Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 Juli 2016

Jangkrik Aduan dan Monster Pokemon (DAMHURI MUHAMMAD)

Dalam imajinasi awam saya, demam berburu Pokemon yang kini sedang mewabah tak jauh beda dengan kegemaran berburu jangkrik dalam permainan anak-anak sekitar tiga dekade silam.Monstervirtualseperti Pikachu, Bulbasaur, Charmander, dan Pidgey, saya analogikan dengan rupa-rupa jenis jangkrik dengan sejumlah kebolehan saat serangga itu berlaga dalam kontes dunia kanak-kanak.

Pokeball—perkakas untuk menangkap Pokemon—mungkin seperti ranting kayu atau pisau tumpul guna menggali lubang jangkrik, sementara Pokestop adalah semacam dapur emak di mana tersedia kaleng-kaleng bekas ikan sarden atau botol bekas guna mengurung jangkrik-jangkrik hasil tangkapan. Begitu pun dengan Gym—arena pertarungan monster yang hanya dapat dimasuki jika pemainnya sudah mencapai level 5—saya bayangkan sebagai medan laga sederhana para jangkrik andalan, yang biasanya berlokasi di tebing-tebing lapang, dan sedapat-dapatnya jauh dari perhatian orangtua.

"Realitas tertambah"

Dengan analogi itu, maka tak ada yang istimewa dari kegemaran baru yang perkembangannya saban hari berhamburan di laman-laman media sosial. Kalaupun ada bedanya, adu jangkrik mungkin sudah terkubur sebagai bangkai-bangkai kenangan masa kecil, sementara Pokemon Go adalah awal dari sejarah baru yang akan mengubah cara pandangdanmentalitas kita terhadap alam nyata.

Namun, Pokemon Go ternyata tak sesederhana cara berpikir kampungan saya. Penggemarnya bukan hanya anak-anak, melainkan hampir tanpa mengenal batasan usia dan jenis kelamin. Gara-gara kegandrungan—atau mungkin sudah layak disebut kecanduan—itu, sejumlah instansi pemerintah telah melarang pegawainya bermain gamebesutan Nintendo dan Niantic Inc (anak perusahaan Google) tersebut.

Selain menyita waktu, Pokemon Go mengharuskan player berjalan dari satu tempat ke tempat lain guna menemukan titik- titik tertentu di mana monster- monster mesti ditangkap. Perjalanan itu bukan pergerakan visual sebagaimana dalam game digital umumnya, melainkan perjalanan fisik, seperti anak-anak zaman dahulu mencari jangkrik dari area sawah bekas panen ke area bekas kebun mentimun. Namun, dalam pencarian Pokemon,player menggunakan telepon pintar dengan sensor kamera dan teknologi GPS sebagai pemandu arahnya.

Maka, di ruang-ruang publik kota besar banyak orang dengan kepala menunduk berjalan seperti tak tentu arah, sambil memegang gawai tanpa menoleh kanan-kiri. Atau anak-anak muda mengendarai sepeda motor sambil memegang gawai dengan tangan kiri. Terus bergerak seperti sedang mencari barang yang hilang dan abai pada dunia sekitar. Akibatnya, ada yang bertabrakan dengan pengendara lain, ada yang diseruduk mobil, atau yang paling sial; terjebak di wilayah tak dikenal, lalu menjadi santapan pelaku kejahatan.

Jangan bayangkan mereka sedang memburu jangkrik, capung, atau belalang seperti kegemaran anak-anak masa lalu. Squirtle, Caterpie, Weedle, dan Rattata yang akan mereka ringkus adalah monster-monster virtual yangdihadirkan secara bersamaan dengan dunia nyata. Makhluk- makhluk digital itu bisa saja bersembunyi di bawah meja kerja Staf Khusus Presiden, di area rerumputan Taman Monas, di halaman belakang sebuah masjid raya, atau di balik rak buku dalam ruang kepala Badan Intelijen Nasional (BIN). Ruang-ruang nyata seperti itu boleh jadi telah "dikuasai" monster Pokemon berkat dukungan Google Map. Pokemon Go disebut-sebut menyekutukan dunia nyata dengan dunia maya dan membuat pemainnya dapat berinteraksi secara real time.

Dalam bahasa canggih, teknologi ini disebut augmented reality (AR) atau yang jamak dialihbahasakan sebagai"realitas tertambah". Tak dapat disangkal bahwa AR telah berkontribusi besar di dunia kemiliteran, medis, pendidikan, perdagangan, dan periklanan. AR memungkinkan kita melihat atau paling tidak menganggap nyata realitas yang tak terjangkau mata telanjang. Sekali waktu jika tuan berbelanja pakaian, tuan tidak perlu repot-repot mencoba sebuah kemeja di kamar pas, tetapi cukup dengan merapatkan tubuh tuan pada tampilan visual yang muncul di layar digital dan tuntaslah perkara ukuran.

Senjata makan tuan

Lantaran kita tidak akan pernah sanggup menggenggam kenyataan secara paripurna, disediakanlah benda-benda digital guna membantu kita menggauli kenyataan itu secara memadai. Begitu kira-kira pengandaian sederhananya.

Namun, persoalan yang muncul kemudian tidaklah segampang itu. Teknologi tinggi yang dulu hanya dapat digunakan dan dikendalikan secara teliti dan hati-hati oleh para ahli, kini dapat diakses siapa pun. Teknologi sinar inframerah yang memungkinkan seorang dokter spesialis memperoleh citraan tentang anatomi dalam dari tubuh manusia kini bukan lagi barang baru, karena telah tersedia secara instan di berbagai aplikasi online. Perkakas yang dulu hanya berada dalam genggaman orang-orang terdidik di berbagai bidang—dengan takaran dan pengawasan ketat hingga tak membahayakan orang banyak—kini sudah jadi milik semua orang, bahkan menjadi perkakas dalam permainan waktu senggang. Itu sebabnya ia menimbulkan keterkejutan yang ganjil,kecanduan, bahkan histeria. Sementara takaran, pertimbangan risiko, tidak lagi jadi perhatian, hingga monster-monster Pokemon itu tidak hanya mencelakai musuhnya di gelanggang laga visual, tetapi juga membunuh di dunia nyata;senjata makan tuan.

Adapun yang disebut "alam nyata" oleh teknologi AR sejatinya tidak lebih dari citraan; peniruan terhadap kenyataan. Foto dan video hasil jepretan kamera canggih sekalipun hanyalah pantulan dari kenyataan, dan pasti bukan kenyataan itu sendiri. Alam nyata yang dicampurbaurkan dengan benda-benda virtual seolah-olah nyata, padahal itu juga manipulasi dari kenyataan.

Kenyataan adalah dunia yang sungguh-sungguh ada di hadapan kita, yang dapat kita sentuh, kita raba, kita endus, bahkan kita selami kedalamannya dengan ketelanjangan tubuh kita. Bukan kenyataan yang dipantulkan oleh kamera telepon pintar.

Maka, alih-alih kenyataan itu tertambah atau terkayakan, makin hari ia justru makin miskin dan terkurangi, akibat manipulasi yang tiada henti-henti. Sebagai warga negara misalnya, mungkin akan lebih baik kita melihat kebobrokan dan dekadensi secara apa adanya ketimbang mengamatinya lewat aneka citraan atau pantulan kenyataan tentang kegemilangan dan keadaban, tetapi tak pernah mewujud secara kasatmata.

Di arena permainan yang sudah dianggap udik, seekor jangkrik kebanggaan mungkin ganas tatkala melumpuhkan musuh- musuhnya, tetapi ia tak pernah lancang mencelakai tuannya. Sementara monster-monster Pokemon itu haus darah senantiasa, melukai secara semena-mena….

DAMHURI MUHAMMAD, SASTRAWAN DAN PEKERJA BUKU; ALUMNUS PASCASARJANA FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA, TINGGAL DI DEPOK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Jangkrik Aduan dan Monster Pokemon".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger