Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 09 Juli 2016

TAJUK RENCANA: Macet Mudik dan Wacananya (Kompas)

Sebagian bilang, "Ya, itulah kita", saat melihat tayangan dan membaca berita soal macet arus mudik Lebaran. Wacana ini tak berniat menyalahkan siapa pun.

Semula kita mengira penambahan infrastruktur, seperti Tol Cipali dan selanjutnya, bakal mampu menurunkan stres mudik. Alih-alih lebih lancar, mudik arus 1437 Hijriah malah ditandai dengan pengalaman macet luar biasa.

Ini bahan introspeksi untuk kita semua meski tentu ada pihak yang perlu memetik pelajaran lebih. Meski bicara statistik disebutkan ada penurunan jumlah kecelakaan lalu lintas dan korbannya, keluhan tentang kemacetan terus ada, bahkan lebih parah. Kemacetan juga dikaitkan dengan meninggalnya sejumlah pemudik. Tahun ini, mudik lebih dramatis, dan bahkan tragis.

Puluhan jam terjebak di kemacetan amat melelahkan. Untuk menjangkau area istirahat pun tak mudah. Dengan kemacetan, sepanjang jalan berubah menjadi kawasan yang sangat kaya dengan gas CO2 hasil gas buang kendaraan.

Tekad dan semangat bersilaturahim dengan keluarga dan handai-taulan di kampung halaman, ditambah romantisme mengenang masa lalu yang indah, semula mengalahkan segalanya. Siapa menduga, macet menggila.

 
KOMPAS/KOMPAS NEWSPAPERSebagian bilang, "Ya, itulah kita", saat melihat tayangan dan membaca berita soal macet arus mudik Lebaran. Wacana ini tak berniat menyalahkan siapa pun.

Banyak analisis dikemukakan, mulai dari jumlah mobil dan motor yang bertambah, hingga jumlah gerbang tol yang kurang; salah posisi; dan kurang koordinasi dalam pengaturan aliran lalu lintas, karena exit tol dibuat menjelang masuk kota Brebes, bukan sesudahnya. Tak perlu disebut pihak mana yang dipersalahkan dalam kejadian ini, tetapi di berbagai media sosial meme tentang kesemrawutan ini bertebaran, masing-masing dengan argumennya sendiri.

Sekadar berefleksi, bisa saja kita berandai-andai, jika saja tol dibangun delapan tahun silam, jika saja gerbangexit tol dibuka setelah melewati Brebes, jika saja pembayaran tol lebih praktis atau malah digratiskan saat puncak mudik, atau pembayaran dengan kartu debit sehingga petugas tak perlu menghitung uang kembalian. Masih banyak lagi yang bisa kita tambahkan, seperti jika saja rekayasa lalu lintas lebih mumpuni, jika saja rest area ditambah, dan jika saja SPBU lebih banyak. Sabtu dan Minggu ini, arus balik diperkirakan mencapai puncaknya. Kita berharap sejumlah kekurangan yang ada selama arus mudik bisa dikurangi.

Selanjutnya, pasca Lebaran sebaiknya pula jadi momen untuk evaluasi. Ini kita pandang penting. Di sini pun kita ingat meme di media sosial tentang perbandingan pembangunan Tembok Besar di Tiongkok dan Piramida Mesir, meski perlu beberapa abad, tetapi selesai; dengan pembangunan jalan di jalur pantai utara Jawa yang dilakukan setiap tahun, tanpa ada tanda selesai. Kapan ia siap?

Mumpung masih ada kesempatan, jadikan pengalaman mudik 2016 sebagai pelajaran serius. Jangan lupa dengan tekad kita untuk menjadi bangsa pembelajar.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Macet Mudik dan Wacananya".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger