Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 11 Agustus 2016

Jakarta, Jawa, dan Indonesia (SALAHUDDIN WAHID)

Setiap Idul Fitri kita disuguhi peristiwa menarik sekaligus menyedihkan.

Peristiwa itu adalah arak-arakan kendaraan di jalan tol yang mudik dari Jakarta yang mengalami kemacetan amat parah. Bahkan tahun 2015 terjadi dua kali kemacetan parah, yaitu pada Idul Fitri dan Natal. 

Menjelang mudik Idul Fitri 2016, pemerintah tampak optimistis masalah kemacetan akan teratasi karena jalan tol sudah selesai sampai Brebes. Ternyata, mudik 2016 menyuguhkan situasi yang amat tragis: antrean panjang terjadi di beberapa pintu tol. Perjalanan Jakarta ke Yogyakarta ditempuh lebih dari 24 jam.

Antrean panjang itu menyebabkan kemacetan luar biasa sehingga sejumlah warga meninggal akibat kelelahan dan sulit mencapai rumah sakit karena jalan sudah macet. Pemerintah berjanji di masa depan akan mengevaluasi apa yang terjadi dan akan  memperbaikinya. Menurut pemerintah, kalau jalan tol Trans-Jawa selesai, kemacetan akan dapat diatasi. Apakah itu realistis atau sekadar harapan?

Jakarta adalah magnet

Kemacetan saat mudik adalah akibat jumlah pemudik amat besar dan berlangsung saat bersamaan. Lebih dari 500.000 kendaraan dari Jakarta mudik ke arah timur menggunakan jalan tol. Terkonsentrasinya kendaraan dalam jumlah besar di Jakarta adalah akibat terkonsentrasinya kegiatan ekonomi, pemerintahan, dan aspek lain di Jakarta. Mengomentari dominasi Jakarta itu, sebuah majalah luar negeri pada 1980-an menulis: Indonesia terbagi dua, Jakarta dan sisanya. 

Sekitar 70 persen dari jumlah uang beredar di Indonesia terpusat di Jakarta. Sebagian besar perusahaan besar dan terkemuka di Indonesia kantor pusatnya di Jakarta. Perusahaan yang semula punya kantor pusat di provinsi lain terpaksa pindah ke Jakarta karena perlakuan berbeda, termasuk dalam jumlah kredit yang bisa diterima. Penyanyi dan band serta bintang film yang ingin kariernya meningkat banyak yang pindah ke Jakarta.  Politisi juga bisa menapak karier dengan baik kalau dia berkiprah di Jakarta.

Jumlah kendaraan baru yang terjual tiap tahun kebanyakan juga di Jakarta. Tidak heran jika hampir semua jalan di Jakarta mengalami kemacetan amat parah pada jam kerja, bahkan pada jalan tertentu hingga larut malam. Jumlah kendaraan yang mudik juga bertambah setiap tahun. Jadi, kemacetan di pintu tol ke kota-kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih akan terus terjadi walaupun jalan tol sudah sampai di Banyuwangi.

Masalah utama Jawa adalah jumlah penduduk yang amat besar. Pada Sensus 2010, jumlahnya mencapai 136 juta. Dengan tingkat pertambahan penduduk sekitar 1,4 persen per tahun, jumlah penduduk di Pulau Jawa kini mencapai sekitar 146 juta. Kota-kota di Pulau Jawa sambung-menyambung, berbeda dengan kondisi di Sumatera, apalagi di Kalimantan dan Papua. 

Selain masalah kemacetan, jumlah penduduk yang banyak itu akan menimbulkan dampak negatif dalam aspek lingkungan. Kesalahan kebijakan pembangunan memicu kehancuran daya dukung Pulau Jawa sehingga penduduk Jawa berada pada tingkat risiko bencana tertinggi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membuktikan, 52 persen bencana terjadi di Jawa. Kita kerap mendengar berita tentang banjir dan longsor di Purworejo, Kebumen, Banjarnegara, dan sejumlah tempat lain. Dalam kurun 2002-2016, jumlah korban meninggal 12.191 jiwa dan terluka 203.354 orang. 

Menurut ahli geologi Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, pembangunan saat ini tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan, bahkan melemahkannya. Ini meningkatkan risiko bencana. Pemberian izin industri ekstraktif di Jawa, terutama industri pertambangan, menunjukkan bahwa paradigma pembangunan masih eksploitatif. Jawa seharusnya moratorium tambang karena daya dukung ekologinya sudah terlampaui.       

Secara keseluruhan, Indonesia surplus air, tetapi Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami defisit. Dari data neraca air pada 2003, total kebutuhan air di Jawa, Bali, NTB, dan NTT adalah 38,4 miliar meter kubik. Defisit ini diperkirakan akan semakin tinggi pada masa mendatang ketika jumlah penduduk dan kegiatan perekonomian semakin meningkat.

Potensi sumber daya air di Indonesia diperkirakan 15.000 meter kubik per kapita per tahun, jauh lebih tinggi daripada potensi rata-rata pasokan dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun. Pada 1930, Pulau Jawa masih mampu memasok 4.700 meter kubik per kapita per tahun. Diperkirakan pada 2020, total potensinya tinggal 1.200 meter kubik per kapita per tahun, di mana hanya 35 persen yang layak secara ekonomis untuk dikelola. 

Pengembangan luar Jawa

Untuk mengatasi masalah di atas, pengembangan wilayah di luar Jawa jadi kunci. Data menunjukkan, 70 persen kawasan industri berada di Jawa, terbanyak ada di Jawa Barat (45 persen). Kawasan industri di luar Jawa hanya terpusat di sebagian kecil wilayah, seperti Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Kendala untuk memindahkan industri ke luar Jawa ialah kurangnya infrastruktur. Tak hanya jalan-pelabuhan, juga pasokan listrik dan jaringan energi.

Selain itu, masalah lain ialah ketersediaan tenaga kerja bermutu dalam jumlah memadai. Ini berarti, kita harus menyediakan pendidikan bermutu secara merata di sejumlah wilayah di luar Jawa. Tentu tidak bisa dilupakan adanya pelayanan kesehatan yang memadai di luar Jawa.

Pertambahan penduduk Jawa tiap tahun mencapai 2 juta. Dalam beberapa puluh tahun ke depan, penduduk Jawa mencapai 200 juta, suatu jumlah yang melampaui daya dukungnya. Apalagi diperkirakan bahwa pada 2050, jumlah daratan Jawa akan berkurang secara berarti akibat meningkatnya tinggi permukaan air laut. Harus ada kebijakan untuk memindahkan penduduk Jawa dalam jumlah besar.

Untuk mengatasi begitu banyak masalah besar dan bersifat mendesak tersebut, diperlukan langkah terintegrasi. Karena uang beredar di Jakarta terlalu besar dan Jakarta adalah magnet yang amat kuat, perlu dipertimbangkan memindahkan ibu kota ke luar Jawa. Pilihan utama ialah Kalimantan, yang luasnya lebih empat kali Jawa. Jumlah penduduknya pun 14 juta-15 juta.

Pemindahan ibu kota itu bisa jadi pemicu untuk mengurangi beban Pulau Jawa, sekaligus mengembangkan luar Jawa yang selama 70 tahun ini belum  sempat kita lakukan. Pemindahan ibu kota adalah sesuatu yang lazim terjadi di banyak negara. AS memindahkannya dari New York ke Washington DC, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Jepang dari Kyoto ke Tokyo.  

Pemindahan ibu kota adalah pekerjaan raksasa yang harus direncanakan dengan baik dan cermat. Tentu apa yang dikemukakan di atas akan membutuhkan dana yang amat besar. Sumber utama tentu pajak dan pendapatan negara bukan pajak. Banyak pihak, termasuk sejumlah pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berpendapat bahwa peningkatan pajak bisa dilakukan kalau pemerintah memang serius. Termasuk memberi kewenangan lebih besar kepada DJP dan menempatkan lembaga perpajakan di luar Kementerian Keuangan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Kalau kita bisa melakukan upaya di atas dengan baik, judul tulisan ini tentu akan berubah. Dari "Jakarta, Jawa, dan Indonesia" menjadi "Indonesia, Jawa, dan Jakarta".

Artinya, kepentingan Indonesia adalah yang utama, lalu kepentingan Jawa, dan baru terakhir kepentingan Jakarta. Bukan sebaliknya, seperti terkesan dari judul tulisan di atas. 

 SALAHUDDIN WAHID

Pengasuh Pesantren Tebuireng

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Jakarta, Jawa, dan Indonesia".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger