Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 20 Juli 2016

Pungutan Berkedok Sumbangan (FEBRI HENDRI AA)

Pungutan sekolah selalu menghantui orangtua murid setiap tahun ajaran baru. Selain membiayai kebutuhan pribadi siswa, para orangtua harus membayar pungutan sekolah yang mencekik leher.

Tahun ini, tahun ajaran baru dimulai hampir bersamaan dengan akhir libur Lebaran yang juga menguras habis dana keluarga. Orangtua harus mengutang, bahkan menggadaikan aset keluarga untuk membiayai kebutuhan pendidikan ini.

Mengapa sekolah masih saja menarik pungutan berkedok sumbangan meski telah ada aturan yang melarang hal itu? Apakah ada pihak yang mencoba menarik keuntungan dari praktik ini?

Permasalahan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membedakan kriteria pungutan dan sumbangan. Pungutan memiliki unsur wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktunya ditentukan oleh sekolah. Sementara sumbangan bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat serta jumlah dan jangka waktu tidak ditentukan oleh sekolah.

Dalam praktiknya, sumbangan tetap memiliki unsur pungutan. Misalnya, sekolah melalui komite sekolah menetapkan sumbangan minimal, sumbangan wajib, sumbangan sukarela, dan lainnya yang bersifat memaksa, mengikat dan dalam jangka waktu tertentu.

Secara umum, pungutan dilarang di sekolah negeri pada jenjang pendidikan dasar. Sementara sekolah swasta dan negeri pada jenjang pendidikan menengah dibolehkan menarik pungutan. Sumbangan boleh diterima oleh semua sekolah, baik publik maupun swasta, di semua jenjang pendidikan.

Ada dua pertanyaan utama terkait hal ini. Pertama, apakah dana yang diberikan pemerintah pusat dan daerah ke sekolah memang belum cukup memenuhi standar nasional pendidikan (SNP)? Kedua, mengapa masih saja sekolah, terutama SD dan SMP milik pemda, menerima sumbangan yang pada praktiknya adalah pungutan?

Pertama, sampai saat ini belum ada ukuran atau standar biaya kebutuhan sekolah yang valid dan dapat diandalkan. Padahal standar biaya adalah dasar menilai bahwa sekolah memang kekurangan dana untuk membiayai program sekolah mencapai SNP. Satu-satunya ukuran adalah satuan biaya operasional sekolah, itu pun ditetapkan Mendikbud, tahun 2012.

Jadi, dengan ketiadaan standar biaya satuan pendidikan, terutama satuan biaya per siswa per tahun, maka sulit bagi pemerintah, publik, dan orangtua mengukur usulan kebutuhan operasional dan investasi sekolah yang harus mereka danai. Dengan demikian, sekolah pasti akan terus menarik pungutan dan sumbangan dari orangtua murid.

Jika Mendikbud telah menetapkan satuan biaya pendidikan bagi sekolah, ini jadi dasar untuk menilai apakah memang suatu sekolah layak menarik pungutan atau menerima sumbangan dari orangtua murid. Misal, Mendikbud menetapkan satuan biaya operasional per siswa per tahun Rp 4 juta. Dari total biaya tersebut, Rp 2 juta ditanggung pemerintah pusat melalui APBN dan Rp 1 juta dari APBD. Dengan demikian, terdapat sisa Rp 1 juta yang harus dicari oleh sekolah, baik dari masyarakat, perusahaan maupun orangtua murid.

Kedua, sebagian sekolah tetap menarik pungutan meski dengan menyatakan hal tersebut adalah bukan pungutan. Ini dilakukan dengan beragam motivasi seperti meningkatkan atau mempertahankan program yang menentukan mutu sekolah. Sebagian lagi memiliki niat untuk mencari keuntungan atau komersial.

Pihak yang ingin mencari keuntungan terkait pungutan dan sumbangan, misalnya terkait kegiatan sekolah seperti biaya makan minum guru, operasional kepala sekolah, studi tur, pengadaan bimbingan belajar oleh swasta di sekolah, dan bahkan proyek pembangunan gedung sekolah. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menemukan kasus dana pungutan sekolah digunakan untuk menyuap anggota DPRD kabupaten agar sekolah tersebut mendapatkan anggaran pembangunan laboratorium dan perpustakaan.

Sementara itu, motif komersial sangat kental dalam penyelenggaraan sekolah swasta. Orangtua, terutama dari kelompok ekonomi menengah atas, tidak begitu peduli atas biaya pendidikan sangat mahal untuk menjaga gengsi. Mereka sering tak peduli dan cenderung abai apakah biaya tersebut sepadan dengan uang yang telah dibayarkan. Banyak sekolah swasta menarik pungutan sangat tinggi, padahal mutu yang diberikannya tidak sepadan dengan uang yang telah dikeluarkan oleh orangtua murid. Mereka tidak tahu kalau mereka dirugikan dan pemerintah tampaknya tidak terlalu memperhatikan masalah ini.

Solusi

Selain itu, pengendalian dan pengawasan atas pungutan dan sumbangan sekolah sangat lemah. Sekolah sangat leluasa menarik pungutan berkedok sumbangan karena Dinas Pendidikan tak melakukan pengawasan atau bahkan membiarkan praktik tersebut terjadi. Meski sekolah memberi laporan rencana dan anggaran operasional dan investasi setiap tahun kepada dinas pendidikan, laporan tersebut diperlakukan sebagai syarat administratif saja. Tidak ada upaya dinas pendidikan mengkritisi rencana dan anggaran sekolah tersebut.

Kalaupun ada dinas pendidikan yang mengkritisi, mengawasi, dan mengendalikan pungutan liar tersebut, itu pun hanya bersifat pembinaan. Tidak ada sanksi tegas terhadap kepala sekolah atau penyelenggara sekolah swasta atas pungutan tak wajar itu.

Pemerintah pusat dan daerah sebaiknya melakukan rekomendasi berikut agar murid, sekolah, dan orangtua murid tak dirugikan terkait dengan pungutan dan sumbangan sekolah. Pertama, pemerintah pusat segera menetapkan standar biaya satuan pendidikan tiap daerah setiap tahun. Standar ini akan menjadi ukuran bagi sekolah, orangtua murid, atau pemda untuk menilai kekurangan pembiayaan program sekolah serta kewajaran pungutan atau sumbangan sekolah.

Kedua, sekolah negeri/swasta wajib menyampaikan laporan besaran sumbangan atau pungutan yang dibayar orangtua murid kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah wajib mengkritisi dan jika perlu menolak proposal sumbangan dan pungutan yang tidak rasional dan tidak sesuai dengan kebutuhan prioritas sekolah.

Ketiga, pemerintah daerah wajib menyampaikan permintaan maaf tertulis kepada orangtua murid sekolah negeri karena tak mampu menyediakan seluruh anggaran sekolah dan harus ditanggung orangtua dalam bentuk pungutan dan sumbangan.

Keempat, sekolah harus transparan atas dokumen perencanaan, anggaran, serta pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dan daftar aset sekolah. Orangtua murid harus bisa mengakses serta mendapatkan dokumen tersebut dan menguji klaim kekurangan dana sekolah serta kewajaran pungutan dan sumbangan. Sekolah nakal wajib diberi sanksi dan jika perlu kepala sekolahnya dicopot dan bagi sekolah swasta diberi teguran atau pembekuan izin, bergantung pada jenis pelanggaran.

Kelima, pemerintah pusat dan daerah perlu membuat peta jalan anggaran pemenuhan total anggaran sekolah sehingga publik mengetahui semua sekolah telah tercukupi kebutuhan anggarannya dari pemerintah dan tidak perlu menarik pungutan lagi.

FEBRI HENDRI AA, KOORDINATOR DIVISI INVESTIGASI ICW

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Pungutan Berkedok Sumbangan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger