Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Agustus 2016

Bangsa Tanpa Bahasa Ibu (INDRA TRANGGONO)

Alarm semakin terancam punahnya bahasa daerah semakin sering berbunyi di telinga kebudayaan bangsa kita, termasuk dari Kongres Bahasa Daerah Nusantara di Bandung, Jawa Barat, Selasa (2/8). Benarkah bangsa kita ke depan akan menjadi bangsa tanpa bahasa ibu?

Eksistensi bangsa Indonesia lahir dari rahim suku-suku bangsa di Nusantara. Begitu juga dengan budaya dan  bahasanya. Sumpah Pemuda 1928 merupakan momentum politik-kebudayaan sangat penting yang menandai munculnya ide tentang bangsa kesatuan Indonesia. Pada momentum itu, telah bangkit kesadaran kolektif  berbagai suku bangsa di Nusantara untuk berikrar menciptakan sebuah entitas besar bernama Indonesia (bangsa, tanah air, dan bahasa).

Meskipun di dalam prosesnya munculgronjalan, akhirnya spirit Sumpah Pemuda itu mewujud pada berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945. Bahasa Melayu disepakati menjadi bahasa nasional, tanpa harus "membunuh" atau meniadakan bahasa-bahasa etnik di Nusantara. Ini dijamin antara lain oleh prinsip kolektif bangsa: Bhineka Tunggal Ika.

Kemajemukan itu menegaskan bangsa Indonesia adalah kumpulan/himpunan bangsa dari berbagai suku di Nusantara yang mengakui, mendukung, dan melakukan penyelenggaraan atas NKRI. Artinya, NKRI sejatinya "bayi" yang dilahirkan dan dibesarkan berbagai suku bangsa di Nusantara.

Sang "bayi" itu kini sudah dewasa, bahkan memasuki usia relatif "tua", 71 tahun. Dalam rentang waktu lumayan panjang itu, Indonesia tumbuh dalam dinamika perubahan, baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.

Paradigma yang berubah

Pada  awal pertumbuhannya (pasca kemerdekaan), Indonesia kental dengan nasionalisme dan pola penyelenggaraan negara yang berbasis pada populisme (kerakyatan), kemandirian ekonomi yang anti-modal asing, dan penguatan warga sipil. Ekonomi tumbuh dalam semangat kekeluargaan. Politik berkembang dalam spirit persaudaraan bangsa. Bermacam-macam ideologi kelompok sosial tumbuh dan bersaing, tetapi tetap dalam satu orientasi: menjadikan Indonesia lebih sejahtera dan bermartabat.

Kebudayaan nasional bertumbuh tanpa meninggalkan budaya etnis. Bahasa daerah, sebagai bahasa ibu, hidup tenteram. Ia bukan hanya menjadi bahasa upacara dan literer, melainkan menjadi media komunikasi dalam sehari-hari. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah tidak saling mengancam dan mengganggu. Mesra! Saling menyokong.

Ketika terjadi perubahan konstelasi politik, ekonomi, dan kebudayaan dunia, Indonesia- yang waktu itu masih berusia sekitar 20 tahun (pada tahun 1965)-harus mengalami pergolakan dahsyat dan menimbulkan korban jiwa. Tangis dan derita itu berujung pada lahirnya Orde Baru. Terjadi perubahan paradigma pengelolaan negara dari populis menjadi elitis, dari anti modal asing menjadi pro modal asing, dan dari kekuatan sipil ke kekuatan militer (Baskara T Wardaya, 2009).

Kapitalisme pun tumbuh dan menguat, meskipun dalam kontrol negara. Pembangunan lebih terfokus pada ekonomi (baca: ekonomi sebagai panglima). Terjadi penyederhanaan partai politik, penunggalan asas semua kelompok sosial, penunggalan kebudayaan (baca: hanya kebudayaan yang mengagungkan negaralah yang diakui) dan penyeragaman pola pikir yang berujung pada penaklukan kolektif warga.

Pelan-pelan pendulum ekonomi bangsa mulai digeser ke pasar, di mana kekuatan modal menjadi langgamnya. Kebudayaan dan bahasa daerah pun "relatif terjaga". Namun harus diakui, sejak Orde Baru menguat, masyarakat semakin terdorong untuk menemukan pola pikir, perilaku, dan kultur  yang sesuai dengan derap ekonomi. Pragmatisme mulai dijalani atas nama keinginan untuk bertahan hidup. Impian-impian masyarakat tentang modernitas pun mulai tumbuh dan terekspresi pada gagasan, ekspresi estetik/non-estetik dan perilaku.

Setelah rezim Orde Baru tersungkur, ditandai gerakan reformasi tahun 1998, Indonesia pun menjadi liberal secara ekonomi, politik, dan kultural. Liberalisme cenderung tidak mengutamakan identitas budaya secara kolektif  karena setiap warga negara bebas menentukan identitas dan tradisinya sendiri. Di sinilah marjinalisasi atas budaya lokal dan bahasa daerah itu semakin masif; sebuah ongkos kultural yang harus dibayar demi mendapatkan "kehidupan berkemajuan".

Globalisme dijunjung tinggi dan disembah. Isu tentang pelestarian budaya diidentikkan dengan "mematikan" budaya; bukan dipahami sebagai keberlangsungan nilai-nilai tradisi yang jadi modal budaya. Bahasa daerah tidak lagi dianggap sebagai bagian dari kebudayaan yang terlalu penting oleh negara, institusi pendidikan formal dan warga masyarakat.

"Malinkundang"

Sindrom mengindonesia yang lebih diartikan mem-"Barat" pun semakin menguat. Turunan akibatnya, jutaan keluarga di negeri ini semakin mengesampingkan bahasa ibu yang dianggap tidak fungsional lagi dalam pergaulan, baik dalam level nasional maupun internasional. Terutama berkaitan dengan keuntungan material dan non-material (nilai, simbol, status bergengsi).

Bahasa ibu hanya menjadi bahasa upacara sosial, kesenian tradisional, akademik (dibutuhkan dalam penelitian atas budaya etnik), dalam lingkup dan tidak lagi menjadi bahasa sehari-hari. Di sinilah bahasa ibu gugur dari pohon kebudayaan bangsa. Ini sesuai dengan hukum: kebudayaan dibangun oleh kebiasaan.

Menjadikan bahasa daerah sebagai kebiasaan menjadi tantangan terbesar kita. Dalam konteks negara, ini berhubungan dengan komitmen kultural, strategi politik kebudayaan, sistem pendidikan dan regulasi. Adapun dalam konteks masyarakat, ini berkaitan dengan kebanggaan pada kultur lokal yang memungkinkan kesanggupan dan kemampuan untuk menjaga keberlangsungan nilai-nilai tradisi/kearifan lokal.

Semua itu pasti tidak mudah mengingat begitu besarnya godaan warga dan negara untuk menjadi "malinkundang"; keluar dari cangkang-cangkang budaya tradisi demi menjadi manusia global dan liberal serta hidup tanpa bahasa ibu.

INDRA TRANGGONO

PEMERHATI KEBUDAYAAN DAN SASTRAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Bangsa Tanpa Bahasa Ibu".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger