Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 13 Agustus 2016

Paradoks Konsolidasi Demokrasi (WAWAN SOBARI)

Meskipun Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menunjukkan tren peningkatan sejak 2009, sejumlah paradoks justru menegasikan kecenderungan positif tersebut. Alih-alih semakin berkualitas, demokrasi Indonesia justru mulai memperlihatkan indikasi dekonsolidasi.

Tak mudah menjawab perkembangan paradoksal demokrasi itu. Implikasinya, timbul pertanyaan yang ditujukan pada ketepatan pengukuran demokrasi. Maka, penjelasan apa yang bisa menjawab situasi tersebut?

Gejala dekonsolidasi

Menurut Roberto Stefan Foa dan Yascha Mounk (2016), terdapat tiga karakteristik kunci konsolidasi demokrasi. Pertama, lemahnya gerakan anti parpol. Kemudian, adanya dukungan populer terhadap demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Terakhir, tingginya tingkat penerimaan dan ketaatan terhadap hukum.

Sementara situasi faktual saat ini, di satu sisi, demokrasi kita terus mengalami konsolidasi. Riset opini terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) (22-28 Juni 2016) menemukan tingkat penerimaan yang tinggi terhadap demokrasi sebagai sistem pemerintahan (67 persen). Angka tersebut naik 11 persen dari survei Juni 2012. Indikasi ketaatan hukum bisa diketahui daripolling terbaru Center for Strategic and International Studies (CSIS) (17-29 April 2016).

Menurut temuan CSIS, intoleransi terhadap praktik korupsi untuk memperlancar proses di pemerintahan mencapai 70,3 persen. Tingginya sikap anti rasuah itu justru terjadi saat persepsi terhadap peningkatan praktiknya dalam pemerintahan. Mayoritas responden sigi CSIS (66,4 persen) berpandangan tindak korupsi saat ini lebih tinggi ketimbang dua tahun sebelumnya. Data ini menunjukkan kesadaran hukum masyarakat masih tinggi meskipun penyalahgunaan lebih kerap terjadi.

Kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah dan Presiden juga tinggi. Menurut survei SMRC, meskipun mendapat sejumlah catatan, kinerja Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dinilai mampu memajukan penyediaan infrastruktur umum, pelayanan kesehatan, dan keterjangkauan pendidikan. Secara khusus, kepuasan terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden mencapai 67 persen pada Juni 2016. Capaian itu merupakan yang tertinggi dalam lima kali pengukuran sejak Juni 2015.

Selain itu, fakta penguatan demokrasi tampak pula dari keterlibatan kaum muda dalam politik praktis (afiliatif). Terlepas dari kontroversi dan rumor terkait pendanaannya, keberhasilan para anak muda dalam jejaring Teman Ahok  menggalang dukungan pencalonan perseorangan bagi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017 menunjukkan antusiasme berpolitik anak muda.

Bahkan jejaring ini berhasil "memaksa" parpol secara tegas mendukung pencalonan Ahok untuk mencalonkan diri melalui parpol.

Padahal, para kolega anak muda di negara-negara dengan demokrasi mapan di Amerika dan Eropa mengalami situasi sebaliknya. Merujuk the World Values Surveys (1995-2014), warga yang lahir mulai tahun 1980-an memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap lembaga legislatif dan peradilan, rendahnya partisipasi memilih (voter turnouts) dan dukungan terhadap parpol. Gejala ini justru lebih serius di negara-negara kaya dan stabil. Lebih dari itu, para generasi milenium itu justru antusias terhadap sistem pemerintahan dan kepemimpinan bergaya otoriter (Foa dan Mounk, 2016).

Sebaliknya, rendahnya kepercayaan terhadap parpol dan DPR merupakan simtom dekonsolidasi paling menonjol saat ini. Beberapa riset opini nasional menunjukkan kecenderungan negatif tersebut. Salah satunya jajak pendapat Poltracking Indonesia (PI) (23-31 Maret 2015).

Menurut temuan PI, hingga 17 tahun reformasi, lembaga perwakilan (DPR dan DPD) dan agregator kepentingan rakyat (parpol) merupakan tiga institusi demokrasi dengan kepuasan kinerja terendah dari 11 lembaga. Publik mempersepsikan kepuasan kinerja terhadap tiap lembaga sebesar 23,8 persen (DPR), 24 persen (parpol), dan 27,1 persen (DPD).

Akibat akuntabilitas personal

Mendeteksi penyebab situasi kontradiktif perkembangan demokrasi itu tentu tak mudah. Kausa utama paradoks konsolidasi tak cukup diketahui melalui pengukuran aspek-aspek formal dan prosedural demokrasi sebagaimana diterjemahkan dalam IDI. Alasannya, salah satu kelemahan menonjol dari IDI, yakni kurang mendalam saat mengukur kualitas empirik demokrasi (indeks politik informalitas).

Ketidaksempurnaan pengukuran itu berawal dari tidak berhasilnya IDI menangkap faktor-faktor yang mendorong demokrasi bekerja di aras daerah dan nasional. Hasil studi penulis terhadap pelaksanaan pilkada 2010 di dua kabupaten di Jawa Timur menemukan fakta bahwa demokrasi bekerja karena kuatnya dorongan praktik patronase (politik imbal balik). Sementara studi Edward Aspinall (2014) terhadap pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 menjumpai praktik patronase terang-terangan di sejumlah provinsi.

Selain itu, Burhanuddin Muhtadi (2013) menemukan korelasi antara lemahnya identifikasi partai (party ID) dan toleransi terhadap praktik politik uang. Data longitudinal (2003-2013) terkait penurunan tingkat loyalitas terhadap parpol berkontribusi atas kerentanan pemilih terhadap politik uang. Dengan kata lain, politik imbal balik merupakan salah satu faktor penting bekerjanya demokrasi, khususnya pemilu.

Situasi dan praktik politik elektoral tersebut telah mendorong kondisi paradoksal konsolidasi demokrasi. Praktik-praktik patronase menyebabkan rendahnya kinerja lembaga legislatif dan partai politik di mata publik. Pasalnya, kedua institusi demokrasi tersebut lebih mengedepankan akuntabilitas personal terhadap pemilih yang mereka "beli" saat pemilu, bukan akuntabilitas publik atas kinerja legislasi, kontrol, penganggaran, dan agregasi kepentingan dan agenda kebijakan.

Lebih jelasnya, politik imbal balik telah memutus hubungan akuntabilitas kedua institusi demokrasi kepada publik. Dengan kata lain, pertanggungjawaban kolektif DPR seolah terputus karena para legislator lebih fokus "melayani" konstituen secara personal, padahal kinerja institusi legislatif dinilai publik secara kelembagaan. Setali tiga uang, parpol yang dituntut akuntabel sebagai agregator kepentingan dan pengusung konsisten agenda kebijakan, justru lebih sibuk memobilisasi suara, perekrutan politik, dan meraih jabatan publik.

 WAWAN SOBARI

Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Paradoks Konsolidasi Demokrasi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger