Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 Juli 2016

TAJUK RENCANA: Idul Fitri dan Karunia Lailatul Qadar (Kompas)

Perjalanan mencari rida Allah selama sebulan telah tiba di ujung. Umat Muslim yang menjalankannya kini bersiap merayakan hari kemenangan.

Ternyata, dalam kilas balik, Ramadhan yang suci tidak sepenuhnya kita lewati dengan teduh, penuh damai, dan rahmat kasih sayang. Selintas kita ingat pengalaman ibu pemilik warung di Serang yang menangis saat dagangannya dibeslah oleh aparat, insiden yang dari sisi kemanusiaan cukup untuk menghasilkan empati, tetapi ternyata halnya tak sesederhana itu.

Lalu, jika Ramadhan juga diasumsikan sebagai bulan suci yang membuat hamba Allah memusatkan hati dan pikiran ke ikhtiar spiritual, religius, dan menyisihkan hasrat-hasrat duniawi (apalagi yang buruk), ternyata masih ada pelaku korupsi yang ditangkap tangan oleh lembaga anti rasuah.

Dalam lingkup dunia, ada aksi serangan bunuh diri di Bandara Istanbul, Turki; juga di Kabul, Afganistan; dan terakhir di Dhaka, Banglades, yang menewaskan puluhan orang tak bersalah dan mencederai banyak lainnya.

Itulah realitas yang kita hadapi di sekitar kita, di dunia yang kita diami. Alih-alih berlaku mulia, penuh kasih sayang, dan mengembangkan penghormatan pada kemanusiaan, yang kita lihat justru hati yang mengeras, mewujud pada ideologi "merasa diri paling benar", dan mewujudkannya melalui jalan menumpahkan darah.

Alangkah kontrasnya ini dengan ideal yang sering kita dengar, lebih-lebih ketika Ramadhan memasuki 10 hari terakhirnya. Diandaikan setelah tiga pekan menjalankan ibadah puasa, umat telah tunduk hatinya. Meski ada yang merisaukan harga kebutuhan yang melonjak, yang menguasai hatinya adalah harapan mendapatkan Lailatul Qadar, malam yang lebih indah daripada 1.000 bulan.

Yang kita tahu, saat Lailatul Qadar turun, seperti disinggung Achmad Faqih Mahfudz dalam esainya di harian ini, Sabtu (2/7) lalu, dunia akan terasa tenang, tenteram, dan damai. Tidak sedikit yang mendambakan Lailatul Qadar meski tidak semua memaknainya dalam konteks keilahian. Menyitir cerita pendek Hamsad Rangkuti "Malam Seribu Bulan", Mahfudz menyebut kembali tokoh Ibnu yang justru berangan mendapatkan emas dari pucuk Monumen Nasional yang merunduk, dan ia akan mengambil dengan cara mengikisnya.

Dikisahkan, Lailatul Qadar bukan sekadar malam terkabulnya doa-doa, melainkan malam menyatunya Tuhan dan hamba dalam sebuah getaran rasa rohani yang tak berhingga. Seseorang yang mendapatkan Lailatul Qadar akan melihat segala-galanya dengan tatapan cinta dan kasih sayang karena dirinya telah menjadi manifestasi yang Ilahi di muka bumi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Idul Fitri dan Karunia Lailatul Qadar".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger