Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 September 2016

Banyak Berbicara (LIMAS SUTANTO)

Di bawah judul utama "Perilaku Korupsi Tak Berubah", harian Kompas edisi 18 September 2016 menyampaikan informasi penting, Irman Gusman, Ketua DPD yang tersangkut kasus korupsi lewat operasi tangkap tangan oleh KPK.

"Selama ini, Irman dikenal sebagai sosok anti korupsi yang tegas mengkritik koruptor. Ia juga gigih menyuarakan penguatan kelembagaan KPK di tengah wacana revisi UU KPK dan konflik KPK vs Polri. Irman bahkan pernah mengusulkan agar hukuman terhadap koruptor diperberat, jika perlu dihukum mati. Dalam berkali-kali kesempatan, Irman sering menyatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditoleransi karena membuat hancur peradaban".

Makna bacaan itu boleh dipertegas dengan menggarisbawahi pengertian bahwa perilaku anti korupsi yang ditampilkan sang tokoh sebatas "berbicara anti korupsi". Bisa dibilang, kutipan di atas menggambarkan betapa sang tokoh "banyak berbicara anti korupsi". Namun, penangkapan dan penetapan sebagai tersangka korupsi oleh KPK mengurai makna penting bahwa ternyata perilaku anti korupsi tidak boleh hanya diartikan sebagai "banyak berbicara anti korupsi".

Di tengah keadaan kehidupan yang banyak disebut sebagai era informasi ini, tindakan berbicara sungguh ternobatkan sebagai kegiatan atau perilaku yang penting. Di era kini, panggung-panggung untuk berbicara setiap detik digelar; dan dari tempat itu, manusia yang disebut sebagai "tokoh" atau "hampir tokoh" meneguhkan perkesanan dalam jiwa anggota-anggota masyarakat bahwa dirinya adalah benar-benar tokoh. Karena di Indonesia ihwal pemberantasan korupsi sedang menjadi isu publik yang besar dan penting, banyak orang menggarisbawahi citra diri mereka sebagai tokoh anti korupsi, hanya melalui berbicara di atas panggung yang tercipta di depan kamera dan alat perekam suara para pewarta.

Pribadi yang konfliktual

Pada konteks zaman, informasi dapat diperkirakan bahwa masih banyak orang lain yang juga terus berwicara menentang rasuah, tetapi sesungguhnya anti korupsinya hanya sebatas dalam bicara. Era informasi memberi kesempatan dan peluang bagi manusia untuk menghalau perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan, dengan cara banyak berbicara. Oleh Shapiro (dalam Cabaniss, DL dkk, 2013), cara menghalau afek tak menyenangkan yang seperti itu disebut "gaya defensif yang bersifat obsesif".

Agaknya, yang banyak terjadi dalam jiwa orang Indonesia adalah banjir keinginan melakukan korupsi yang sekaligus diiringi kecamuk perasaan tak mengenakkan, berupa rasa bersalah, afek dosa, bahkan perasaan terkutuk. Lantas, jiwa secara nirsadar menghalau berbagai perasaan yang menyakitkan itu dengan mengoperasikan defensi yang bersifat obsesif, yang di permukaan tampak sebagai perilaku atau aktivitas banyak berbicara anti korupsi.

Pada titik ini dapat dikatakan, gejala "banyak berwicara menentang korupsi" bisa jadi tanda seseorang dilanda rasa bersalah, berdosa, atau terkutuk, sehubungan dengan jiwanya yang terbanjiri kedambaan meraup uang melalui korupsi. Orang itu tak serta-merta menjadi pelaku korupsi, terutama jika dia tak meneruskan perilaku banyak berbicara, lalu justru mau memberikan kesempatan kepada berbagai perasaan tak mengenakkan itu untuk membimbing dirinya berbuat benar. Dalam keadaan ini, rasa bersalah, berdosa, dan terkutuk dapat bekerja mencegah atau mengurungkan tindakan koruptif.

Di hadapan fakta korupsi yang ingar-bingar, posisi psikodinamik orang Indonesia lebih mungkin digambarkan sebagai "manusia yang berhasrat besar mendapatkan uang banyak melalui korupsi, yang pada saat yang sama dilanda rasa bersalah, berdosa, dan terkutuk". Posisi itu memerikan orang Indonesia sebagai "pribadi konfliktual terkait korupsi".

Sejarah panjang penjajahan oleh bangsa asing yang selalu memiskinkan dan memecah belah orang-orang Indonesia tak bisa tak mewariskan kecenderungan mencari selamat sendiri-sendiri. Ia lalu mendapatkan pengejawantahannya yang penuh, justru dalam upaya mengusir kemiskinan dengan meraup uang sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri. Pada titik inilah mental korupsi terkukuhkan. Lewat proses pewarisan proses mental, yang berdasarkan inspirasi dari para psikoanalis Kleinian, terutama Wilfred Bion (1962), fenomena itu dapat disebut "pewarisan prakonsepsi secara filogenetik", setelan mental korupsi menjadi dimiliki oleh orang-orang dalam generasi-generasi baru bangsa Indonesia.

Gerakan sosial-politis

Posisi psikodinamik orang Indonesia yang adalah pribadi konfliktual di hadapan korupsi sungguh menandai betapa sulit berhasilnya pemberantasan korupsi jika dilakukan hanya dengan upaya menghukum untuk menjerakan individu-individu. Setiap tindakan memberantas korupsi yang hanya dikenakan pada sasaran individual bakal membentur tembok keras warisan filogenetik setelan mental korupsi.

Kenyataan bahwa proses pewarisan filogenetik itu sebenarnya telah berlangsung secara sosial politis dalam cakupan kurun waktu yang sangat panjang, tentu dapat menggugah pengertian bahwa pemberantasan korupsi akan lebih berhasil apabila dilakukan sebagai gerakan berdimensi sosial politis pula.

Konkretnya, gerakan dimaksud bukan sekadar berupa wicara-wicara anti korupsi di hadapan publik, melainkan berupa penciptaan dan pengoperasian secara sungguh-sungguh sistem administrasi pemerintahan dan keuangan negara, termasuk di dalamnya penggunaan dana publik, yang sepenuhnya berbasis elektronik, dipublikasikan secara terbuka untuk seluruh rakyat. Dengan begitu, sistem administrasi pemerintahan dan keuangan negara menjadi dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel) dan dapat diperiksa (transparan) pada setiap titik prosesnya.

LIMAS SUTANTO, PSIKIATER KONSULTAN PSIKOTERAPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Banyak Berbicara".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

2 komentar:

Powered By Blogger