Permintaan pelayanan melampaui kapasitas yang Anda sediakan. Di beberapa tempat kekurangan meja, alat masak bahkan kehabisan makanan sebelum waktunya. Di beberapa tempat bahkan kekurangan tenaga sehingga antrean memanjang. Jika permintaan dalam tiga tahun ini diperkirakan dua kali yang sekarang, apa prioritas Anda? Apakah menyekolahkan lagi pekerja Anda jadi prioritas? Apakah meningkatkan standar minimal calon pekerja Anda prioritaskan?
Pertanyaan aneh inilah yang terjadi di pelayanan kesehatan. Juni 2016 ini, peserta JKN mencapai 166,9 juta. Tahun 2015, ada sekitar 146 juta dilayani di sekitar 20.000-an fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dengan sekitar 9.815 puskesmas. Kalau kita merencanakan menjamin seluruh penduduk (universal coverage/UC) pada 2019, kita perlu mempersiapkan FKTP untuk menampung 270 juta penduduk Indonesia saat itu. Artinya, mempersiapkan 40.000 FKTP.
Sekarang ini, kondisi sekitar 10.000 puskesmas itu kekurangan tenaga (data 2015, 9 persen puskesmas tanpa dokter, 25 persen kurang dokter, 50 persen kurang dokter gigi, 40 persen kurang perawat dan bidan) dan sebagian rusak (sekitar 10 persen rusak berat dan sedang, 20 persen rusak ringan). Tak jelas berapa persen yang kurang peralatan kesehatan. Artinya, dalam dua tahun ini kalau kita berniat menyiapkan outletuntuk UC, kita perlu memperbaiki puskesmas, menyiapkan 20.000 FKTP baru di luar puskesmas dan mempekerjakan lagi minimal sekitar 20.000 dokter baru, 10.000 dokter gigi baru, dan sekitar 50.000 perawat/bidan baru.
Lalu kalau tahun ini, pemerintah melaksanakan program dokter layanan primer (DLP) yang di dalamnya menambah masa pendidikan dokter baru selama tiga tahun untuk melayani FKTP, apakah ini tindakan masuk akal? Mengapa Kementerian Kesehatan berkeras melaksanakan pendidikan program DLP? Alasan utamanya karena pemerintah ingin memperkuat pelayanan primer yang sekarang masih lemah. Apa tolok ukur lemahnya pelayanan primer?
Tolok ukur
Tolok ukur pertama, tingginya rujukan ke pelayanan sekunder (rumah sakit). Hal ini menunjukkan kurangnya kemampuan dokter di pelayanan primer untuk menangani pasien sehingga cenderung merujuk. Namun secara nasional, laporan BPJS menunjukkan angka rujukan ke rumah sakit tahun 2015 dan 2016 (hingga Juni) masih sekitar 11,9 persen, di bawah patokan 15 persen. Memang ada penelitian yang menunjukkan rujukan di atas 15 persen di beberapa tempat, terutama di kota. Namun, analisis itu juga menunjukkan ada beberapa penyebab selain kompetensi tenaga kesehatan, yaitu kurangnya jumlah tenaga kesehatan, jumlah dan jenis fasilitas serta alat kesehatan yang tersedia. Puskesmas yang terletak lebih dekat dengan RS umumnya memiliki angka rujukan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang jauh. Selain itu, terdapat permasalahan preferensi (rujukan atas permintaan pasien) ataupun biaya transportasi.
Tolok ukur kedua adalah biaya. Tahun 2015, menurut laporan BPJS, dari pendapatan iuran Rp 52,8 triliun, beban JKN sekitar Rp 57,1 triliun, defisit sekitar Rp 4-5 triliun. Prediksi 2016 defisit lebih besar. Diharapkan dengan DLP, defisit dapat ditanggulangi. Dalam pemahaman saya, defisit ini terjadi karena beberapa hal. Saya setuju dengan Prof Hasbullah Tabrani, pakar JKN, yang mengatakan biaya premi yang ditetapkan masih lebih rendah dibandingkan biaya pelayanan kesehatan yang sebenarnya.
Perlu diingat, melalui mekanisme asuransi sosial, biaya pelayanan kesehatan relatif lebih bisa dikendalikan, tetapi tak berarti menurun. Apalagi JKN sampai sekarang masih menjamin seluruh biaya pelayanan sehingga masih terjadi moral hazard. Misalnya tahun lalu, iuran dari peserta mandiri JKN Rp 4,7 triliun, tetapi BPJS membayar biaya kesehatannya sampai Rp 16,7 triliun, rasio klaim hampir 400 persen. Penyebab lain yang tak kalah penting adalah sepertiga biaya rujukan itu terjadi akibat penyakit katastrofik, seperti penyakit jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke, penyakit yang menurut saya tidak akan bisa diatasi oleh dokter di layanan primer.
DLP adalah dokter yang mendapatkan tambahan pendidikan dalam bidang kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat. Diharapkan dengan menguasai kedua ilmu itu, dokter bisa melakukan program promotif dan preventif dengan lebih baik sehingga berbagai penyakit katastropik ini bisa dikurangi. Lagi-lagi menurut saya, harapan ini tak realistis paling tidak dalam 10 tahun ini. Dengan beban kunjungan dan kondisi seperti sekarang, dokter akan habis waktunya untuk mengobati pasien.
Dengan ekonomi yang lebih baik dan penduduk Indonesia yang makin tua, maka seperti negara lain, kita akan menghadapi meningkatnya berbagai penyakit kronis, yang biaya penanggulangannya memang lebih mahal. Namun, tetap tingginya prevalensi baik penyakit menular maupun tidak menular (kronis) menunjukkan bahwa kita melalaikan upaya mendidik masyarakat ataupun upaya pencegahan. Akan lebih cost effective bagi pemerintah jika mau bersungguh sungguh mengembangkan dan membiayai upaya kesehatan masyarakat (UKM), yang ciri utamanya memang upaya promotif dan preventif.
UKM yang menurut regulasi sekarang ini berada di tangan pemerintah daerah, selama puluhan tahun praktis hidup segan mati tak mau dan dibiayai seadanya. Tenaga yang melaksanakan UKM ini, yang memang keahliannya bidang promotif dan preventif, sudah puluhan ribu jumlahnya dihasilkan oleh sekitar 160 institusi kesehatan masyarakat (IKM). Mendidik tenaga yang ahli promotif dan preventif melalui IKM jauh lebih murah dan mengenai sasaran, dibandingkan memaksakan dokter menjadi superman, yang menguasai seluruh keilmuan, mulai dari promotif, preventif, hingga kuratif.
Ringkasnya, kalau kita fokus menyukseskan UC, pemerintah harus memberikan insentif memberikan dukungan dan berbagai kemudahan lainnya agar dokter baru mau mengisi wilayah kosong atau membuka FKTP sendiri. Saya yakin dengan insentif yang memadai, distribusi dokter akan membaik. Menambah tiga tahun pendidikan dokter yang minimal tujuh tahun, karena mulai antre untuk uji kompetensi dan antre magang, dalam konteks ini, suatu pemborosan.
PURNAWAN JUNADI
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Dokter Layanan Primer, Pemborosan untuk Cakupan Global".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar