Presiden Jokowi, Rabu (27/7), mengumumkan 12 nama menteri dan Kepala BKPM yang diganti atau digeser posisinya. Perombakan kabinet yang kedua ini jauh lebih banyak (dua kali lipat) dibandingkan yang pertama pada Agustus 2015, yang hanya enam menteri. Menteri yang membuat kegaduhan yang cenderung kontraproduktif dan membingungkan rakyat dan pelaku usaha akhirnya ditinggalkan Jokowi.
Pesan Jokowi sangat jelas dan tanpa basa-basi untuk para pembantunya, bekerja supercepat dan saling mendukung satu dengan lain sehingga tercipta tim solid. Jokowi dengan kabinet barunya bisa diibaratkan tarian Saman yang menonjolkan kekompakan dan kebersamaan, yang harus bertindak cepat— akurat dalam menghadapi kondisi perekonomian domestik dan global. Waktu tiga tahun yang tersisa dari pemerintahan Jokowi-Kalla sangatlah singkat dan bisa lenyap begitu saja kalau pemerintah tidak fokus dan konsisten, tanpa dibantu menteri- menterinya yang mumpuni, yang bisa mengikuti ritme presiden.
Simbolis pelantikan kabinet jilid kedua jadi sangat menarik dan terkesan sangat spesial. Menteri Keuangan Sri Mulyani dipanggil pertama kali oleh Presiden Jokowi. Pribadi yang sarat pengalaman di pemerintahan SBY dan teruji kemampuan internasionalnya selama enam tahun menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Munculnya Sri Mulyani memang agak terkesan menjadi nilai jual yang menarik dari pemerintahan Jokowi-Kalla. Saya pikir sangat wajar hal ini bisa menimbulkan ekspektasi yang positif kepada pelaku ekonomi domestik dan investor asing.
Kepulangan Sri Mulyani menunjukkan pemerintah sangat serius ingin membenahi dan mentransformasi perekonomian nasional secara cepat dan lugas, yang bisa fleksibel menghadapi kondisi ekonomi eksternal yang kian kompleks dan masih dibayangi ketidakpastian tinggi.
Pemerintah tahu betul, fiskal adalah masalah terbesar yang selalu menghantui perekonomian domestik dalam beberapa tahun terakhir, terutama di pemerintahan Jokowi-Kalla. Rasio defisit fiskal membengkak 2,5 persen terhadap PDB tahun 2015 dari 2,1 persen tahun 2014. Tahun ini, tampaknya masalah fiskal bisa terulang kembali. Defisit anggaran semester I sangat tinggi dan tidak biasanya, yaitu 1,83 persen terhadap PDB, lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu (0,75 persen terhadap PDB).
Penyebab utama kurang sehatnya fiskal ini adalah rendahnya penerimaan negara, terutama dari pajak. Penerimaan pemerintah sampai semester I-2016 sebesar Rp 635 triliun, lebih rendah dari 2015 sebesar Rp 697 triliun, dan jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2014 yang tercatat Rp 713 triliun.
Dengan situasi penerimaan pemerintah yang agak seret di semester I tahun ini, tidak heran kalau realisasi pengeluaran pemerintah yang diharapkan menjadi stimulus perekonomian terlihat agak tersendat, yaitu hanya 36 persen dari target total pengeluaran pemerintah, jauh lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berada pada kisaran 43 persen.
Melihat kondisi ini, tampaknya program pengampunan pajak menjadi satu-satunya dewa penolong APBN Perubahan 2016. Target pemerintah dari penerimaan pengampunan pajak Rp 165 triliun, semoga saja menjadi obat mujarab, seiring dengan seretnya penerimaan pajak karena masih lemahnya perekonomian domestik. Tingginya ketergantungan terhadap pengampunan pajak memang sangat berisiko. Untuk itu, mari kita tunggu dan lihat tingkat keberhasilannya di periode I (tiga bulan pertama) jadwal dari pengampunan pajak, tepatnya pada akhir September 2016. Ini merupakan waktu yang paling krusial dan bisa menjadi acuan tingkat keberhasilan pengampunan pajak pada periode II (31 Desember 2016) dan III (31 Maret 2017).
Harmonisasi kebijakan
Pengawalan keberhasilan program pengampunan pajak menjadi ujian awal kembalinya Sri Mulyani menjadi Menkeu. Pengampunan pajak dikatakan berhasil kalau mampu menggerakkan perekonomian di sektor ril, bukan hanya sekadar uang masuk di pasar finansial (saham dan obligasi). Oleh karena itu, dibutuhkan seorang Menkeu yang bukan hanya piawai mengurusi perekonomian domestik, melainkan juga punya kemampuan luas dan teruji di kancah internasional. Perencanaan dan pelaksanaan APBN yang kredibel syarat mutlak agar perekonomian nasional dapat berjalan mulus dan tahan menghadapi guncangan perekonomian global.
Kuatnya perhatian Presiden di bidang ekonomi dalam perombakan kabinet jilid kedua juga tak melupakan pentingnya stabilitas politik. Partai yang baru bergabung, yaitu PAN dan Golkar, akhirnya mendapat jatah masing-masing satu menteri di pos Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kementerian Perindustrian. Merapatnya PAN dan Golkar ke dalam pemerintahan Jokowi-Kalla mengubah konstelasi politik di pemerintahan. Pemerintahan makin kuat secara politik karena didukung 7 dari 10 partai: PDI-P, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, PAN, dan Golkar.
Semoga saja, bertambahnya menteri dari parpol tak membebani kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla. Pemerintahan Jokowi- Kalla harus mampu mematahkan mitos, di mana keterlibatan parpol bukan hanya sekadar bagi-bagi kue jabatan di pemerintahan. Realitas politik yang harus selalu melibatkan parpol dalam membangun bangsa ini tak dapat dipinggirkan demi mencapai keseimbangan dan kesinambungan di pemerintahan.
Dengan kondisi perekonomian yang makin tidak mudah dan tantangan yang menghadang, sudah tidak zamannya kalau pembantu presiden (terutama dari partai) melupakan tujuan mulianya untuk bangsa ini. Semoga saja, ini adalah bongkar pasang terakhir dari pemerintahan Jokowi-Kalla. Kabinet baru dapat bekerja dengan fokus, bisa meluncur dan bereaksi cepat untuk memulihkan perekonomian dan melakukan transformasi struktural di sejumlah sektor dalam kurun tiga tahun tersisa pemerintahan Jokowi-Kalla.
Kita semua menunggu orkestra kabinet jilid kedua yang mampu menunjukkan harmonisasi dari setiap kebijakan yang diambil, baik fiskal maupun moneter, industri, dan perdagangan.
ANTON HENDRANATA, CHIEF ECONOMIST PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Perombakan Kabinet Jilid II".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar