.

Namun, kelompok G-20 masih merasa kesulitan memenuhi sasaran yang telah disepakati pada 2009, agar tercipta pertumbuhan ekonomi global yang seimbang, kuat, dan berkelanjutan. Salah satu hambatannya adalah ketidakmampuan memaksa negara yang mengalami surplus transaksi berjalan, untuk melakukan transformasi perekonomian yang lebih bertumpu pada permintaan domestik.

Kegagalan itu dapat dilihat, misalnya, di wilayah UE, di mana Jerman dan Belanda dinilai gagal melakukan pengurangan surplus transaksi berjalan walaupun negara-negara yang mengalami defisit telah melakukan penyesuaian yang dianggap sudah sangat masif. Sebagai akibatnya, UE yang pada 2008 mengalami defisit transaksi berjalan pada tahun-tahun berikutnya berubah menjadi kawasan yang mengalami surplus transaksi berjalan yang berlebihan, sehingga diperkirakan telah terjadi penyusutan permintaan global sekitar 1 persen akibat dari penyesuaian tersebut. Ini bertolak belakang dari skenario semula yang seharusnya berdampak pada penambahan permintaan global.

Reformasi sistem moneter

Langkah kedua, untuk mereduksi ketidakpastian perekonomian global sudah waktunya dilakukan reformasi sistem moneter internasional. Sebenarnya isu ini pernah disuarakan Perancis pada 2011. Namun, karena Eropa dilanda krisis, isu ini lambat laun melemah. Karena itu, sudah saatnya wacana ini diangkat kembali mengingat kondisi perekonomian dunia yang kian mengkhawatirkan.

Reformasi di antaranya meliputi pembahasan tentang peran dollar AS yang sangat dominan dalam sistem moneter internasional. Dalam perekonomian dunia yang semakin seimbang, di mana dominasi perekonomian AS kian mengendur sehingga tidak hanya AS yang bisa diharapkan menjadi mesin perekonomian dunia, sudah semestinya dunia harus memiliki mata uang global yang kemanfaatannya dirasakan oleh semua warga dunia. Untuk itu, peranSpecial Drawing Rights (SDR) IMF harus diriilkan, tidak hanya sekadar sebagai alat ukur sekeranjang mata uang utama dunia, tetapi dijadikan sebagai "the real" mata uang global.

Menjadikan SDR sebagai mata uang utama dunia akan memberikan manfaat yang sangat besar dan memenuhi asas berkeadilan, di antaranya adalah semua negara akan menikmati "seigniorage", yaitu keuntungan yang tercipta karena adanya penciptaan uang, yang selama ini hanya dirasakan oleh negara-negara utama pencipta cadangan devisa internasional, yakni AS, Jepang, UE, dan Inggris.

Selain itu, sebagaimana pernah disuarakan ekonom IMF Jacques Polak, IMF dapat membiayai program-programnya dengan mencetak SDR, mengeliminasi negosiasi yang melelahkan yang dibutuhkan untuk penyaluran kredit dan peningkatan kuota anggota IMF. Bahkan, SDR dapat berperan sebagai penopang pembangunan. Dana SDR dapat dialokasikan lebih besar ke negara-negara berkembang, yang notabene butuh cadangan devisa lebih besar untuk transaksi keuangan internasional.

Penunjukan Tiongkok sebagai pemimpin G-20 dalam KTT G-20 di Hangzhou, bisa jadi momentum untuk menyuarakan kembali reformasi ini. Zhou Xiaochuan, Gubernur Bank Sentral Tiongkok, pernah mempertanyakan peran dollar AS yang sangat dominan dalam sistem moneter internasional sejak tujuh tahun lampau; ditambah tekad Tiongkok menginternasionalkan peran renminbi dalam percaturan tata moneter global yang baru. Usaha ini mencapai klimaksnya pada 2015 ketika anggota dewan komisioner IMF menyetujui menambahkan renmimbi dalam keranjang mata uang IMF dalam penentuan nilai SDR.

Di samping suatu upaya untuk mendorong pemakaian SDR dalam pembiayaan program-program IMF, pemerintah anggota IMF dapat menerbitkan obligasi dalam denominasi SDR. Begitu juga bank-bank komersial dapat meningkatkan pemakaian SDR sebagai satuan moneternya (monetary unit), sebagaimana perbankan Eropa menggunakan satuan mata uang Eropa (European Currency Unit) dalam upaya membuka jalan bagi penggunaan euro secara meluas di UE.

Mengingat kondisi perekonomian dunia yang penuh ketidakpastian yang berimplikasi pada ketidakstabilan dunia, KTT G-20 di Tiongkok harus dapat menjadi salah satu solusi global untuk mengikis ketidakpastian ini. Harapannya, para pemimpin G-20 mampu mewujudkan suatu tata ekonomi dunia baru yang menjamin pertumbuhan ekonomi yang seimbang antara negara maju dan negara berkembang.

TRI WINARNO, PENELITI EKONOMI-POLITIK, BEKERJA DI PERBANKAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Mereduksi Ketidakpastian".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger