Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 13 Agustus 2016

Kompolnas dan Kapolri (ADRIANUS MELIALA)

Topik yang relatif kurang dibicarakan di seputar pelantikan Kapolri baru beberapa waktu lalu menyangkut Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Berbeda sekali situasinya dengan saat pergantian Kapolri Timur Pradopo ataupun Kapolri Sutarman. Ketika itu Kompolnas pusat perhatian sebelum presiden mengusulkan nama.

Ada tiga hal penjelas mengapa peran itu menurun. Pertama, Komisioner 2016-2020 baru terpilih beberapa saat menjelang pengusulan nama Kapolri oleh presiden kepada DPR. Rupanya mereka belum memegang masalah dengan kedalaman cukup. Kedua, kebijakan bicara satu pintu yang dilontarkan ketua Kompolnas membuat kantor Kompolnas sepi dari wartawan.

Ketiga, Polri cenderung jalan sendiri terkait pengusulan kapol- ri baru tanpa memedulikan Kom- polnas. Ketika Kompolnas periode lalu ngototmengatakan pihaknyalah, sesuai dengan UU No 2/2002 tentang Polri, berwewenang mengusulkan nama calon Kapolri kepada presiden, barulah Polri mendengar Kompolnas.

Sulit dijalankan

Jika peran yang menurun itu menjadi indikasi kinerja Kompolnas, ini patut disayangkan sebab belum ada yang berbeda antara Kompolnas 2012-2016 dan periode sekarang. Perpres No 17 Tahun 2011 tentang Kompolnas tak cukup membuat Kompolnas kuat memberi dampak positif kepada kepolisian.

Pada Pasal 3 Perpres itu disebutkan, Kompolnas melaksanakan fungsi pengawasan fungsional melalui pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri. Nyatanya hasil pemantauan dan penilaian Kompolnas tak masuk dalam manajemen SDM Polri sehingga Kompolnas lebih mirip orang berteriak di padang pasir saat bertemu anggota yang "kotor" tetapi terus memperoleh penempatan yang bagus.

Pada Pasal 4-6 disebutkan, tugas Kompolnas membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri serta memberi pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Ternyata Arah Bijak buatan Kompolnas tak pernah diturunkan presiden untuk dilaksanakan Polri. Arah Bijak Kompolnas juga tak masuk dalam tata urut peraturan Polri. Mengenai pemberhentian/pengangkatan Kapolri, Polri tak pernah menerima secara resmi bahwa Kompolnas yang mempersiapkan sekaligus memberi pertimbangan terkait hal itu kepada presiden.

Pada Pasal 7-11 disebutkan, Kompolnas bertugas mengumpulkan dan menganalisis data terkait anggaran, SDM, dan sarana-prasarana. Kompolnas juga berwenang memberi saran dan pertimbangan lain kepada presiden serta menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian.

Perihal wewenang itu, Kompolnas 2012-2016 sulit sekali memperoleh data, khususnya data SDM. Polri memang tak memiliki pangkalan data yang komprehensif dan teremajakan perihal aset mereka sendiri. Perihal anggaran, amat sulit meminta Polri mengubah kebiasaan merencanakan, menyerap, dan mengevaluasi penggunaan anggaran. Dalam hal pengelolaan saran dan keluhan masyarakat, selama ini hanya 30 persen. Ketika Kompolnas ingin masuk lebih jauh mengenai kasus justru dituduh ingin berhadap-hadapan dengan penyidik.

Bila Kompolnas tak berusaha keras melaksanakan wewenangnya dengan banyak bersuara melalui media, banyak menggandeng kampus dan LSM, serta banyak melakukan telaah kritis atas kebijakan yang ada, bisa dibayangkan bahwa dampak Kompolnas akan amat terbatas, malah tak ada. Hendaknya Kompolnas jangan menghabiskan waktu dengan menjaga harmoni dengan Polri. Menjadi pengawas perlu galak. Bukan sebaliknya.

Kepemimpinan Tito

Pada Kapolri-Kapolri yang lalu selalu ada yang bisa dipertanyakan: entah kemampuannya entah integritasnya. Tak demikian dengan Kapolri Tito. Publik cenderung mempersepsi Tito sebagai sempurna. Namun, justru di situ soalnya. Kapolri akan kekurangan mitra tanding, yakni mereka yang, berkat posisi dan wewenangnya, akan cukup "pede" konsisten memelototi kebijakan Kapolri. Tanpa mitra tanding, seorang pemimpin puncak akan merasa jago sendiri. Ujung- ujungnya, Polri sendiri rugi.

Mitra tanding untuk Tito tentu tak bisa kita harap dari anggota Polri yang notabene bawahannya. Pandangan DPR menyangkut kinerja Polri juga kerap tidak obyektif karena tergantung ada atau tidaknya kepentingan. Di pihak lain, saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Tito tak sekali pun menyebut Kompolnas.

Kompolnas bisa dan harus menjalankan peran tersebut. Melalui tugas mengusulkan pengangkatan/pemberhentian Kapolri kepada presiden, Kompolnas sebagai pembantu presiden dapat menjalankan peran pengawasan terkait kinerja Kapolri Tito tanpa perlu terbebani tiga hal. Pertama, dianggap mengada-ada. Kedua, merasa rikuh. Ketiga, membuat telaah kritis berbasis data yang kurang atau salah (Polri wajib membuka datanya kepada Kompolnas).

Meski tak perlu terbebani macam-macam hal, Kompolnas harus siap dengan implikasi menjadi watchdog. Selalu mungkin Kompolnas tak bisa menerima pandangan dan kebijakan Kapolri Tito entah karena satu dan lain hal. Begitu pula sebaliknya.

Situasi benturan atau berhadap-hadapan sebenarnya bisa dihindarkan apabila sudah sejak awal Kompolnas dan Polri tidak berjauhan. Kompolnas mengetahui persis mengapa suatu kebijakan diambil atau tidak diambil. Pada masa-masa lalu, situasi itu diatasi dengan kesepakatan membuat rapat rutin. Namun, Polri sendiri kemudian tidak menaatinya.

Terobosan

Ada dua pilihan terobosan.

Pertama, Polri selalu bahkan wajib mengundang komisioner Kompolnas dalam setiap rapat strategis Polri, termasuk dalam rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Dalam rangka mengintegrasikan Kompolnas ke dalam sistem kepolisian, bahkan pernah ada gagasan agar sebelum Kapolri membuat kebijakan strategis, Kompolnas harus memberi disposisi terlebih dahulu perihal persetujuannya.

Kedua, memperkuat Kompolnas dengan cara "memindahkan" isi perut Polri (khususnya menyangkut anggaran, SDM, dan sarana-prasarana) kepada Kompolnas. Dengan data yang mutakhir itu, Kompolnas bisa membuat telaah strategis perihal capaian-capaian Polri.

Kekayaan data pula yang bisa membuat Kompolnas mengevaluasi sejauh mana pemenuhan Kapolri Tito terkait janji-janji yang diucapkannya di DPR. Sesungguhnya secara modalitas Perpres No 17/2011, pilihan terobosan kedua inilah yang diharapkan terjadi.

ADRIANUS MELIALA

Kriminolog UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Kompolnas dan Kapolri".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger