Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 08 Agustus 2016

Bisakah Murka Membakar Cinta (RADHAR PANCA DAHANA)

Dalton Trumbo, salah satu penulis legendaris Amerika Serikat tahun 1950-an, terpaksa menderita setengah hidupnya hanya karena ia seorang komunis.

Karya-karya prosanya, seperti Johny Got His Gun yang memenangi pertama kali Penghargaan Buku Nasional (US National Book Award)pada 1939, terutama skenario-skenario filmnya yang plotnya ajaib dan memiliki kedalaman filosofis dalam dialognya, menjadi warisan utama Hollywood dan bangsa Amerika hingga hari ini.

Namun, sebagai anggota Partai Komunis AS, Trumbo harus mengalami derita luar biasa. Perkara masa awal Perang Dingin di mana rakyat AS diterkam kecemasan yang hiperbolis atau Red Scare membuat banyak pejabat negara hingga seniman/budayawan bereaksi keras terhadap semua yang berbau komunis. Bahkan, John Wayne, aktor ternama itu, menghina Trumbo di depan khalayak dan menyetujui komite khusus Parlemen AS untuk Aktivitas Non-Amerika membersihkan dan mendaftarhitamkan Hollywood dari semua anasir "berbau" komunis (yang kebanyakan berbasis praduga), bukan hanya perusahaan film, agensi, dan sutradara, melainkan aktor juga penulis skenario.

Kebijakan yang didukung fundamentalis MacCarthy, senator, itu memakan ribuan hingga ratusan ribu orang, yang dihumiliasi, dialienasi, dimatikan sumber ekonominya, dan dibunuh secara legal tanpa proses pengadilan. Trumbo adalah salah satunya. Namun, ia tidak membalas semua kepedihan itu dengan tindakan keras, dengan dendam yang terbakar. Ia terus menulis dengan pseudonym, menyerahkan skenario-skenario dahsyatnya dengan identitas lain kepada banyak produsen yang rata-rata menghasilkan box office. Hingga akhirnya dua di antara itu, Roman Holiday (1950) dan The Brave One (1953), meraih piala Oscar, tetap dengan nama aliasnya. Trumbo adalah hantu dalam perfilman, sastra, dan rakyat Amerika di kala itu.

Pada 1960, dua tokoh legendaris Hollywood, sutradara Otto Preminger serta produser dan aktor Kirk Douglas, memercayakan skenario film mereka yang kemudian menjadi klasik, Exodusdan Spartacus, kepada Trumbo dan dengan penuh berani mencantumkan nama yang menjadi musuh bersama itu dalam kreditnya. Hingga akhirnya Trumbo membuat pernyataan pers menggegerkan, membuka terang gosip puluhan tahun tentang penulis gelap film-film laris dan ternama Hollywood. Pernyataan yang membuat seluruh rakyat Amerika terdiam, tercenung, dan berefleksi, akhirnya menyadari kesalahan mereka sendiri.

"Ketika kita melihat ke depan dan ke belakang, mencari pahlawan dan pengkhianat," ujar Trumbo dalam penghargaan terakhir yang diterimanya dari Serikat Penulis AS, "kita tak berhasil menemukannya. Karena mereka memang tak ada. Yang ada hanyalah korban. Kita memberi dan menerima penderitaan, hal yang seharusnya tidak kita tukarkan.... Inilah poin saya malam ini, bukan untuk menyakiti hati siapa pun, tetapi untuk menyembuhkan luka dan rasa sakit yang kita timpakan satu sama lain, terutama pada diri kita sendiri".

Cahaya kebudayaan

 Cerita sedikit panjang di atas, saya kisah-ulang bukan melulu untuk menjadikan sejarah kelam di Amerika itu sebagai acuan utama kita menghadapi persoalan semacam, seperti peristiwa tragis 1965. Kisah Dalton Trumbo memberi kita banyak pelajaran, juga pada banyak bangsa yang mengalami hal serupa.

Pertama, politik yang dimainkan dengan penuh angkara, kelicikan, tipu daya, atau dijangkar oleh prasangka tidak akan pernah menciptakan kebaikan atau keluhuran seperti dicita-citakan oleh politik itu sendiri. Pihak lain tak pernah bisa ditaklukkan atau menjadi subordinat, kecuali menjadi korban.

Kedua, hubungan atau relasi beradab antarmanusia (juga kelompok, etnis, dan bangsa) betapa pun diharu biru konflik yang tajam akan menciptakan kerugian besar jika dipertahankan melalui kesumat dendam yang dipendam, menjadi bara yang membakar murka, menghanguskan semua lawan, tetapi lebih dulu diri sendiri.

Ketiga, seburuk-buruknya anggapan elite terhadapnya, ternyata jalan sebaik-baiknya dalam menyelesaikan konflik sosial (vertikal ataupun horizontal) adalah jalan kebudayaan. Karena kebudayaan adalah upaya terbaik mamalia bernama manusia dalam meninggikan derajat dan memuliakan keilahian di dalam dirinya sendiri. Karena itu, tidak mungkin jalan atau cara yang berbudaya (baca: beradab) mendestruksi, menghina, apalagi mengasasinasi manusia lain (dalam semua dimensinya) karena itu berarti ia membunuh  diri (kemanusiannya) sendiri.

Lewat karya-karya artistik (seni)-nya, Dalton Trumbo memberi bukti kepada rakyat dan elite "demokratis" AS, bukan hanya dia dan banyak rekan komunisnya ikut berperang di banyak medan membela bendera negaranya, melainkan juga menghasilkan karya-karya yang mengangkat derajat bangsanya. Dalam hidupnya yang terhina, tersingkirkan, dan tersiksa hingga di tingkat biologisnya.

Amarah dan dendam hanya berguna ketika kita mencari siapa pahlawan atau pengkhianatnya sehingga kita lupa dan silap mata untuk melihat hasil dari semua konflik yang keras dan tajam hanyalah satu: korban. Lalu, untuk apa luka dan pedih kita tukarkan bersama, dengan kemurkaan dan dendam sebagai bumbu dan sausnya? Untuk apa berslogan "darah dibayar darah", "menang dibayar uang", jika hubungan manusia di antara secara permanen cedera, dan kemanusiaan kita pun tercela. Sejarah memang jangan pernah dilupakan. Namun, juga tidak perlu dipelihara dengan kemarahan yang traumatik, tetapi justru pengetahuan dan kearifannya yang kita petik.

Kehilangan budaya

Saya kira dalam semangat jiwa, pikiran, dan batin (spiritual) semacam itulah, antara lain, kita menghadapi sejarah kelam 1965 hingga keputusan final Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal) baru-baru ini, yakni semangat kebudayaan. Semangat penuh adab yang dipadatkan rasa (dan kehendak mendapatkan) damai bagi diri sendiri dan generasi di masa depan.

Indonesia bukan Amerika Serikat, tentu. Tak ada pengarang semacam Trumbo di sini, memang. Tak ada tragedi berdarah semacam peristiwa 1965 di AS, jelas. Tak ada pembantaian massal di AS sebagaimana kita mengalaminya sebagai akibat lanjutan tragedi di atas itu, kita tahu. Namun, korban yang secara masif menderita akibat deraan politis, militer, intelijen, dan ekonomis terjadi di kedua bangsa. Perbedaan signifikan lain, rakyat AS berhasil menyelesaikan luka dalam kebangsaan itu dengan arif, lewat jalur kebudayaan antara lain, dan partai komunisnya tetap hidup, hingga hari ini, walau cuma 3.000-4.000 anggotanya.

Di negeri ini, setengah abad lewat sudah, kita masih saja berkelapa keras sehingga daging lunaknya tak bisa ternikmati, santannya pun terasa mati. Membuat kita tenggelam dalam kegilaan ombak egoisme dan nafsu kemenangan artifisial. Sementara kita selalu mengklaim diri sebagai bangsa yang beradab, santun, pemaaf, dan gotong royong dibandingkan negeri adidaya di atas yang sebagian kita menganggapnya individualis, serakah, arogan, bahkan "dajal" atau satanik. Bukankah seharusnya nilai dan moralitas luhur dalam kebudayaan kita, yang konon-dan memang-berusia sangat lanjut itu semestinya dapat lebih operasional, produktif, dan menjadi problem solveryang ampuh? Mengapa tak?

Jawabannya sederhana saja. Kita, bangsa Indonesia ini, rakyat sebagian besarnya, kini, ternyata sudah tak lagi berpegangan, berfondasi, mengimplementasikan, bahkan sekadar memahami dengan baik kebudayaannya sendiri. Orang Sunda sudah tidak paham lagi apa itu "Sunda", orang Manado kehilangan Minahasanya, orang Batak justru menanggalkan kebatakannya,wong jowo ilang jawane, dan seterusnya. Dalam situasi seperti itu, apa pun masalah, konflik, dan tragedi terjadi di antara kita sesama bangsa, tidak lagi menggunakan ukuran adab dan budaya untuk mencari solusi atau penyelesaian, berganti dengan perhitungan rasional yang berakhir pada kalkulator untung-rugi, atau sekurangnya pada sepotong kertas meterai yang tertandatangani.

Masalah yang berkait tragedi 1965 bukanlah sebuah peristiwa yang dapat dikalkulasi secara matematis atau statistikal, bahkan tidak sekadar data valid dan terverifikasi. Karena di dalamnya berkelindan juga dimensi jiwa, batin, atau spiritual yang tidak mungkin dikuantifikasi, tetapi diresapi, dimafhumi hikmahnya. Keadilan material memang jadi bagian dari pengadilan umum, berasas codeks Kontinental. Namun, keadilan sejarah dan bangsa, sekurangnya setengah (bisa jadi lebih), ternyata diisi hal-hal yang imateriil. Bukan darah yang harus dibayar dengan darah, melainkan mungkin darah yang dibayar dengan cinta.

Cinta di kebaharian

 Dalam riwayat kehidupan dan kebudayaan bangsa kita yang tidak pendek ini, kita kini mulai mafhum betapa watak hingga filosofi air menjadi fondasi dari cara kita menyatakan keberadaan (eksistensi) manusia, bangsa, juga kebudayaan dan peradaban kita. Peradaban bahari. Di dalam peradaban ini, pelbagai kebudayaan yang mengikuti watak dan filosofi air terbentuk, di ratusan, bahkan ribuan, etnik dan sub-etniknya. Bersama fondasi kebahariaan itu, kita membangun, mengaktualisasi diri, juga menciptakan hubungan dengan sesama manusia, dari dalam ataupun manca, dengan satu nilai yang sama: aku adalah kau.

Aku kau menjadi organik yang interdepensial. Kita bersama saling meneguhkan dasar-dasar eksistensial (keberadaan) kita. Inilah juga dasar mengapa kita menjadi manusia komunal,homo socius dalam wujud yang niscaya, bukan konsep filosofik atau teoretik. Karena itulah para pendiri bangsa menegaskan, individualisme bahkan HAM yang berbasis kebebasan individual, tak punya tempat tidak boleh hidup negeri ini. Karena ia merusak basis nilai sosial di atas. Merusak asas yang menyatukan semua sila dalam ideologi kita: gotong royong.

Apa yang sesungguhnya mampu mempertahankan kesatuan, gotong royong, dan komunalisme kita itu? Dalam renungan saya yang pandak, tidak lain ia adalah makhluk-yang tak pernah bisa didefinisikan-bernama: cinta. Ketika kita cinta pada diri sendiri, kita tahu itu sesungguhnya cinta kepada Penciptanya, cinta kepada makhluk-makhluknya juga: manusia lain, juga apa pun yang ada di sekitar kita. Apa pun yang membuat kita bertengkar, bertempur, serta saling merusak dan membunuh, hanya cinta yang bisa jadi penyembuh.

Kecintaan kita kepada rakyat dan bangsa Indonesia dapat menjadi landasan ampuh dalam menyikapi masa lalu, sejarah kelam yang mungkin melanda kita, keluarga dan kerabat lainnya. Dengan cinta dan ikhlas yang mengikutinya, kita tak punya alasan menuntut tanggung jawab apa yang diperbuat orangtua atau kakek-nenek, kepada anak dan cucunya. Apakah dosa Adam harus diwariskan? Siapa yang mau?

Apa yang terpenting adalah kita saling menyadari dan mengakui kesalahan yang terjadi di masa lalu adalah bagian dari diri kita sendiri, seperti sejarah itu sendiri. Sejarah berhenti sebagai hikmah, bukan kalkulasi salah- benar atau menang-kalah. Apakah semua negara yang pernah dijajah menuntut balik penderitaan yang pernah mereka alami? Merkell tak akan mau minta atas perbuatan keji Hitler kepada banyak bangsa. Abe kukuh tak akan memohon ampun kepada Korea dan Tiongkok.

Beranikah kita meminta AS minta maaf kepada Panama, Irak, Iran, dan puluhan negara lain atas intervensi yang dilakukannya, atas puluhan ribu korban yang diakibatkan? Bahkan, Indonesia yang berabad-abad mengalami itu tak pernah menuntutnya, terhadap Belanda, Inggris, Portugis, Perancis, dan sebagainya. Waktu menciptakan sejarah bukan untuk jadi tumor yang terbawa hingga mati, melainkan cahaya yang terus menerangi kegelapan hati. Dengan cinta, kita mengerti, betapa mulia sebuah keikhlasan. Bagi sebuah pemerintah, yang punya tanggung jawab terbesar dalam menyelesaikan semua masalah kebangsaan, tinggal melanjutkan tindakan cinta itu, dengan menyebar cinta kepada satu-satunya produk dari tragedi: korban. Mengembalikan kehormatan mereka (korban) yang sudah mati, membuka ruang seluasnya, bahkan mamfasilitasi dengan baik, aktualisasi dari korban-korban ikutan: keluarga, kerabat, anak, dan cucu.

Hingga mereka kembali jadi bagian integral bangsa ini, tanpa kelas dan stigma, dengan produk kreatifnya bisa memberikan kontribusi terbaik pada kerja pembangunan bangsa. Bukan demi mereka saat ini, melainkan demi masa depan anak cucu kita bersama.

Maka, sekali lagi, kalau profit atau saldo menjadi dasar relasi antarmanusia di adab Kontinental, dalam kehidupan bahari yang menjadi identitas alamiah dari bangsa Indonesia, cinta adalah arus yang menghidupi relasi itu. Cinta adalah air. Cinta adalah hening yang abadi mengalir, sementara murka (karena merasa kalah atau rugi) adalah api yang membakar dan gerak yang acak tak berarah. Semua yang (penuh) gerak akan senyap dalam air. Semua yang membakar akan padam dalam air. Lalu, mengapa kita harus terus membakar (diri dan orang lain), sementara cinta memberi kita hening dan kedamaian?

RADHAR PANCA DAHANA

Budayawan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Bisakah Murka Membakar Cinta".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger