Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 15 September 2016

Kebinekaan dan Inklusivisme (SULASTOMO)

Bhinneka Tunggal Ika telah kita sepakati sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara kita. Para pendiri bangsa ini sangatmemahamikenyataan bahwa bangsa ini memang sangat beragam dari aspek etnis, bahasa,adat istiadat, bahkan agama.

Dengan sangat pluralnya bangsa ini, keberagaman itu harus diikat dalam satu kesatuan sehingga tidak boleh lepas dari "tunggal ika". Berbeda dan beragam, tetapi tetap satu bangsa, bangsa Indonesia. Para pemuda kita, di tahun 1928, bahkan menambahkan satu tanah air, yaitu Indonesia, serta menjunjung tinggi satu bahasa, bahasa Indonesia. Dengan perkataan lain, Indonesia di atassegala-galanya: di atas kepentingan etnis, kedaerahan, agama ataupungolongan.

Cita-cita seperti ini mirip sebagai masyarakat inklusif, sebagaimana digambarkanDaron Acemoglu dan James A Robinson dalam buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (2013). Mengapa inklusivisme ini perlu kita tekankan? Meskipun buku itu relatifcukup tebal(514 halaman),jawaban atas pertanyaan judul buku itu (why nations fail—mengapa bangsa-bangsa gagal) adalah bila suatu bangsatidak inklusif.

Buku itu menyajikan banyakfakta bahwa sebuah bangsa akan gagal kalau tidak inklusif.Sebuah contoh yang mencolok adalah sebuah wilayah yang dikenal sebagai Nogales, yang terletak di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Di sebelah utara merupakan bagian dari Negara Bagian Arizona. Penduduk di daerah ini rata-rata pendapatan per kapitanya 30.000 dollar AS. Masyarakatnya hidup tenteram, memiliki jaminan kesehatan, seluruh anak mudanya bersekolah.

Sementara di bagian selatan, di wilayah Meksiko, meskipun termasuk daerah makmur di Meksiko, pendapatan per kapitanya 10.000 dollar AS, sepertiga dari daerah utara.Anak-anak mudanya banyak yang tidak menyelesaikan pendidikan, sementara angka kematian bayi juga tinggi, yang mengindikasikan lemahnya jaminan kesehatan.Demikian juga contoh-contoh negara atau daerah lainnya, seperti antara Korea Utara dan Korea Selatan, beberapa negara Afrika, antara Eropa Barat dan Timur.

Apa yang ditulis dalam buku itu barangkali perlu kita renungkan ketika kita sedang memasyarakatkan empat pilar berbangsa dan bernegara, termasuk Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa, antara ke-"Bhinneka"-an dan "Tunggal Ika"tak boleh terpisah dan bahkan harus menyatu agar Bhinneka Tunggal Ika merupakan gambaran masyarakat inklusif.

Beberapa contoh

Contoh yang sangat gamblang barangkali dapat dikemukakan Jepang dan Amerika Serikat yang telah tumbuh sebagai negara maju, yang telah menggambarkan sebagai bangsa yang inklusif.Berbeda dengan Indonesia, di mana kebinekaan itu telah ada sebelum Indonesia menjadi negara, AS justru dibentuk oleh bangsa- bangsaimigran yang datang ke Amerika atas berbagai alasan. Bangsa-bangsa imigran ini kemudian sepakat mendirikan negara Amerika Serikat.

Imigran Afrika menamakan dirinya sebagai "African America", imigran Asia menamakan dirinya "Asian America". Rakyat di wilayah Nogales utara mungkin menamakan dirinya "Mexican America".Amerika Serikat, dengan demikian, telah menjadi tanah air baru bagi para imigran itu sehingga Amerika Serikat merupakan segala-galanya bagi mereka. Hal ini terlepas bahwa mereka pun ternyata memerlukan proses yang panjang juga.

Adapun Jepang adalah salah satu contoh bangsa yang sangat inklusif sejak awal, bahkan homogen dari aspek budaya,bahasa,peradaban, dan juga agama. Penilaian ini disampaikan oleh Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization,sehingga Jepang mungkin akan menjadi satu-satunya negara di dunia yang tidak pernah ada konflik lokal berdasar peradaban lokal.Bagaimana di Indonesia?

Sebelum Indonesia terbentuk, sebagaimana kita sadari bersama, keberadaan berbagai etnis, bahasa, budaya, dan agama telah mewarnai Kepulauan Nusantara.Keberagaman itu sudah eksis sebelum Indonesia merdeka. Keberadaan "kebinekaan"merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Namun, para pendiri bangsa ini juga menyadari bahwa kebinekaan itu tidak boleh memisahkan kita semua sebagai satubangsa Indonesia, sebagaimana diikrarkan para pemuda kita di tahun 1928.

Lebih dari itu, kalau setiap etnis berjuang sendiri-sendiri, kemerdekaan mungkin tidak akan pernahtercapai.Makna hari Kebangkitan Nasional (20 Mei, 1908) adalah ketika bangsa ini menyadari bahwa kita semua merupakan satu bangsa. Semangat inilah yang melandasikita semua ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Para pendiri bangsa ini yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang terdiri atas berbagai daerah, beragam etnisdan agama,bermusyawarah,dan bersepakatsecara bulatmemproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa kemerdekaan itu merupakan perjalanan panjang bangsa ini, setelah melalui berbagai pergerakan di daerah, yang kesemua itu merupakan pengalaman sangat berharga dalam menumbuhkan semangat berkebangsaan, kebersamaan, kegotongroyongandan "tunggal ika".

Cita-cita "Bhinneka Tunggal Ika" yang inklusif itu sungguh sangat bermakna untuk mencegah terjadinya konflik lokal berlatar belakang peradaban, baik etnis,budaya, maupun agama. Hal inimengingatkondisi objektif Indonesia memang sangat rawan dengan konflik lokal seperti itu.

Harapan

Dengan program sosialisasi empat pilar kebangsaan MPR, secara implisit juga merupakan sebuah kesadaran bahwa semangat "bineka tunggal ika" masih perlu ditingkatkan. Tujuannya, tentunya agar antarakebinekaan dan ketunggal-ikaan dapat menyatu sehingga terbentuk masyarakat inklusif, bangsa yang inklusif.Hal ini akan ditandai dengan tegaknya persamaan hak, kewajiban, dan kesempatan bagi seluruh warga bangsa, yang ternyata jadi syarat tumbuhnya inovasi, kemajuan, dan kesejahteraan sebuah bangsa.

Dalam masyarakat-bangsa seperti itu, penghargaan dan martabat seseorang ditentukan oleh kinerjanya, pengabdiannya, bahkan inovasinya di segala bidang yang akan mengantar bangsa itu ke arah kemajuan bangsa, sebagaimana kita lihat di negara-negara yang sudah inklusif. Di Indonesia, rekayasa sosial seperti ini ternyata masih diperlukan. Apalagi di era globalisasi, ketika dunia semakin menyatu,ibarat tanpa batas, sehingga berbagai peradaban saling memengaruhi.

Kemampuanuntuk menyaring masuknya peradaban asing, dalam hal ini sangat diperlukan. Ketika sebuah bangsa lemah dalam menyaring peradaban asing, maka jati diri bangsajuga akan goyah. Kenyataan ini mungkin sudah kita alami, sehingga kerisauan lemahnya "jati diri" bangsa atau karakter bangsa telah menyelimuti kita semua.

Dapatkah dikatakan bahwa kita harus mampu menjelaskan bahwa "bineka tunggal ika" adalahwujud masyarakat yang inklusif,yang tidak membedakan asal usul etnis, budaya, dan agamawarganya dalam pengabdiannyabagi bangsanya, sebagaimana dapat kita teladani dari para pendiri bangsa ini?

SULASTOMO, ANGGOTA LEMBAGA PENGKAJIAN MPR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Kebinekaan dan Inklusivisme".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger