Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 17 September 2016

Efektivitas Kredit Usaha Rakyat (TULUS TH TAMBUNAN)

Banyak negara di dunia yang punya skim kredit bergaransi sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah mendukung  usaha mikro, kecil, dan menengah.

Di ASEAN, negara-negara anggota yang SKB-nya cukup maju selain Indonesia adalah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Di Indonesia, SKB yang populer hingga saat ini adalah kredit usaha rakyat (KUR), yang diluncurkan pada 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. KUR disalurkan bank-bank milik pemerintah pusat ataupun daerah disebut bank pelaksana.

KUR merupakan kredit modal kerja dan/atau kredit investasi yang dibiayai sepenuhnya dari dana perbankan, diberikan kepada UMKM dan koperasi yang produktif, serta secara bisnis layak tetapi dari sudut pandang perbankan belum layak atau belum bankable. KUR terdiri dari KUR mikro maksimum Rp 25 juta dan KUR ritel maksimum Rp 500 juta. Tujuan pemerintah membuat skim KUR adalah memperbesar akses UMKM ke modal perbankan. KUR ini dibuat karena selama ini mayoritas UMKM, terutama usaha mikro dan kecil, sulit mendapatkan pinjaman komersial dari bank karena mereka tidak memiliki aset berharga yang bisa dijadikan agunan atau kolateral.

Selama ini sebenarnya pemerintah sadar bahwa banyak kendala yang dihadapi UMKM, bukan saja keterbatasan modal. Hasil survei usaha mikro dan kecil 2013 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) membuktikan bahwa permasalahan utama dari mayoritas usaha mikro dan kecil yang disurvei adalah kesulitan pemasaran; disusul kemudian kesulitan pengadaan bahan baku dan keterbatasan modal. Namun, rasanya sejak awal Orde Baru, yang waktu itu ada dua skim kredit untuk UMKM, yakni kredit investasi kecil (KIK) dan kredit modal kerja permanen (KMKP), hingga sekarang ini skim kredit masih menjadi andalan pemerintah untuk membantu UMKM, khususnya mikro dan kecil.

Bahkan, di Paket 3 Kebijakan Ekonomi yang tujuan utamanya meningkatkan daya saing, produksi, dan jumlah wirausaha, yang diluncurkan beberapa bulan lalu, salah satu solusinya adalah menurunkan suku bunga KUR dari kini 9 persen ke 7 persen.

Sampai sekarang tidak ada kebijakan pengembangan UMKM yang fokus pada, misalnya, pengembangan teknologi di UMKM, dengan salah satu solusinya, misalnya penerapan sistem voucer seperti yang sudah lama diterapkan di negara-negara industri maju, dan bahkan di banyak negara sedang berkembang, seperti India. Padahal, kita semua sadar bahwa uang itu ada di mana-mana, banyak calon investor, banyak perusahaan yang secara potensial mau menjadi sumber modal ventura. Sekarang bergantung pada UMKM itu sendiri. Jika UMKM bisa meyakinkan pemilik modal bahwa produk yang mereka ciptakan unik, atau berdaya saing tinggi, atau memiliki prospek pasar yang baik, pasti uang itu akan datang.

Sekarang pertanyaannya: apakah KUR terbukti efektif bagi perkembangan UMKM di Tanah Air? Untuk menjawab ini, tentu kita harus sepaham dulu dengan pengertian "efektif". Dari sejumlah pernyataan dan laporan resmi pemerintah selama ini, kelihatannya penilaian terhadap keberhasilan dari sebuah skim kredit adalah apabila tiga hal berikut ini tercapai sesuai target: (i) jumlah kredit yang disalurkan meningkat terus atau mencapai target; (ii) jumlah penerima kredit mencapai target; dan (iii) tidak ada kredit macet (NPL nol).

Ini tentu cara penilaian keliru. Sebuah skim kredit berhasil apabila kondisi si penerima menjadi lebih baik. Jadi, KUR dapat dianggap berhasil apabila UMKM penerima menjadi lebih baik. Misalnya, sebelum dapat KUR, seorang perajin mebel hanya mampu membuat 20 kursi sangat sederhana setiap minggu dan menjualnya di depan bengkel kecilnya karena keterbatasan dana. Setelah meminjam KUR, ia bukan saja mampu menambah jumlah produksinya, tetapi juga sudah bisa membuat berbagai macam kursi dengan kualitas jauh lebih baik, dan sudah punya toko sendiri untuk menjualnya. Dalam kata lain, efektivitas KUR harus dilihat dari sisi kualitas, bukan kuantitas.

Belum berhasil

Berdasarkan data Bank Indonesia, sejak diluncurkan pada 2007, jumlah KUR yang disalurkan meningkat setiap tahun, dan hingga awal Juni 2016, secara kumulatif, total realisasi KUR mencapai Rp 247.743 triliun. Jumlah nasabah KUR secara kumulatif meningkat dari hanya 3.623 unit pada 2007 menjadi 16.115.658 unit awal Juni 2016. Berdasarkan data BPS, pada 2013 jumlah UMKM 57.895.721 unit, dengan mayoritas 57,189,393 unit dari kategori usaha mikro, yang menjadi sasaran utama skim KUR. Berarti hanya sekitar 27,8 persen dari jumlah UMKM, atau hanya sekitar 28,2 persen dari jumlah usaha mikro, yang pernah dapat KUR. 

Kalau dilihat dari aspek kuantitasnya, dengan masih sangat sedikitnya jumlah UMKM, terutama usaha mikro, yang pernah dapat KUR, maka belum bisa disimpulkan bahwa skim KUR selama ini berhasil walaupun jumlah KUR yang disalurkan bertambah setiap tahun, dan NPL- nya relatif rendah antara 3 persen dan 4 persen; masih lebih rendah dari tingkat maksimum 5 persen yang ditetapkan BI.

Ditambah lagi, masih terjadi kepincangan besar dalam distribusi KUR, baik menurut wilayah maupun sektor. Sebagian besar KUR yang telah disalurkan terdapat di Jawa dan Bali (sekitar 51 persen pada 2014), dan sebagian besar di sektor perdagangan (56,8 persen pada 2014).

Namun, apabila aspek kualitasnya sebagai tolak ukur dalam menilai keberhasilan skim KUR, hanya sekitar 16 juta unit yang telah dapat KUR sebenarnya tidak harus berarti bahwa skim KUR gagal total, selama paling tidak kondisi atau kinerja dari sebagian besar dari jumlah nasabah tersebut sekarang ini jauh lebih baik dibandingkan sebelum menerima KUR.

Sayangnya, BRI dan bank- bank penyalur lainnya (Mandiri, BNI 46, Bank Pembangunan Daerah), dan juga Kementerian Koperasi dan UKM hingga saat ini belum pernah mengevaluasi kondisi/kinerja dari UMKM yang (pernah) dapat KUR. Sangat mungkin sekali pemerintah mengeluarkan paket ketiga kebijakan ekonomi dengan salah satu solusinya menurunkan suku bunga KUR tanpa ada bukti sejauh mana keberhasilan KUR selama ini dilihat dari aspek kualitasnya. Apa lagi banyak studi yang menunjukkan bahwa pengusaha UMKM tidak pernah mengeluh soal tingginya suku bunga pinjaman; mereka lebih mempersoalkan aksesnya.

Jadi, sebaiknya mulai sekarang setiap bank penyalur mengevaluasi secara periodik mengenai kinerja atau perkembangan terkini dari nasabahnya yang menerima KUR. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahan sebelumnya dengan skim KIK dan skim KMKP pada era Orde Baru. Mungkin banyak UMKM yang mendapatkan KUR bisa tetap menjalankan usahanya, tetapi belum ada bukti bahwa mereka saat ini lebih baik daripada sebelumnya. Kalau hanya bisa bertahan hidup, tetapi usahanya tidak berkembang, berarti yang telah terjadi adalah pemborosan dana perbankan, sementara UMKM Indonesia jalan di tempat.

TULUS TH TAMBUNANPUSAT STUDI INDUSTRI, UKM, DAN PERSAINGAN USAHA USAKTI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Efektivitas Kredit Usaha Rakyat".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger