Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 26 Agustus 2016

Evolusi Taktik Pelaku Teror (AKH MUZAKKI)

Pertemuan Internasional Penanggulangan Terorisme dan KTT Ke-2 Penanggulangan Pendanaan Terorisme di Nusa Dua Bali (10/8/2016), yang dihadiri 35 perwakilan negara di dunia, menyoroti evolusi taktik pelaku tindak terorisme sebagai isu terkini yang sangat penting. Dari sisi taktik, aksi-aksi terorisme global dipahami terus berevolusi.

Dalam babakan waktu yang cukup lama, serangan teror kerap dilakukan dengan biaya besar dan dalam kelompok. Taktik itu mengalami perubahan. Kini, pelaku teror tak lagi menjadikan serangan kelompok dengan biaya besar sebagai taktik utama. Serangan-serangan individual merupakan modus baru yang mulai kerap dijadikan sebagai strategi terorisme model baru.

Serangan teror di Nice, Perancis, pertengahan Juli lalu, salah satu buktinya. Pelakunya individual. Modusnya dengan menabrakkan truk sewaan ke kerumunan di kawasan Pantai Promenade des Angalais, Nice. Lebih dari 80 orang akhirnya tewas.

Pola dan model gerakan

Evolusi taktik serangan pelaku teror memang pantas menjadi perhatian bersama. Tertangkap atau bahkan terbunuhnya pelaku teror yang satu tak segera mengakhiri tindak terorisme oleh yang lain. Bahkan, terbunuhnya para gembong kelas wahid belum bisa menjamin berakhirnya terorisme yang mengancam keamanan bersama. Selalu ada yang baru dalam tindak terorisme di berbagai kawasan dunia.

Untuk itu, telaah atas pola atau model gerakan pelaku terorisme patut dilakukan secara saksama. Indonesia bisa dijadikan sebagai kasus menarik. Menurut hemat saya, ada empat model atau pola gerakan yang dipraktikkan oleh para pelaku terorisme di negeri ini.

Pertama, model aksi terorisme melalui penyerangan fisik dalam skala besar. Rangkaian aksi teror melalui bom bunuh diri, dari Bom Bali I 2002, Bom Marriot 2003, hingga Bom Kuningan (Kedubes Australia) 2004, adalah bukti konkret dari model terorisme melalui serangan fisik berskala besar.

Model ini dilakukan saat ruang gerak terorisme belum mengalami penyempitan dan pembatasan berarti. Model ini diberlakukan saat penyerangan fisik masih dianggap sebagai satu-satunya instrumen paling efektif bagi pencapaian tujuan terorisme.

Kedua, model penyebaran terorisme melalui publikasi populer. Model ini dilakukan dengan menyebarluaskan ideologi dan cara pandang terorisme ke khalayak luas dengan memanfaatkan kemajuan industri media. Dalam kaitan ini, muncullah rangkaian panjang aktivitas industri publikasi yang berorientasi pengembangan semangat dan ideologi teror. Identitas yang dieksploitasi adalah pencitraan diri sebagai "media jihad". Bentuk produknya sangat beragam: mulai dari VCD, majalah, buku, hingga pamflet atau poster yang menjual visualisasi aksi jihad.

Model gerakan jihad-cum-terorisme jenis kedua ini dipraktikkan menyusul pembatasan dan penyempitan ruang gerak. Menguatnya institusionalisasi penjaminan keamanan melalui tim Densus 88, kencangnya kampanye anti terorisme oleh negara dengan dukungan besar dari titik simpul masyarakat, hingga hampir tiadanya industri media yang membantu atau minimal tidak menyudutkan posisi pelaku gerakan terorisme membuat para pelaku gerakan tersebut menghitung ulang strategi gerakan yang digunakan.

Penghitungan ulang itu akhirnya melahirkan dua kesadaran baru. Salah satunya adalah bahwa meneruskan aksi teror melalui penyerangan fisik seperti bom bunuh diri berskala besar akan membuat umur gerakan mereka makin pendek. Sebab, pergerakan mereka akan mudah terbaca.

Kesadaran yang lain adalah bahwa intensifikasi penyerangan fisik melalui aksi bom bunuh diri berskala besar dianggap tak lagi efektif untuk perekrutan tenaga baru serta keberlangsungan gerakan jihad-cum-terorisme untuk babakan waktu yang panjang. Rentetan aksi fisik dianggap hanya penting untuk tujuan akhir, tetapi akan mandul untuk kepentingan jangka panjang.

Mengapa begitu? Karena tidak ada mekanisme yang bersifat masif, tetapi efektif untuk mengembangkan ideologi jihad-cum-terorisme ke khalayak lebih umum. Sementara itu, aksi fisik, utamanya melalui bom bunuh diri, hanya akan mengurangi daftar anggota jemaah semata.

Karena itu, pelaku gerakan terorisme merasa sangat perlu untuk melakukan pemutaran haluan dari aksi fisik ke penyebaran ideologi jihad-cum-terorisme melalui media publikasi populer. Inilah yang menjadi kesadaran awal bagi muncul dan menguatnya industri publikasi populer yang berorientasi jihad-cum-terorisme dalam babakan waktu yang lalu hingga belakangan ini.

Masa penguatan industri publikasi populer berorientasi jihad- cum-terorisme di atas dimanfaatkan pula oleh pelaku gerakan terorisme untuk sekaligus melakukan konsolidasi gerakan melalui aksi fisik.

Selanjutnya, muncul strategi atau model ketiga, yakni revitalisasi terorisme melalui aksi fisik dalam bentuk bom bunuh diri berskala besar. Terjadinya Bom JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009 adalah buktinya. Artinya, munculnya model gerakan ketiga ini merupakan penguatan kembali atas model gerakan yang pertama.

Munculnya model ketiga sebagai pengulangan atas model pertama di atas tidak saja memanfaatkan buah konsolidasi selama "masa tiarap" dan masifikasi aktivitas industri publikasi jihad-cum-terorisme. Akan tetapi, ia juga harus dibaca sebagai aksi pembalasan terhadap eksekusi mati atas mentor mereka oleh aparat keamanan.

Eksekusi atas trio bom Bali (Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron) menjadi energi tambahan bagi pelaku teror untuk melakukan aksi balasan. Besarnya liputan media atas proses eksekusi serta kedatangan massa umum dalam jumlah sangat besar saat pemakaman trio bom Bali meningkatkan kepercayaan diri pelaku teror. Mereka merasa seakan jadi "pahlawan" bagi sebagian masyarakat lain yang mereka salah pahami sebagai simpatisan diam (silent supporters).

Persempit ruang gerak

Ketatnya pengawasan aparat keamanan dengan melibatkan tim gabungan, mulai Densus 88 hingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), membuat pelaku gerakan terorisme harus memutar haluan. Pengawasan yang ketat itu membuat pergerakan kelompok pelaku teror, mulai jaringan Solo hingga Poso, semakin sempit dan terimpit.

Kondisi itu yang memaksa pelaku gerakan terorisme di daerah lain mengubah taktik, dari serangan fisik berkelompok dan dalam skala besar ke serangan individual. Inilah pola atau model keempat dari pergerakan pelaku terorisme di negeri ini.

Ini pula yang menjelaskan munculnya serangan bom bunuh diri individual dalam kasus yang terjadi di Masjid Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011 dan Mapolresta Solo pada 5 Juli 2016. Meski demikian, serangan secara berkelompok masih juga dilakukan, seperti dalam kasus serangan bom di kawasan MH Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016. 

Melihat pergeseran pola dan atau model gerakan di atas, maka kewaspadaan bersama tidak boleh kendur. Semangat dan aksi terorisme tinggal menunggu kesempatan untuk terlahir kembali. Apalagi, jaringan terorisme memakai sistem sel. Dengan pola kerja semiterputus, sel terorisme itu akan dengan mudah berkembang biak secara liar.

Karena itu, tugas bersama ke depan adalah mempersempit ruang bagi lahirnya kesempatan bagi mewujudnya kembali semangat dan aksi terorisme itu.  

AKH MUZAKKI

DEKAN DAN GURU BESAR FISIP UIN SUNAN AMPEL

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Evolusi Taktik Pelaku Teror".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger