Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 September 2016

Peneguhan Kewarganegaraan (LAMBANG TRIJONO)

Peneguhan kewarganegaraan Arcandra Tahar memberikan sinyal positif bagi perbaikan kebijakan kewarganegaraan di republik ini. Dari peneguhan itu, dimungkinkan pula dilakukan peneguhan terhadap penduduk yang kini masih goyah kedudukannya sebagai warga negara yang aktif.

Teguh, menurut Kamus Jawa, berarti kukuh sentosa, atau konsisten, berpendirian kuat terhadap dan dalam menjalankan sesuatu hal. Sesuai maknanya, di balik peneguhan itu terdapat semangat untuk memperkuat kedudukan warga sehingga bisa berperan aktif dalam pembangunan.

Kontroversi seputar peneguhan itu tidak terelakkan. Kebijakan itu merupakan hal baru dan kurang dikenal dalam politik kewarganegaraan. Selama ini kita mengenal dua sistem kewarganegaraan; berdasarkan hubungan darah (sanguine) dan tempat lahir, di mana seseorang dibesarkan jadi manusia dewasa yang baik, cakap, peduli terhadap bangsa dan negara (solicitude).

Dalam klasifikasi ini, kontroversi peneguhan itu bisa mudah ditepis karena Arcandra telah memenuhi kriteria itu dan bahkan mungkin keduanya secarasanguine ataupun solicitude. Meski, dalam hal terakhir publik masih perlu diyakinkan terkait peristiwa di belakangnya, yang tidak hanya menimbulkan konotasi negatif pada dirinya, tetapi juga dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu butuh klarifikasi tersendiri yang tidak ringan dari berbagai sisi kehidupan bernegara.

Etika republik

Warga negara pada dasarnya merupakan subyek politik. Secara kategorikal, subyek warga negara dibedakan dari subyek umum lain, seperti manusia (human), pribadi (person), orang (human being), penduduk (populus), dan bahkan warga (citizen) yang dalam perkembangannya perlu dibedakan dengan warga negara (state citizenship).

Warga dan warga negara untuk sementara ini kita masukkan dalam satu kategori karena keduanya kurang lebih sama sebagai subyek politik. Sementara itu, pandangan a- dan anti- politik yang menyamakannya secara sembarang dengan subyek lain —seperti dalam diskursus pembangunan konservatif dengan penduduk, dan diskursus politik konvensional dengan subyek lain—kita kesampingkan di sini dalam pembicaraan tentang politik kewarganegaraan.

Sebagai subyek politik, kedudukan warga atau warga negara ditentukan keanggotaannya dalam suatu komunitas politik, atau suatu negara, atau dalam republik. Keaktifan warga atau warga negara sangat menentukan kualitasnya dan juga kualitas negara atau komunitas republik. Perbedaan warga dengan warga negara hanya pada semangat apakah masih mengikuti semangat republik kuno atau republik baru yang lebih modern.

Cara pandang ini sangat membantu dalam membaca peneguhan itu. Dari sisi etika republik, kita mendapati peneguhan kewarganegaraan itu bisa dibaca sebagai bagian dari politik kewarganegaraan yang memiliki dimensi kebaikan yang aktif.

Sebagian warga mungkin kurang setuju dengan pendapat ini. Namun, sebagai warga republik yang demokratis kita bisa berdebat soal itu. Kita bertanya kepada publik; kalau pemerintah, atau komunitas politik negeri, atau republik ini, dalam perkembangannya mendapati Arcandra ingin menjadi warga negara Indonesia dan berkomitmen mendarmabaktikan kepada republik, apakah hal tersebut harus ditolak? Bukankah sebaiknya justru diteguhkan?

Sebagian warga yang lain mungkin masih kurang sependapat. Konteks melatarbelakangi membuat mereka berpendapat terlalu sederhana untuk diabaikan. Seperti kita tahu, sebelum itu terjadi sebuah drama politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kekeliruan mengangkat seseorang menjadi menteri, membuat status kewarganegaraannya jadi tak jelas, sehingga membuat pemerintah harus mengambil suatu keputusan.

Dalam hal ini, kita patut bertanya, apakah dengan itu lalu mengabaikan seseorang terkatung-katung di luar negara, atau terlepas dari ikatan sebuah komunitas politik, atau terlempar dalam dunia yang masih diliputi suasana anarkis, bisa dibenarkan dalam bernegara berdasarkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab?

Politik konstitusi

Kita memahami keberatan sebagian warga. Politik kenegaraan bukan perkara biasa. Namun, juga perlu diingat kualitas negara sangat ditentukan kualitas dan keaktifan warganya. Sebagai warga republik yang demokratis, kita pun juga memiliki kepedulian terhadap perlunya penyelenggaraan negara berlandaskan konstitusi.

Namun, politik konstitusi juga butuh kualitas pemikiran dan keaktifan politik tersendiri. Sejauh ini, seperti kita tahu, publik masih berdebat bagaimana sebaiknya penyelenggaraan negara dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi dan politik konstitusi.

Mereka menganut pandangan hukum positif mengatakan, setiap kebijakan harus didasarkan pada norma hukum di mana kebenaran dan kebaikan berada. Pandangan ini mungkin terlalu abstrak. Mereka menganut politik kebijakan, atau hukum konstitutif, selalu bertanya bukankah keputusan hukum juga merupakan kebijakan untuk menciptakan suatu tatanan yang nyata?

Perdebatan itu kalau kita teruskan akan sampai pada soal kuasa: ada pada siapa kuasa menentukan kebijakan untuk mencapai kebaikan publik. Apakah ada pada kehendak (will), pada ketentuan (rule), ataukah pada kedaulatan (sovereign). Persoalan ini, pada akhirnya, berujung pada perlunya kekuasaan dibagi, seperti dalam demokrasi, dan sesuai ketentuan, seperti dalam politik konstitusi.

Sembari berjuang mewujudkan hal itu, sebagai warga republik demokratis, kita tentu perlu terus aktif mengisi publik dengan tetap selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang tidak kita kehendaki.

LAMBANG TRIJONO, DOSEN FISIPOL, UNIVERSITAS GADJAH MADA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Peneguhan Kewarganegaraan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger