Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 25 Juli 2016

Perampingan Lembaga Birokrasi (MIFTAH THOHA)

Beberapa waktu lalu, ada pernyataan menteri kabinet yang menyebutkan akan ada rasionalisasi pegawai negeri. Jumlah pegawai negeri dinilai sudah terlalu banyak dan tidak rasional lagi untuk melaksanakan program-program pemerintah. Didorong oleh pernyataan menteri yang membidangi anggaran bahwa anggaran pemerintah sudah mulai menipis, kebijakan memberhentikan dan merumahkan pegawai negeri sipil pun akan mulai dilakukan.

Selintas kebijakan ini terasa rasional, tetapi bisa mengagetkan hampir semua pegawai negeri. Tidak terlalu lama berselang dari kejadian tersebut, tiba-tiba PresidenJoko Widodo menyatakantidakada rasionalisasi pegawai negeri, pemberhentian pegawai dilakukan dengan cara-cara yang alami melalui pensiun. Presiden tak membenarkan pernyataan menteri tersebut untuk melakukan rasionalisasi pegawai negeri. Kalau seandainya Presiden tak menolak pernyataan menteri tersebut, benarkah rasionalisasi dan pemberhentian pegawai negeribisa dijadikan kebijakan perampingan lembaga birokrasi pemerintah?

Istilah perampinganlembaga birokrasi ini barangkali sekarang sudah tidak menarik dibicarakan lagi karena sering kali diutarakan, tetapi tidak ada kenyataan yang bisa dirasakan dan dilihat. Bahkan, pernyataan menteri yang satu dengan yang lain membingungkan rakyat.

Penulis melihat ada faktor lain yang menghalangi upaya perampingan lembaga birokrasi yang sesungguhnya. Semakin hari semakin banyak terjadi perubahan. Dengan adanya pergantian-pergantian pemerintahan, lembaga birokrasi juga semakin besar. Bertambahnya lembaga ini kemungkinan akibat semakin majunya program-program pemerintah dan semakin sejahteranya kehidupan rakyat kita.

Namun, pada saat yang sama, rakyat juga melihat betapa besar dan gemuknya lembaga birokrasi pemerintah kita yang sekarang. Lembaga birokrasi yang besar dan gemuk ini banyak memakan anggaran yang seharusnya bisa dihemat. Bukan itu saja. Birokrasi besar dan gemuk ini masih dinodai dengan banyaknya pejabat dan anggota parlemen yang melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Penghematan, kalaupun dilakukan, acapkalijauh dari harapan rakyat. Jumlah pegawai dikurangi dengan mengenalkan rasionalisasi pegawai, jabatan- jabatanprofesional dilelang, pejabat struktural yang profesional dikurangi diganti dengan pejabat yang dekat dengan menterinya.

Bahkan, ada kebijakan kementerian yang bukan bidang wewenangnya, kebijakan yang doblurus dengan menteri lain yang melukai rakyat. Ada menteri yang bangga dan senangmengimpor produk pangan yang banyak ditanam oleh petani kita sendiri atau bisa dikembangkan di Tanah Air. Termasuk impor daging yang menyakitkan hati rakyat, yakniimpor daging jeroan makanan anjing danbabi di Amerika, untuk dimakan rakyat kita.

Tak sedikit menteri yang mempunyai hobi mengelola kebijakan seperti para pedagang mengelola perusahaannya, yakni agar memperoleh keuntungan tanpa banyak memikirkan apakah barang dagangannya itu menguntungkan rakyat atau tidak.

Gemuknya lembaga birokrasi

Lembaga birokrasi pemerintah yang seharusnyamenjadi target untuk dirampingkan terlebih dahulu adalah lembaga kementerian (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014), selain lembaga nonstruktural yang memang terlalu besar sekarang ini.

Jumlah kementerian saat ini 44 kementerian, bahkan pada era kabinet pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencapai 46 kementerian. Jumlah kementerian sebanyak ini tidak efektif bagi suatu pemerintahan yang baik. Akibat kelembagaan birokrasi yang sedemikian melebar dan membengkak, anggaran pemerintah harus dibagi untuk semua program yang dikembangkan oleh kementerian itu. Akibatnya, tidak semua bisa mendapatkan anggaran yang memadai.

Selama ini, presiden selalu dikaitkan dengan partai pengusungnya. Partai politik pengusung dan koalisinya umumnya cenderung menginginkan bentuk lembaga kementerian yang besar. Sementara, isu perampingan lembaga birokrasi kementerian tidak akan populer selama politik hegemoni dan hipokrasi masih menghinggapi perjuangan partai politik dalam mengejar kekuasaan.

Perampingan vertikal dan horizontal

Upaya perampingan organisasi lembaga birokrasi, jika dilakukan, harus meliputi perampingan vertikal dan juga horizontal. Perampingan vertikal meliputi struktur setiap organisasi kementerian. Perampingan ini akan berdampak menyempurnakan struktur jabatan. Sebelum ada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), struktur jabatan itu meliputi jabatan eselon. Sekarang jabatan eselon itu dihapus diganti dengan jabatan profesi Administrasi, jabatan profesi Fungsional, dan jabatan profesi Eksekutif.

Perampingan struktur jabatan ini akan meliputi besaran jumlahnya dan luasnya cakupan fungsi masing-masing, selain efektivitas pengawasan atau kontrolstafnya. Pertimbangan kemampuan melakukan kontrol staf ini penting karena dalam suatu organisasi itu ada batasnya. Menurut logika organisasi, kemampuan pimpinan mengontrol stafnya itu berkisar 5-10 orang. Jika melebihi jumlah itu, yang terjadi lepas kendali (out of control). Seorang menteri bisaefektif mengontrol pejabateksekutif di bawahnya, seperti direktur jenderal (dirjen), sekretaris jenderal (sekjen), inspektur jenderal (irjen), dan badan. Dalam praktiknya, sekarang ini, seorang menteri harus membawahi lebih dari 12 pejabat, ditambah lagi dengan staf ahli dan staf khusus.

Kalau perampinganvertikal ini dilaksanakan, kita tidak bakal menjumpaijumlah pejabat tinggi, baik struktural maupun staf ahli dan khusus, yang terlalu berjejalan (crowded) di sekitar menteri. Di zaman kabinet presidensial Soeharto, setiap menteri membawahi atau mengontrol lima hingga tujuh pejabat eselon satu, yakni tiga dirjen, satu sekjen, satu irjen, satu badan, dan 2-3 staf ahli.

Dalam pelaksanaannya, perampingan vertikal akan sangat bergantung pada aspirasi pejabat politik yang berasal dari partai politik yang sekarang memimpin sepertipresiden dan menteri.

Perampingan horizontal adalah upaya melakukan perampinganjumlah kementerian yang ada. Perampingan mendatar dilakukan untuk seluruh jumlah organisasi kementerian. Jumlah kementerian harus dipertimbangkan untuk dikurangi. Perampingan jenis horizontal ini tampaknya sulit terlaksana jika partai politik masih ingin mempertahankan hegemoni politik dan politik hipokratis.

Jika kabinet presidensial itu dilaksanakan atas diskresi presiden yang membentuk kabinet dan diisi olehorang-orang yang profesional, kompeten, dan ahli di bidang masih-masing serta memahami seluk beluk kementeriannya dan tidak diintervensi oleh partai politik di parlemen, barangkali perampingan horizontal dapat dilakukan dengan baik.

Upaya perampingan horizontal ini berbarengan dengan usaha merevisi undang-undang kementerian. Undang-undang ini perlu direvisi dan tidak harus mengemukakan dan memuat jumlah kementerian yang harus ada. Yang penting, undang-undang kementerian tersebut harus mengatur adanya sejumlah kementerian yang tidak bisa dihapus, digabung, atau dibubarkan karena petunjuk konstitusi. Konstitusi kita mengatur dan menekankan tentang pembubaran, penggabungan, dan penghapusan, bukan mengemukakan berapa jumlah organisasi kementerian.

Konstitusi juga mengatur kementerian yang bisa dibubarkan, digabung, dan dibentuk baru untuk memenuhi strategi pembangunan nasional ataupun untuk merespons pengaruh perkembangan situasi global. Jika kehendak konstitusi ini dipenuhi, kabinet presidensial murni akan terlaksana di negara kita. Tidak seperti sekarang ini ada kementerian baru yang semula fungsi baru ini dilakukan oleh kementerian yang tidak bisa dibubarkan, digabung, atau dihapus, tetapi sekarang menjadi kementerian lain dan baru. Banyak kementerian baru yang ada sekarang ditengarai dibentuk karena pengaruh aspirasi politik dari presiden baru dan partainya, bukan semata-mata keinginan dan diskresi kabinet presidensial yang murni.

MIFTAH THOHA, GURU BESAR ILMU ADMINISTRASI PUBLIK UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Perampingan Lembaga Birokrasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger