Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 25 Juli 2016

Vaksin Palsu//Masih Ada MOS//Polisi Baik (Surat Pembaca Kompas)

Vaksin Palsu

Ada banyak pertanyaan sekitar peristiwa vaksin palsu yang memprihatinkan ini. Mulai dari definisi palsu hingga siapa yang paling bertanggung jawab hingga kasus ini berlangsung sampai 13 tahun?

Pertama, apa artinya palsu? Apakah hanya karena vaksin itu berasal dari lembaga yang bukan pemerintah atau "isinya bukan vaksin" atau "kadarnya kurang"?

Kedua, karena pemerintah mengakui praksis ini sudah bertahun-tahun terjadi, apakah itu berarti bahwa Kementerian Kesehatan juga bertahun-tahun teledor—sepanjang 2003-2016—tidak mengontrol hal penting ini?

Ketiga, berkali-kali juga dikatakan bahwa distributor resmi tidak bisa menyediakan vaksin sehingga akhirnya rumah sakit swasta dan berbagai lembaga kesehatan mencari vaksin dari sumber lain. Apakah dengan demikian berarti Kementerian Kesehatan memang sering tidak tanggap terhadap kebutuhan?

Keempat, kalau didesak kebutuhan, rumah sakit tertentu akan berusaha mendapatkan kebutuhannya—apalagi dengan alasan membantu rakyat dengan cara yang mereka bisa—karena pemerintah tidak melayani. Apakah itu bukan justru suatu keutamaan?

Kelima, kalau hadir penyedia sarana kesehatan nonpemerintah karena pemerintah tidak menyediakannya, di manakah letak kesalahannya? Siapakah yang bersalah?

Keenam, dengan analogi serupa, salahkah semua penyedia sekolah atau pendidik swasta? Jadi, pemerintah itu sebenarnya abdi rakyat atau pemegang monopoli semua bidang: kesehatan, pendidikan, keagamaan?

Ketujuh, jadi siapakah yang harus dicabut hak dan kewenangannya? Semua rumah sakit dan lembaga didik yang mengisi kekurangan ataukah (petugas) pemerintah karena tidak melaksanakan pelayanan bagi rakyat?

BS MARDIATMADJA, STF DRIYARKARA, JAKARTA

Masih Ada MOS

Saya selaku orangtua siswa merasa senang dan bangga anak saya diterima di SMA Negeri 6 Bekasi. Memang ada kabar yang mengatakan bahwa di SMA tersebut banyak kegiatan ekstrakurikuler dan masa orientasi siswa (MOS)-nya berlebihan. Namun, saya kira itu masa lalu.

Sebenarnya para orangtua sudah datang ke sekolah dan menanyakan kepada guru, mengapa ada pengarahan dari kakak kelas, apakah berarti akan ada MOS? Namun, bapak guru yang kami tanya—sayang kami tidak tahu namanya—menjawab bahwa ia juga tidak tahu apa yang dilakukan kakak kelas itu.

Pada waktu daftar ulang, saat bertemu dengan Wakil Kepala Sekolah dan para guru, ada pengarahan bahwa MOS akan begini dan begitu: intinya seperti MOS pada masa lampau yang seharusnya tidak ada lagi.

Pada hari Sabtu dan Minggu sebelum hari pertama masuk sekolah, 18 Juli 2016, murid kelas 1 (atau kelas 10) sudah diperintah dalam bentuk teka-teki dan siswa harus menerjemahkan artinya. Contoh: membawa buah malam minggu yang artinya apel. Siswa menjadi takut dan akhirnya membeli buah apel.

Perintah lain adalah membeli topi SMP dan menggambar lambang SMAN 6 Bekasi dengan ukuran sisi-sisi yang ditentukan serta membawa balon yang jika dibeli di depan SMAN 6 Bekasi harganya Rp 10.000 per balon.

Kami sebagai orangtua sudah mendapat informasi bahwa ada surat edaran dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang melarang MOS-MOS-an. Kalaupun ada, harus diselenggarakan oleh guru dan bukan kakak kelas seperti di SMAN 6 Bekasi.

Kami juga tahu ada imbauan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar orangtua mengantar anaknya bersekolah pada hari pertama sekolah. Hal ini sudah kami lakukan.

SRI, BEKASI

Polisi Baik

Pada Selasa, 7 Juni 2016, pukul 11.30, cucu saya mendadak kejang. Ia segera dibawa ke Rumah Sakit Tria Dipa di Jalan Raya Pasar Minggu. Namun, perjalanan terhambat kemacetan parah.

Karena kebetulan ada mobil patroli polisi, kami pun minta bantuannya. Berkat batuan polisi tersebut beserta empat taruna di dalamnya, kami segera tiba di rumah sakit. Polisi bahkan ikut mengantar ke ruang gawat darurat sampai cucu saya sadar, baru kemudian pamit.

Kami mencoba memberikan pengganti untuk jasanya, tetapi ia menolak dengan halus dan tegas. Sayang, kami lupa mencatat namanya.

Terima kasih Pak Polisi.

JUWONO, CIPINANG JAYA, JAKARTA TIMUR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger