Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Agustus 2016

"Raison D'être" KPK (JE SAHETAPY)

Menurut Kompas, 27 Juli 2016, "Korupsi di Indonesia memburuk. Sebanyak 66,4 persen responden menilai korupsi di Indonesia meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya."

Mengapa harus begitu? Apakah sistem pendidikan ataukah pendidikan di rumah yang keliru? Atau kultur kita adalah "budaya korupsi"; bukan "budaya malu" atau "budaya rasa bersalah"? Lalu apa manfaatnya pendidikan agama di sekolah, yang pada zaman saya cuma ada pendidikan "budi pekerti". Ataukah budaya kita memang sudah tercemar jadi "budaya korupsi"?

Penguasa Orde Baru, oleh banyak orang-entah benar atau tidak, terutama oleh generasi muda pada waktu itu-dipandang luar biasa korup. Ada pula yang berpendapat bahwa dahulu kala, sebelum Indonesia merdeka, para aristokrat dari kerajaan-kerajaan pada waktu itu juga korup. Mungkin tulisan Max Havelaar atau Multatuli merupakan salah satu sumber contoh. Demikian pula secara mutatis mutandis dengan kehancuran VOC di Indonesia sebelum Kerajaan Belanda menancapkan kekuasaan kolonialismenya. VOC sebagai perusahaan dagang Belanda di Indonesia juga hancur berkeping karena korupsi para pegawainya.

Jadi korupsi tak pernah mati dan tak akan mati. Ia hanya terlena dan menunggu saat yang tepat bangkit kembali. Salah satu penelitian program S-3 berupa disertasi oleh Sebastian Pompe "The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse" (2012), perlu disimak kembali.

Label "ad hoc"

Perdebatan di DPR setelah era Orde Baru bertalian dengan korupsi dalam rangka reformasi berjalan "alot". Dicapai kesimpulan sementara: lembaga kepolisian dan kejaksaan dianggap tidak "becus" dalam pemberantasan korupsi yang mulai merajalela. Kesimpulan pada waktu itu, dengan membandingkan di Malaysia dan Hongkong, perlu dibentuk suatu badan yang dinamakan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan label ad hoc sampai kepolisian dan kejaksaan jadi baik dan bersih.

Jadi, label ad hoc ini harus dibaca demikian, yaitu sampai institusi kepolisian dan kejaksaan bersih dan berfungsi dengan baik. Menyerang KPK dengan berbagai"jurus silat" sebagai pranata ad hoc tanpa mengaitkannya dengan institusi kepolisian dan kejaksaan adalah tidak adil dan tendensius.

Selalu jadi duri dalam daging oleh mereka di Senayan, dan beberapa akademisi lain, untuk mempersoalkanraison d'être KPK tanpa mempertimbangkan label ad hoc adalah tidak fair. Namun, politik tanpa hati nurani dan pikiran waras mungkin begitu. Di kemudian hari, dalam majalahTime (22/3/1999), saya baca komentar Sylvie Ronny: "Politicians are like gangsters. Unless you catch them redhanded, you never get them."

Saya prihatin dan sedih melihat mereka berkaok-kaok, bahkan ada yang memfitnah saya hanya karena saya melihat wajahnya dan menyebut sering berdampingan dengan seorang koruptor terkenal. Yang bersangkutan lupa bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Tak ada gading yang tak retak. Itu berlaku juga untuk pranata KPK atau untuk orang-orangnya di masa lalu. Kalau untuk orang-orangnya, siapa yang harus disalahkan? Kalau ada oknum aparat penegak hukum yang salah, apakah lembaganya juga salah atau harus dilikuidasi? Ini pola pikir yang salah.

Dengan beberapa episode di masa lalu seperti "Cicak versus Buaya" dan "kasus penembakan di Bengkulu", maka warisan sejarah javert complex dari "Les Miserables" dari cerita klasik Victor Hugo tampak seperti terulang kembali dalam pemborgolan salah satu pimpinan KPK. Saya tidak habis mengerti sikap dan pikiran yang menangkap, dan cuma bisa geleng-geleng kepala dalam rasa kepedihan dan malu: ini perkara apa?

Apakah pemborgolan itu untuk mempermalukan KPK atau untuk yang bersangkutan. Entahlah! Tetapi ini menyangkut suatu sistem hukum yang tampaknya belum pernah terpikir atau dibicarakan di Senayan. Apakah kita ini kini tanpa sadar sudah menganut sistem Anglo Saxon atau menganutnya secara terselubung, ataukah sedang merintis sistem hantam kromo? Suka atau tidak, saya terpaksa dengan ringkas mengupasnya karena ini bertalian dengan orang-orang yang terhormat di Senayan melihat mereka berkicau.

Saya mulai saja dengan ungkapan "praduga tak bersalah". Kalau dipakai secara konsekuen, ungkapan ini baru berlaku di pengadilan, bukan ketika yang bersangkutan mulai ditahan oleh aparat penegak hukum. Herbert L Packer (1968) menulis: "The presumption of innocence is not its opposite; it is irrelevant to the presumption of guilt... The presumption of innocence is a direction to officials about how they are to proceed, not a prediction of outcome".

Sudah usang

Terus terang, saya belum paham apakah sistem crime control model ataukah due process model yang diterapkan dewasa ini. Implikasi dan konsekuensi dari kedua model ini jelas berbeda. Memang masih ada model lain, tetapi tidak relevan untuk dibicarakan di sini. Namun, sering saya membaca komentar yang membingungkan. Jangankan KUHAP, tentang Rancangan KUHP saja para akademisi kita bisa buat blunder dalam rangka menyusun Rancangan KUHP.

Ketika saya diminta (almarhum) Prof Sudarto mendampinginya, saya usul agar Rancangan KUHP yang akan datang cukup terdiri atas dua buku. Buku ketiga secara kriminologis tidak lagi relevan. Dengan persetujuan Badan Pertimbangan Hukum Nasional (BPHN), saya diutus untuk konsultasi di Belanda, dengan Prof Nico Keyzer dari HR Belanda dan Prof D Schaffmeister, Dekan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Singkat cerita, usul saya diterima.

Dalam rangka kodifikasi saya tidak sepakat dengan pola pikir di Senayan dewasa ini yang mendapat dukungan dari beberapa akademisi. Silakan baca buku Marc Goodman (2015), Future Crimes (Inside the digital underground and the battle for our connected world).This is just the beginning of the tsunami of technological threats coming our way". Pola kodifikasi sudah usang. Yang seharusnya berlaku dewasa ini adalah lex specialis derogat legi generali. Perkembangan zaman dan teknologi digital mengharuskan KPK bukan lagi ad hoc, melainkan harus dimasukkan dalam konstitusiatau UUD 1945 sebagai suatuconditio sine qua non. Kalau ada yang tidak setuju, entah itu dari Senayan atau dari Medan Merdeka, hal itu berarti seperti kata pepatah kolonial: "De kruik gaat zo lang te water tot zij barst (Bahwa: cepat atau lambat orang akan melihat/mengalami kesalahan dari sikap yang salah)".

Adalah bukan saja sangat mengherankan, juga sangat merisaukan kalau melihat kondisi pengadilan dewasa ini. Beberapa putusan akhir-akhir ini sangat meresahkan masyarakat. Sepak terjang sekretaris Mahkamah Agung (sudah mengundurkan diri) benar-benar keterlaluan. Mungkin sudah tiba waktunya untuk "membersihkan" pengadilan dari hulu sampai ke hilir.

Dalam buku Recht en Macht (Hukum dan Kekuasaan), kumpulan tulisan dari Prof Mr Algra et al (1979) dapat dibaca antara lain: "Zo moeten wij, als wij over het (positieve) recht spreken, tegelijk voor ogen houden recht en onrecht van dat recht, alsmede macht, maar ook onmacht van dat recht (Demikian kalau kami berbicara tentang hukum (positif), kami harus segera menyadari akan keadilan dan ketidakadilan dari hukum itu, demikian pula dengan kekuasaan yang berarti ketak-berkuasanya dari hukum itu)".

Dengan kutipan di atas, saya ingin memperingatkan kita tentang hukum pidana kita berdasarkan UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sampai kini belum ada "terjemahan resmi" berdasarkan putusan pemerintah, demikian pula dengan terjemahanBurgerlijk Wetboek dari almarhum Prof Soebekti. "Irah-irah" putusan Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kendati putusan itu tercemar dengan unsur-unsur kejahatan, sampai kini tak diubah meski saya sudah usul sejak era Orde Baru agar berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Pancasila.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan menyinggung masalah "penyadapan" di KPK. Para akademisi dan entah politikus di Senayan, berpendirian agar mekanisme penyadapan dicabut. Pendirian ini sudah saya bantah semasih jadi Ketua Komisi Hukum Nasional RI. Penyadapan adalah conditio sine qua non untuk KPK. Tanpa itu, KPK akan lumpuh. Bianchi, kriminolog Belanda, mengingatkan: "Niet alleen regeren, maar ook wetenschap bedrijven is vooruit zien. (Tidak hanya memerintah, tetapi juga menyelenggarakan ilmu pengetahuan, harus dapat melihat (jauh) ke depan!)". Kesimpulan saya secara singkat menyimak konstelasi politik dan sepak terjang di Senayan: (1) KPK harus dimasukkan dalam konstitusi; (2) penyadapan merupakan conditio sine qua non bagi KPK.

JE SAHETAPY

GURU BESAR (EMERITUS) UNIVERSITAS AIRLANGGA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul ""Raison D'être" KPK".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger