Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 09 Juli 2016

Pembajakan dan Keamanan Laut (SIGIT RIYANTO)

Pada 5 Mei 2016, Filipina, Indonesia, dan Malaysia, membuat pernyataan bersama (joint declaration) di Yogyakarta untuk meningkatkan kerja sama keamanan di wilayah laut. Ketiga negara sepakat untuk melakukan patroli bersama, memberikan bantuan sesegera mungkin jika melihat orang atau kapal dalam situasi memerlukan bantuan, membentuk National Focal Point untuk memfasilitasi pertukaran informasi, dan membuat hotline communication di antara mereka.

Pernyataan ini dibuat menyusul terjadinya serangkaian peristiwa penyanderaan terhadap anak buah kapal yang terjadi di kawasan laut yang berdekatan dengan ketiga negara tersebut.

Namun, setelah deklarasi dinyatakan, peristiwa yang sama  berulang kembali. Fakta ini menunjukkan bahwa respons ketiga negara tersebut terbukti tidak efektif dan tidak memadai; dengan demikian diperlukan langkah lanjutan jika benar- benar ingin mewujudkan keamanan laut di Asia Tenggara.

Langkah strategis berkelanjutan perlu dipikirkan oleh semua negara di kawasan Asia Tenggara karena dua alasan. Pertama, peristiwa yang sama sangat mungkin terjadi di masa mendatang, bahkan lokasinya mencakup kawasan yang lebih luas. Kedua, jika tidak ada langkah strategis dan program nyata untuk menangkal pembajakan di laut yang berulang, dapat diprediksi bahwa situasi ini akan menyuburkan kejahatan lain terkait yang menjadi ancaman bagi keamanan laut, seperti terorisme, perikanan ilegal, kejahatan lingkungan, perdagangan manusia, narkoba, barang-barang palsu, serta senjata ilegal, bahkan meningkatkan kecelakaan laut dan sengketa yurisdiksi.

Pendekatan domestik

Selama ini, pembajakan dan penyanderaan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara  direspons dengan pendekatan domestik dan mandiri. Indonesia dan Malaysia, misalnya, menetapkan larangan sementara bagi warga dan kapal berbendera kedua negara ini untuk tidak melayari atau menghindari wilayah laut yang dianggap rawan pembajakan.

Cara seperti ini bukan solusi permanen karena hanya bersifat sementara (Kompas, 25/6/2016). Cara lain adalah dengan membantu memberikan pengawalan dengan kapal militer sampai di zona laut yang secara legal memungkinkan, dan meningkatkan patroli angkatan laut di laut teritorial.

Sejatinya, pembajakan di laut merupakan sejarah yang berulang, dan  terjadi di berbagai belahan dunia. Oleh karena itulah, hukum laut internasional mengatur yurisdiksi universal terhadap  pembajakan (piracy) yang terjadi di laut bebas ataupun di zona di luar yurisdiksi negara pantai, dan mendorong semua negara untuk bekerja sama dalam memberantasnya.

Faktanya, karena adanya zona maritim dengan rezim hukum yang berbeda-beda, tidak ada satu pun negara di dunia  ini yang dapat memerangi pembajakan sendirian. Pembajakan dan penyanderaan (abduction) yang terjadi di laut umumnya merupakan problematika yang melibatkan yurisdiksi multi-nasional  dan memerlukan pendekatan multi-nasional pula. Pendekatan domestik satu negara untuk menangani pembajakan dan penyanderaan di laut tidak akan memadai.

Salah satu masalah krusial yang perlu dinegosiasikan dan dirinci lebih lanjut oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara adalah bagaimana menentukan lingkup kerja sama dalam rangka mewujudkan wilayah laut yang aman.

Beberapa aspek terkait antara lain:  kejelasan posisi setiap negara, termasuk apakah patroli laut secara bersama atau mandiri/terpisah; pertimbangan  isu teritorial yang sangat sensitif mengingat kaitannya dengan kedaulatan  dan kemungkinan tumpang tindih yurisdiksi; dan yang tidak kalah pentingnya adalah kapasitas dan kesiapan setiap negara dalam menegakkan hukum.

Ada baiknya negara-negara di Asia Tenggara mencermati code of conductyang telah dikembangkan dan diterapkan di wilayah lain dalam memerangi pembajakan di laut (contohnya Somalia, Samudra Hindia). Code of conduct yang berlaku di kawasan lain dapat menjadi rujukan awal dan perbandingan dalam menyusun code of conduct yang akan diterapkan di wilayah Asia Tenggara, termasuk bagaimana mengintegrasikan prinsip- prinsip:  kedaulatan, kesetaraan, non-intervensi dan penghormatan integritas teritorial setiap negara.

Skema kerja sama

Mengingat peristiwa pembajakan dan penyanderaan di laut tidak hanya terjadi di wilayah tiga negara tersebut di atas, perlu dipikirkan skema kerja sama yang lebih luas dan mencakup lebih banyak negara. Karena itu, perlu kajian obyektif tentang manfaat strategis dalam memperluas skema kerja sama, termasuk negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara.

Deklarasi ketiga negara tersebut di atas mengindikasikan bahwa kerja sama yang digagas bersifat informal; bukan kerangka legal yang mengikat dan terbukti tidak efektif. Melihat situasi dan tantangan terkini, perlu dirumuskan skema kerja sama  lebih formal dan sistematis. Salah satu pilihannya, negara-negara di kawasan Asia Tenggara bergabung dalam the Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships in Asia (ReCAAP) yang berlaku sejak 2006.

Saat ini, ada 20 negara yang tergabung di dalamnya, tetapi Indonesia dan Malaysia belum terlibat di dalamnya. Indonesia perlu mengkaji lebih cermat bagaimana manfaat strategis seandainya tergabung dalam skema formal ini, termasuk pertukaran informasi dan peningkatan kapasitas yang relevan.

Peningkatan kapasitas regional

Peningkatan kapasitas regional, terutama melalui organisasi internasional ASEAN, layak dipikirkan. ASEAN  sepakat untuk membangun komunitas politik dan keamanan (ASEAN Political and Security Community/APSC)sebagai salah satu pilar di Asia Tenggara. Jika ASEAN benar- benar serius untuk mewujudkan APSC, inilah kesempatan untuk membuktikan apa yang tertera di dalam Cetak Biru APSC menjadi program dan aksi nyata dan kontekstual.

APSC mestinya bukan sebatas kertas kerja yang menjadi perdebatan para diplomat saja, melainkan dapat termanifestasi dalam program nyata. ASEAN dapat merancang langkah kreatif mengonsolidasikan komitmen politik tentang upaya mewujudkan keamanan maritim di Asia Tenggara.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kesediaan negara-negara di kawasan ini untuk berbagi beban; termasuk menyediakan anggaran memadai untuk mempromosikan, mendukung operasi di lapangan, serta menyediakan infrastruktur keamanan laut yang andal. Jika keputusan dan langkah sistematis tak segera diambil, pembajakan dan kejahatan lain di laut akan terus berlanjut di kawasan Asia Tenggara.

SIGIT RIYANTOGURU BESAR HUKUM INTERNASIONAL DAN KETUA PUSAT STUDI KEAMANAN DAN PERDAMAIAN UGM; ANGGOTA DEWAN RISET NASIONAL

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Pembajakan dan Keamanan Laut".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger