Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 26 Agustus 2016

Daulat Rakyat dan Prinsip Kesejahteraan (ANHAR GONGGONG)

Tanggal 17 Agustus dan 1 Juni tahun ini, Indonesia telah menjalani usia 71 tahun kemerdekaannya. Untuk sebuah negara merdeka, usia itu belum dapat disebut lama, tetapi juga tidak dapat dikatakan terlalu singkat untuk mewujudkan tujuan merdeka, yaitu rakyat berdaulat dan kesejahteraan.

Pada 1 Juni yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Kita semua tahu yang dimaksud dengan Pancasila itu tidak lain adalah dasar negara Republik Indonesia.

Hubungan antara 17 dan 18 Agustus 1945 dengan 1 Juni 1945 memang tidak dapat dilepaskan. Hal itu dikarenakan sebelum proklamasi kemerdekaan sebagai bangsa merdeka pada 17 Agustus, dan penegakan negara merdeka Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945, para pemimpin utama bangsa Indonesia yang ditunjuk pemerintah pendudukan Jepang menjadi ketua dan anggota BPUPKI dan PPKI telah merumuskan dasar negara.

Perumusan itu-dalam arti Pancasila-dimulai dari ide utama anggota BPUPKI dan Ketua PPKI, Soekarno, yang disampai-rumuskan pada 1 Juni 1945. Namun, dirumuskan ulang oleh Panitia Sembilan, yang diketuai oleh Soekarno (Bung Karno), dan menghasilkan rumusan Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Selanjutnya dirumuskan ulang untuk kemudian ditetapkan sebagai dasar negara dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945.

Rakyat dan kesejahteraan

Daulat rakyat merupakan ide yang dikembang-sosialisasikan oleh salah satu pemimpin pergerakan nasional, Mohammad Hatta, yang memberi tempat utama pada rakyat. "Rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereimiteit)". (Lihat sampul belakang Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, 2002).

Dengan demikian, Bung Hatta menempatkan pemahaman demokrasi yang harus memberikan tempat utama kepada rakyat umum. Tentu saja yang dimaksud ialah rakyat dalam arti seluruh warga negara dari negara bernama Republik Indonesia.

Dikaitkan dengan ide dasar dari pemikiran Bung Hatta, yang merupakan "teman sejawat" Bung Karno dalam memimpin bangsanya menuju dan menjadi merdeka, tentang demokrasi, maka Bung Karno juga menghendaki demokrasi yang mengatur kehidupan bersama di dalam Indonesia merdeka. Hanya saja, Bung Karno menolak demokrasi liberal-yang disebutnya demokrasi impor-untuk digunakan dalam menjalankan pemerintahan Indonesia merdeka. Penolakannya itu telah ditulis sejak 1933. Penolakannya itu kembali diulanginya lagi pada rumusan dasar negara pada 1 Juni, yang dikenal dengan Pancasila.

Dalam pidato 1 juni 1945, yang kemudian dibukukan dengan judul Lahirnya Pancasila"(1947), jelas terlihat bahwa anggota BPUPKI yang "terkemuka" itu mengaitkan "demokrasi" yang dirumuskannya sebagai sila ketiga dengan "kesejahteraan"yang dirumuskannya sebagai sila keempat. Dalam rumusannya tentang sila keempat, kesejahteraan, beliau menyatakan, "di dalam Indonesia merdeka, tidak akan ada kemiskinan".

Dalam kaitan itu, dalam menjalani 71 tahun Indonesia merdeka, justru demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi yang tidak memberi ruang pada kekuasaan rakyat. Lebih dari itu, demokrasi tersebut tidak membawa pada kenyataan "tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka".

Selama 71 tahun berada di dalam Indonesia merdeka, para pemimpin (politik dan partai) telah menjalankan empat sistem demokrasi dengan cirinya masing-masing. Kita catat ialah; (1) demokrasi liberal, 1945-1959; (2) demokrasi terpimpin 1959-1967; (3) demokrasi Pancasila, 1967- 1998; dan (4) demokrasi (saat ini), 1998-sekarang. Kalau kita melihat lebih lanjut, terlihat gejala-walau tentu saja terdapat perbedaan-perbedaan-yang dapat digunakan untuk melihat kesamaan-kesamaan dari demokrasi-demokrasi tersebut.

Yang saya maksud demokrasi liberal 1945-1959 dengan demokrasi yang dijalankan sekarang, yang tampak ialah gejala kebebasannya. Sementara demokrasi terpimpin (1959-1967) dan demokrasi Pancasila (1967-1998) sama-sama bersifat otoriter-diktatorial.

Usaha untuk "mencari demokrasi" dengan adanya empat jenis demokrasi yang telah dan sedang dijalankan itu menunjukkan bahwa mewujudkan ide dalam alam kemerdekaan ternyata tidak semudah ketika membicarakannya dalam pidato-pidato walau yang memidatokannya adalah pembawa ide itu sendiri. Karena ternyata keempat demokrasi yang telah dan sedang dijalankan itu tidaklah sejalan dengan ide utama Bung Hatta sehingga juga pemerintah negara merdeka ini belum mampu menciptakan kesejahteraan sebagaimana yang dimaksud Bung Karno: "di dalam Indonesia merdeka, tidak akan ada kemiskinan".

Penutup

Dengan berdasarkan pada keterangan-keterangan di atas, sebagai warga negara yang mengikuti perjalanan bangsa-negara merdeka ini, saya berkesimpulan bahwa kegagalan mewujudkan demokrasi-daulat rakyat dan belum terwujudnya kesejahteraan, sebagaimana yang dimaksud oleh Soekarno selaku perumus pertama Pancasila, penyebabnya karena belum ada pemerintah yang menjalankan pemerintahannya yang "sejalan" dengan dasar negara Pancasila! Yang terjadi sekarang adalah demokrasi prosedural yang dijalankan tanpa pemahaman jelas tentang apa yang dimaksudnya. Dan, oleh karena itu, perwujudan Indonesia merdeka yang di dalamnya tidak akan ada kemiskinan juga belum dapat terlaksana. Terbukti, sampai sekarang, setelah 71 tahun kemerdekaan, pemerintah negara belum mampu "menghilangkan" kemiskinan itu. Masih terdapat paling tidak 2,7 juta rakyat miskin-menurut BPS.

Ini adalah fakta yang tidak dapat diabaikan mereka yang menyebut diri pemimpin pada saat memperingati hari proklamasi dengan pakaian-pakaian "necis" dalam upacara kebesaran di Istana Negara!

 ANHAR GONGGONG

SEJARAWAN; DEPUTI MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA 2001-2003; TENAGA PROFESIONAL LEMHANNAS RI 2009-SEKARANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Daulat Rakyat dan Prinsip Kesejahteraan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger