Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 September 2016

Penurunan Suku Bunga Bank (ANWAR NASUTION)

Dapat dipahami kerisauan pemerintah akan tingginya tingkat suku bunga bank di Indonesia yang dewasa ini tertinggi di ASEAN. Walaupun tingkat suku bunga di sejumlah negara maju sudah mendekati nol persen atau negatif, tingkat suku bunga SUN, SBI, dan bank di Indonesia terus-menerus tinggi, mendekati riba atau pelepas uang, sekitar 10 persen.

Tingkat suku bunga yang tinggi tersebut mengganggu daya saing dunia usaha untuk bersaing di pasar regional dan internasional, apalagi memasuki komunitas ekonomi ASEAN yang tidak akan lama lagi akan dimulai. Bunga yang tinggi tersebut terutama mengusik orang miskin dan pengusaha kecil dan menengah. Suku bunga yang tinggi sekaligus memberatkan beban pengeluaran negara untuk melunasi Surat Utang Negara (SUN). Pada tahun 1998- 1999, pemerintah mengeluarkan SUN untuk menambah modal bank nasional yang telah bangkrut dilanda krisis ekonomi pada masa itu dan membersihkan bukunya dari kredit bermasalah.

Setelah reformasi 1998, negara-negara kreditor asing membubarkan konsorsiumnya (Inter-Governmental Group on Indonesia/IGGI) dan tak lagi memberikan pinjaman dan bantuan lunak dengan jangka waktu pelunasan panjang seperti pada masa Orde Baru. Selama 32 tahun usianya, Orde Baru membelanjai seluruh defisit APBN dengan pinjaman lunak dari konsorsium donor Barat (IGGI).

Menutup defisit APBN dengan SUN

Sejak 1989, setiap tahun, pemerintah terpaksa menjual SUN berbunga pasar yang mahal, dengan jangka waktu menengah, di pasar uang dalam negeri dan luar negeri untuk menutup APBN. Bunga surat utang luar negeri menjadi semakin meningkat berkenaan dengan berakhirnya kebijakan pemompaan likuiditas (quantitative easing) Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) yang menaikkan tingkat suku bunga internasional. SUN dalam negeri dinyatakan dalam rupiah dan untuk melunasinya kembali pemerintah perlu memupuk surplus anggaran.

Di lain pihak, untuk bisa melunasi utang luar negeri, selain memiliki surplus anggaran pemerintah juga perlu memupuk cadangan luar negeri karena kreditor luar negeri hanya mau menerima pembayaran utang dalam bentuk mata uang asing, terutama dollar AS. Pada gilirannya, cadangan luar negeri dipupuk dengan meningkatkan ekspor, meminjam, menjual aset negara kepada pemodal asing, dan mengundang pemasukan modal jangka panjang.

Untuk meningkatkan penerimaan negara, pemerintah perlu memperbaiki administrasi perpajakan yang sangat parah keadaannya pada saat ini. Buruknya administrasi pajak itu menyebabkan rendahnya rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang masih sekitar 13 persen walaupun sudah 70 tahun Indonesia merdeka. Negara-negara lain yang sepantar pembangunannya dengan Indonesia sudah bisa mengumpulkan penerimaan pajak sekitar 25 persen dari PDB-nya. Jumlah WNI yang punya nomor pokok wajib pajak (NPWP) hanya sekitar 18 juta atau sekitar 8 persen dari jumlah penduduk. Jumlah pembayar pajak lebih rendah lagi karena banyak pemilik NPWP adalah anggota ABRI dan PNS berpendapatan rendah sehingga tidak kena pajak. Perbaikan administrasi pajak itu merupakan bagian dari perbaikan sistem hukum UU dan aturan perpajakan yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

Direktorat Jenderal Pajak belum mampu memanfaatkan informasi penggelap pajak yang disediakan oleh konsultan AT Kearney dan McKinsey ataupun Panama Papers (Dokumen Panama). Itu saja tidak bisa, apalagi memaksa otoritas di Hongkong, Singapura, Swiss, dan negara-negara surga pajak (tax havens) lainnya untuk membuka informasi penggelapan pajak seperti yang dilakukan oleh AS, Jerman, Perancis, dan Italia kepada Swiss untuk mengendurkan UU kerahasiaan banknya. Di negara-negara lain, politisi yang disebut namanya dalam Panama Papers mundur dengan sukarela. Sementara di Indonesia, para pejabat negara yang namanya disebut dalam daftar justru diampuni oleh Ditjen Pajak.

Di tengah penerimaan pajak yang rendah, pemerintahan Joko Widodo menawarkan amnesti kepada penggelap pajak. Padahal, Nawacitanya mengumbar berbagai program sosial sangat mahal. Negara adidaya, seperti AS dan Eropa Barat, pun mengalami kesulitan anggaran untuk membiayai program sosial yang sangat mahal.

Sementara itu, belum ada upaya pemerintah membangun kembali Bank Tabungan Pos (BTP) guna memobilisasi dana tabungan masyarakat melalui tabungan pos dan penjualan polis asuransi jiwa. Dengan memanfaatkan jaringan kantor pos yang tersebar hingga ibu kota kecamatan, mobilisasi tabungan nasional melalui BTP jauh lebih mudah dan murah biayanya daripada membangun industri asuransi dan dana pensiun. Seperti di Jepang, dana BTP dapat digunakan untuk memperkuat APBN menyerap SUN, membangun infrastruktur dan membantu permodalan usaha skala kecil dan menengah.

Lima cara turunkan suku bunga

Dewasa ini, ada lima cara yang dapat digunakan pemerintah untuk menurunkan tingkat suku bunga. Pertama, berpegang pada rumus John Taylor yang jadi acuan kebijakan moneter sejak program Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1997 yang terus dipertahankan hingga saat ini.

Kedua, menurunkan biaya intermediasi antara tingkat suku bunga di pasar dalam negeri dan di luar negeri. Dalam sistem devisa bebas yang berlaku dewasa ini, kesenjangan tingkat suku bunga di antara kedua pasar itu dapat diperkecil dengan menstabilkan nilai tukar rupiah dan menekan biaya transaksi lalu lintas modal.

Ketiga, meliberalisasi industri perbankan guna mengakhiri monopoli kelompok empat bank pemerintah dan 25 BPD yang sangat tak efisien dan tak sehat saat ini.

Keempat, membuat Indonesia sebagai tempat yang nyaman untuk menyimpan kekayaan. Kelima, membuat mata uang ataupun surat berharga yang dinyatakan dalam rupiah sebagai sarana tepercaya dan dapat diandalkan dalam menahan kekayaan. Cara yang dipilih pemerintah, sekarang ini, dengan memaksa bank-bank menurunkan tingkat suku bunga dan margin keuntungan adalah tidak tepat dan mirip kebijakan represif Orde Baru yang bertolak belakang dengan mekanisme pasar dalam era kebijakan moneter yang berlandaskan padainflation targeting (IT) dewasa ini.

Seperti halnya bank sentral di Jerman dan Uni Eropa, UU Bank Indonesia (BI) tahun 1998 memberikan status otonomi kepada BI untuk memelihara keseimbangan internal dan eksternal perekonomian. Mulai tahun 1990, BI menggunakan IT dalam kebijakan moneternya, yakni untuk mencapai suatu target inflasi inti tertentu yang ditentukannya sendiri. Inflasi inti diukur berdasarkan indeks harga yang biasa digunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur inflasi dengan mengeluarkan bahan makanan serta barang- barang yang harganya disubsidi dan dikontrol oleh pemerintah. Harga bahan makanan dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca, sedangkan harga komoditas yang dikontrol pemerintah dipengaruhi kebijakan pemerintah dan bukan oleh kebijakan moneter BI.

Melalui stabilisasi internal, bank sentral sekaligus menstabilkan neraca pembayaran luar negeri dan kurs devisa. Upaya untuk menumbuhkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja adalah merupakan kombinasi antara kebijakan moneter, fiskal, dan reformasi perekonomian, termasuk korporatisasi BUMN. Dua kebijakan yang disebut terakhir merupakan kewenangan pemerintah.

Mekanisme operasional dari IT adalah melalui penetapan tingkat suku bunga acuan yang diukur berdasarkan rumus yang disusun oleh Profesor John Taylor dari Universitas Stanford. Berdasarkan rumus itu, BI menetapkan tingkat suku bunga acuannya berdasarkan (i) tingkat suku bunga riil keseimbangan jangka panjang, (ii) kesenjangan tingkat laju inflasi, dan (iii) kesenjangan pendapatan nasional. Kesenjangan tingkat laju inflasi merupakan perbedaan antara tingkat laju inflasi yang sebenarnya terjadi dan target yang ditetapkan oleh bank sentral. Kesenjangan pendapatan nasional merupakan selisih antara realitas pendapatan nasional yang dicapai dan potensinya.

Karena tingkat suku bunga riil jangka panjang dianggap konstan, perubahan suku bunga acuan jangka pendek hanya dipengaruhi oleh kesenjangan inflasi dan pendapatan nasional. Sejumlah negara maju, dewasa ini, menurunkan tingkat suku bunga menjadi negatif karena terus- menerus terjadi deflasi atau penurunan tingkat harga di negaranya.

Selain itu, tingkat laju pengangguran tenaga kerja juga tetap tinggi yang mencerminkan masih tingginya potensi pertumbuhan ekonominya. Tingkat suku bunga yang rendah itu diharapkan dapat mendorong pengeluaran investasi dan konsumsi masyarakat. Sebaliknya, di Indonesia, tingkat laju inflasi tetap tinggi dan pengangguran tenaga kerja juga tinggi karena kurangnya barang modal sebagai alat kerja ataupun karena kurangnya keterampilan dan pendidikan.

Mengacu pada tingkat suku bunga acuan BI, pada masa IT sekarang ini, seharusnya industri perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya menetapkan tingkat suku bunga simpanan dan kredit mereka berdasarkan mekanisme pasar tanpa ikut campur pemerintah.

Cara yang paling mudah untuk menurunkan tingkat suku bunga bank di Indonesia dewasa ini adalah dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas bank- bank pemerintah, baik milik negara maupun BPD. Hal itu dapat dilakukan dengan mengakhiri kebijakan yang memberikan hak monopoli kepada mereka untuk menyimpan kekayaan finansial dan menyelenggarakan transaksi keuangan sektor pemerintah, termasuk BUMN/BUMD.

Kelompok bank pemerintah itu kini menguasai lebih dari separuh pasar industri perbankan. Karena mengalami represi finansial selama 32 tahun Orde Baru, operasi kelompok bank-bank negara tidak berbeda dengan kas negara. Pada waktu itu, dana kredit bank-bank pemerintah disediakan oleh negara dan semua risiko bank (kredit, operasional, dan pasar) diambil alih oleh negara ataupun perusahaan asuransi kredit milik negara.

Menteri BUMN harus mengakhiri penunjukan pimpinan BUMN dan bank- bank pemerintah berdasarkan KKN dan bukan profesionalitas. Penjualan sebagian saham BUMN tidak memengaruhi tata kelolanya karena pemerintah tetap memegang golden share yang dapat menetapkan pimpinan dan kebijakan operasional BUMN. Biaya operasional bank pemerintah terlalu besar karena organisasinya yang terlalu besar, kantor cabang dan karyawannya di dalam negeri terlalu banyak. Di luar Indonesia, bank-bank negara hanya mampu bersaing dengan Western Union mengirim remitans TKI.

Membuat Indonesia menjadi tempat yang nyaman untuk menyimpan kekayaan memerlukan perbaikan sistem hukum, politik, dan sosial. Sistem itu harus dapat melindungi hak milik individu dan menyelesaikan konflik kepentingan guna menurunkan biaya transaksi pasar. Nasionalisasi dan perampasan kekayaan individu, tanpa proses hukum dan ganti rugi, hendaknya jangan lagi terjadi. Sejak tahun 1950, sering terjadi perampasan hak milik warga keturunan hasil perkawinan campur WNI dengan warga kulit putih, etnis Tionghoa, ataupun pribumi.

Konflik kepentingan hendaknya dapat diselesaikan oleh aparat penegak hukum dan bukan oleh preman. Orang hanya mau menyimpan kekayaannya dalam rupiah jika nilai mata uang itu stabil, mudah ditukarkan dengan mata uang asing, dan nilainya tidak terus-menerus tergusur karena rangkaian pemotongan atau pengguntingan nilai uang, inflasi, devaluasi yang sering terjadi dalam sejarah Indonesia yang salah urus. Diaspora atau pelarian modal, wirausaha, dan tenaga terampil ke luar negeri sangat merugikan Indonesia. Indonesia tidak akan mungkin dapat keluar dari perangkap negara miskin (low middle income trap) kalau terus-menerus terjadi diaspora modal, tenaga terampil, dan wirausaha!

ANWAR NASUTION, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Penurunan Suku Bunga Bank".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger