Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 26 Agustus 2016

Konstitusionalisme Setengah Hati (MUNAFRIZAL MANAN)

Majelis Permusyawaratan Rakyat sedang berusaha mewujudkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Kelima. MPR dan beberapa pihak lain ingin mengembalikan eksistensi Garis-garis Besar Haluan Negara ke dalam UUD 1945. Ini akan berimplikasi menata ulang kedudukan dan kewenangan MPR, termasuk pola hubungannya dengan lembaga tinggi negara lain.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial (KY) pun ingin kedudukan dan kewenangannya diperkuat melalui amandemen UUD 1945 Kelima (Kompas, 20/8/2016). Sangat mungkin akan muncul berbagai aspirasi lain agar diakomodasi dalam amandemen UUD 1945 Kelima nanti.

Ini merupakan bukti tambahan tentang problema format konstitusionalisme kita. Sebelum ini telah ada yang mempersoalkan implementasi amandemen UUD 1945. Meskipun UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial, dalam praktiknya tidak dapat dilaksanakan secara efektif pasca amandemen UUD 1945. Sistem presidensial ternyata bercita rasa sistem parlementer. Ada pula yang menyuarakan memperkuat kembali kewenangan presiden dalam mengangkat Kepala Polri, panglima TNI, dan duta besar tanpa harus melalui mekanisme di DPR. Pernah pula seorang politisi di DPR berwacana mengubah kembali ketentuan masa jabatan presiden yang hanya boleh dua periode agar presiden yang sedang berkuasa dari partainya dapat kembali ikut pemilihan presiden.

Problema amandemen

Setelah empat belas tahun sejak amandemen UUD 1945 selesai dilakukan (1999-2002), kini semakin terbukti amandemen UUD 1945 memang menyisakan persoalan. Studi doktoral oleh Blair A King (2004), Denny Indrayana (2007), Nadirsyah Hosen (2007), dan Valina Singka Subekti (2008), misalnya, memberi konfirmasi ilmiah-argumentatif perihal problema amandemen UUD 1945. Melalui buku berjudulConstitutional Change and Democracy in Indonesia, Donald L Horowitz (2013) menyebut peran dominan aktor-aktor rezim sebelumnya (Orde Baru) dalam penyusunan amandemen UUD 1945. Sedikit atau banyak, aktor-aktor rezim lama telah mewariskan problema format konstitusionalisme.  

Pada intinya, problema amandemen UUD 1945 berkaitan dengan aspek proses dan hasil. Proses perumusan dan pengesahan amandemen UUD 1945 sepenuhnya didominasi elite politik sehingga hasilnya pun merefleksikan kepentingan dan kalkulasi politik mereka ketimbang mendesain format konstitusionalisme yang sesuai dengan prinsip dan teori konstitusi (best practices) pembuatan konstitusi. Amandemen UUD 1945 adalah produk elite politik, bukan seluruh rakyat Indonesia.

Problema hasil amandemen UUD 1945 sebetulnya telah disuarakan oleh sebagian kaum intelektual dan aktivis pada saat amandemen berlangsung. MPR kemudian sempat membentuk Komisi Konstitusi yang diberi tugas menyempurnakan hasil- hasil amandemen UUD 1945. Namun, hasil kerja dan rekomendasi Komisi Konstitusi sama sekali tidak digubris MPR. Meskipun ada kemajuan signifikan yang telah dicapai, inisiasi bongkar pasang hasil amandemen UUD 1945 mengafirmasi format dan praktik konstitusionalisme masih bersifat uji coba (trial and error). Kita masih terus mencari format konstitusionalisme ideal dan berumur panjang (longevity). Konstitusionalisme kita ternyata tidak sematang kemerdekaannya yang kini berusia 71 tahun. Eksperimentasi konstitusionalisme seperti jalan tak ada ujung.

Eksperimentasi format konstitusionalisme

Tiga bukti faktual berikut ini juga menunjukkan kecenderungan eksperimentasi format konstitusionalisme. Pertama, melalui Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, Ketetapan MPR dihapus dari hierarki peraturan perundang-undangan. UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga meniadakan Tap MPR. Namun, Ketetapan (Tap) MPR dimunculkan kembali ketika UU tersebut diubah menjadi UU Nomor 12 Tahun 2011.

Kedua, UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD. Karena mendapat penolakan luas, kemudian Presiden segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tanggal 2 Oktober 2014 yang mengatur kembali pemilihan kepala daerah melalui mekanisme pemilihan umum secara langsung oleh rakyat.

Ketiga, pada awalnya kewenangan memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah diberikan kepada Mahkamah Agung. Namun, pembentuk undang-undang mengalihkan kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi. Setelah sekitar enam tahun melaksanakan kewenangan ini, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XII/2014 tanggal 19 Mei 2014, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara tersebut adalah inkonstitusional karena pilkada bukanlah rezim pemilihan umum, melainkan rezim pemerintahan daerah.

Sempat muncul wacana mengembalikan kewenangan ini kepada Mahkamah Agung, tetapi Mahkamah Agung menolaknya.

Bentangan fakta di atas sesungguhnya berakar pada konstitusionalisme setengah hati. Momentum emas membangun konstitusionalisme yang komprehensif dan koheren disia-siakan pada saat amandemen UUD 1945 dan pembentukan undang-undang. Sikap politik miopik elite politik melahirkan konstitusionalisme setengah hati. Kepentingan politik sempit dan temporer serta agenda terselubung lainnya mengalahkan urgensi membangun format konstitusionalisme yang komprehensif dan koheren.

Menurut Cass R Sunstein (2001) dalamDesigning Democracy: What Constitutions Do, "konstitusi-konstitusi yang baik merupakan campuran elemen-elemen preservatif dan transformatif" (halaman 240). Dalam konteks ini, format konstitusionalisme hendaknya dibuat untuk bertahan lama dan berdaya guna memecahkan masalah-masalah bangsa untuk menciptakan perubahan kondisi yang lebih baik. Dua elemen inilah yang kurang dipertimbangkan secara serius dalam format konstitusionalisme kita.    

Potret buram kehidupan politik dan hukum sampai hari ini, dalam batas tertentu, juga bersumber dari konstitusionalisme setengah hati itu. Menimbang semangat era reformasi yang menghendaki terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, elite politik di DPR telah membuat keputusan tepat ketika membentuk/memperkuat beberapa lembaga negara/komisi independen. Namun, ini pun dilakukan dengan setengah hati.

Kecuali Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sejak awal pembentukannya diberikan kewenangan luas oleh undang- undang (mulai dari penyadapan, penyidikan, penuntutan, hingga supervisi), komisi-komisi independen lain sengaja diberikan kewenangan terbatas. Kendati demikian, sebagian elite politik seolah menyesali telah memberikan kewenangan luas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka kemudian selalu berupaya melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Komisi Yudisial yang kedudukan dan kewenangannya bersumber dari UUD 1945 justru direduksi hanya memiliki kewenangan rekomendatif atas sanksi yang dijatuhkannya terhadap hakim yang terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Eksekusi atas rekomendasi sanksi etik berada di tangan Mahkamah Agung. Faktanya, tidak semua rekomendasi sanksi etik dari Komisi Yudisial ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung. Bahkan, ada resistansi dari Mahkamah Agung terhadap eksistensi Komisi Yudisial.

Serupa dengan itu, Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan tidak dapat mengeksekusi sanksi yang dijatuhkannya terhadap polisi dan jaksa yang terbukti melanggar kode etik profesi. Begitu pula, Ombudsman Republik Indonesia yang rekomendasinya bersifat final dan mengikat tidak selalu ditindaklanjuti.

Seturut dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang telah dinaikkan derajat yuridis pembentukannya pada level undang-undang pada awal era reformasi, kewenangannya pun dibatasi hanya melakukan penyelidikan pelanggaran HAM. Komnas HAM tidak diberikan kewenangan menyidik dan menuntut pelanggaran HAM.

Konstitusionalisme setengah hati inilah yang menyebabkan agenda reformasi di lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman) tersendat. Reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik belum optimal. Dan sejumlah pelanggaran HAM masa lalu sulit dituntaskan.

Keniscayaan

Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi telah mengisyaratkan urgensi penyempurnaan format konstitusionalisme. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan, DPD juga berwenang dalam penyusuan program legislasi nasional dan ikut melakukan pembahasan rancangan undang-undang. Pada saat amandemen UUD 1945, para elite politik telah secara sengaja memberikan kedudukan dan kewenangan terbatas dan diskriminatif kepada DPD. Putusan Mahkamah Konstitusi lain menegaskan, kewenangan DPR memilih hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial hanya bersifat konfirmatif, yaitu menyetujui atau tidak menyetujui.

Dalam putusan berbeda, Mahkamah Konstitusi memangkas kewenangan DPR memilih komisioner Komisi Yudisial. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui calon komisioner Komisi Yudisial yang diajukan pemerintah. Artinya, kekuasaan DPR pasca amandemen UUD 1945 yang cenderunglegislative heavy perlu dikoreksi. Putusan-putusan ini mesti dibaca sebagai konfirmasi Mahkamah Konstitusi atas problema format konstitusionalisme.

Cepat atau lambat, amandemen konstitusi kelima merupakan keniscayaan. Namun, yang dibutuhkan adalah lebih dari sekadar amandemen konstitusi secara parsial, sektoral, dan insidental. Konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi dalam kehidupan bernegara terlalu penting untuk dibuat secara asal-asalan. Sudah saatnya dirancang bangun format konstitusionalisme secara komprehensif dan koheren agar progresivitas konstitusionalisme Republik ini tidak lagi berlangsung setengah hati. Hanya dengan format dan praktik konstitusionalisme sepenuh hatilah, semangat reformasi yang kini mati suri dapat berdenyut kembali.

MUNAFRIZAL MANAN

Alumnus University of Melbourne dan Universiteit Utrecht; Peneliti Senior di Jimly School of Law and Government

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Konstitusionalisme Setengah Hati".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger