Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 Juli 2016

Pokemon Go dan Kapitalisme Digital (AGUS SUDIBYO)

Pokemon Go menggoyang dunia. Hanya dalam waktu seminggu, aplikasi game digital ini telah diakses lebih dari 15 juta orang. Indonesia juga tak luput dari heboh Pokemon Go.

Bukan hanya generasi muda yang terhipnotis, melainkan juga semua usia dari berbagai kalangan. Lembaga-lembaga pemerintah sibuk memperingatkan pegawainya agar tidak memainkan game tersebut pada jam kerja. Orangtua dan kalangan pendidik mulai mencemaskan dampak Pokemon Go, bahkan ketika permainan ini belum diluncurkan secara resmi di Indonesia.

Obyek pemasaran

Pokemon Go tak pelak lagi menunjukkan bekerjanya apa yang disebut Dan Schiller sebagai fenomena kapitalisme digital. Sistem komunikasi-informasi digital telah terintegrasi sedemikian rupa dalam sistem ekonomi kapitalistik. Yang terjadi kemudian, di balik gegap gempita inovasi teknologi digital yang sering dicitrakan sebagai kulminasi kemajuan peradaban manusia, sesungguhnya tersembunyi maksud-maksud korporasi global untuk menjadikan masyarakat obyek pemasaran dan konsumsi tiada batas atas produk-produk teknologi digital terbaru.

Michael Farren dan Adam Millsap dalam artikel berjudul Pokemon Go Represents The Best Of Capitalism" menjuluki Pokemon Go sebagai representasi kapitalisme yang baik hati. Disebut demikian karena Pokemon Go telah membagikan secara gratis sesuatu yang dapat memberi nilai tambah bagi penggunanya. Permainan Pokemon Go memang dapat menyita banyak waktu produktif penggunanya. Namun mereka berargumen, masyarakat tak pernah dipaksa untuk memainkan Pokemon Go. Kita dapat memainkannya kapan saja dan berhenti kapan saja. Bermain Pokemon Go adalah pilihan bebas dan sukarela.

Benarkah demikian? Perlu digarisbawahi, dalam banyak kasus aplikasi digital gratis, selalu ada aplikasi-aplikasi tambahan untuk menyempurnakan aplikasi gratis itu yang harus dibeli pengguna melalui skema transaksi mikro. Menyebarkan aplikasi Pokemon Go secara cuma-cuma di sini hampir pasti adalah sebuah strategi untuk "memaksa" pengguna yang telah dibikin kecanduan atas permainan itu untuk membeli aplikasi berbayar yang terintegrasi di dalam aplikasi gratis. Kelihatannya memang tak ada yang memaksa masyarakat memainkan Pokemon Go. Namun perlu diklarifikasi, kita sedang membicarakan masyarakat yang secara hegemonik telah terkondisikan oleh bujuk rayu publikasi dan distribusi Pokemon Go yang terjadi secara viral, tanpa terlebih dahulu memahami sisi-sisi negatifnya.

Satu analisis kontroversial atas fenomena Pokemon Go datang dari Timothy B Lee, melalui artikel berjudul Pokémon Go is everything that is wrong with late capitalism. Lee mempersoalkan dampak sosial-ekonomi digitalisasi industri hiburan dan informasi. Industri hiburan hingga abad ke-20 masih mendistribusikan kesempatan kepada sejumlah pihak untuk turut menikmati surplus ekonomi yang tercipta. Industri film memberi pekerjaan kepada begitu banyak orang: para pekerja pembangunan dan perawatan gedung bioskop, mereka yang terlibat pada lini distribusi film, teknisi di gedung bioskop, pekerja gerai makanan di lobi bioskop dan lain-lain. Industri media cetak juga memberi banyak jenis pekerjaan kepada masyarakat, dari wartawan, teknisi percetakan, hingga loper koran.

Namun ketika industri hiburan dan informasi itu telah bertransformasi ke platform digital, terjadi efisiensi sedemikian rupa dengan konsekuensi hilangnya jenis pekerjaan yang sebelumnya ada pada tahap produksi ataupun distribusi. Meminjam istilah Lee, digitalisasi, otomatisasi, dan globalisasi industri informasi dan hiburan telah memungkinkan raksasa-raksasa media meraih keuntungan semaksimal mungkin dengan memberi kesempatan lebih sedikit bagi pihak lain untuk turut menikmatinya.

Dikuasai pemain global

Pada bulan pertama diluncurkan, Pokemon Go menghasilkan pendapatan lebih dari 1 juta dollar AS per hari di Amerika Serikat. Berasal dari kota-kota kecil dan menengah di seluruh AS, uang itu hampir semuanya masuk kantong korporasi besar di California dan rekanannya di Jepang. Tak ada surplus ekonomi yang secara signifikan dibagi untuk perekonomian lokal. Lee menyebutnya sebagai ketimpangan regional sebagai akibat struktur industri yang bersifat kapitalistik.

Pokemon Go tidak sendirian. Pola yang sama juga dipraktikkan Yahoo, Google, atau Facebook dalam konteks lintas negara, bahkan lintas benua. Belanja iklan yang semula terdistribusikan kepada media-media nasional cetak, baik radio maupun televisi, perlahan tapi pasti diambil alih oleh raksasa-raksasa media global itu. Berkat kelihaian dalam menghindari pajak di sejumlah negara, pendapatan iklan dari seluruh dunia dapat diproteksi dan dipusatkan di kantor pusat di "Negeri Paman Sam" melalui negara "surga pajak" seperti Irlandia, Belanda, Segitiga Bermuda, dan Kepulauan Caiman.

Analisis kritis atas realitas kapitalisme digital sebagaimana didedahkan Lee dapat didekati setidak-tidaknya dengan dua pertanyaan. Pertama, bukankah para pekerja di bisnis hiburan dan informasi yang kehilangan pekerjaan akibat revolusi digital dapat dialihkan ke bidang pekerjaan yang lebih produktif? Masalahnya, bidang pekerjaan lain juga mengalami tren yang sama: digitalisasi, otomatisasi, robotifikasi, dan globalisasi.

Ketika dunia telah sedemikian rupa terintegrasi dalam lanskap komunikasi-informasi global, semakin sulit menemukan area yang luput dari penetrasi produk-produk teknologi digital. Pertanyaannya, apakah masyarakat sudah disiapkan untuk menghadapi perubahan besar ini? Apakah dunia pendidikan telah merespons revolusi digital itu dengan "revolusi" kurikulum atau sistem pendidikan?

Kedua, bukankah revolusi digital juga berdampak pada tumbuhnya industri kreatif di tingkat lokal? Bukankah Google juga berkontribusi dalam mendorong tumbuhnya rintisan usaha berbasis daring sebagaimana hari-hari ini sedang menjamur di Indonesia?

Di sini kita menemukan ambivalensi revolusi digital. Di satu sisi dia menumbuhkan dan mengembangkan ekonomi kreatif pada tingkat lokal. Namun, di sisi lain, dia bersifat kanibalistik terhadap industri informasi dan hiburan lokal. Industri media cetak, radio, dan buku bertumbangan, sementara industri televisi mengalami kelesuan. Pada saat yang sama belanja iklan digital terus bertumbuh, tapi sebagian besar dikuasai pemain-pemain global. Ini bukan hanya kasus di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia.

AGUS SUDIBYO, KAPRODI KOMUNIKASI MASSA, AKADEMI TELEVISI INDONESIA (ATVI) JAKARTA.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Pokemon Go dan Kapitalisme Digital".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger