Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 13 Agustus 2016

TAJUK RENCANA: Libya dan Negara Gagal (Kompas)

Nasib Libya berbeda dengan negara-negara Arab lainnya yang lima tahun silam disapu Revolusi Musim Semi. Libya hampir mirip dengan Suriah.

Kedua negara tersebut—Libya dan Suriah—hingga kini masih terus terjerat dalam krisis politik, keamanan, ekonomi, dan sosial, serta krisis kemanusiaan. Suriah, mungkin, meskipun dari ke hari semakin hancur, masih memiliki pemerintahan yang bisa "berdiri tegak". Tidak demikian halnya dengan Libya, pemerintah Persatuan Nasional Libya, yang keberadaannya mendapat dukungan PBB, tidak bisa sepenuhnya menjalankan pemerintahannya.

Baik Suriah maupun Libya seperti tak berdaya bila tanpa campur tangan kekuatan asing. Begitu banyak kekuatan asing memiliki kepentingan di Suriah sehingga rezim Bashar al-Assad seperti "sosok tanpa roh" yang ditarik ke kiri dan ke kanan.

Libya pun tidak jauh berbeda. Tangan dan kekuatan asing sudah mulai mencampuri urusan negeri itu bahkan sejak lima tahun silam ketika revolusi untuk menggulingkan Moammar Khadafy bermulai. Sekarang pun demikian. Pemerintah Persatuan Nasional Libya nyaris tak berdaya tanpa bantuan kekuatan luar dalam menghadapi begitu banyak persoalan di dalam negeri, antara lain, menghadapi kelompok bersenjata termasuk NIIS.

Kondisi Libya bisa dikatakan jauh berbeda dengan kondisi, misalnya, Mesir dan Tunisia. Kedua negara tersebut dapat dikatakan sudah bisa keluar dari krisis meski belum sepenuhnya. Kompromi politik antara kekuatan status quo dan kekuatan perubahan memberikan sinar pengharapan bagi kebangkitan Tunisia. Kekalahan berdarah kelompok pro Morsi, menjadi akhir krisis di Mesir, yang menegaskan kembalinya "kekuatan lama".

Libya tetap terpecah antara kekuatan yang berpusat di Tobruk—Libya bagian timur—di bawah pimpinan komandan tertinggi angkatan bersenjata Jenderal Khalifa Haftar dan kekuatan di bawah Libya Dawn—koalisi yang didominasi kelompok Islamis—yang membentuk pemerintah tandingan yang dikenal dengan nama Kongres Nasional Umum (GNC) di Tripoli.

Akibatnya, tidak ada jaminan keamanan di negeri itu—apalagi masih ditambah sepak terjang kelompok garis keras bersenjata dan NIIS—hasil dari tambang minyak pun dibagi dua, dan yang lebih parah lagi aliran senjata masuk bebas ke negeri itu. Tak satu pun kelompok mampu menguasai seluruh wilayah Libya yang diwarnai oleh pertarungan bersenjata di antara milisi. Setiap milisi memiliki kekuatan politik pendukung.

Uraian ringkas ini cukup memberikan gambaran jelas akan kondisi Libya yang terjerumus ke negara gagal.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Libya dan Negara Gagal".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger