Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 15 September 2016

Menagih Revolusi Mental Kewarganegaraan (AHMAD SUAEDY)

Belakangan ini banyak muncul isu kewarganegaraan di Indonesia secara serentak tapi paradoks.

Di satu pihak, ada kasus Zulfa, siswi SMK Negeri 7 Semarang, yang tidak naik kelas karena mendapat angka nol (0) dalam mata pelajaran Agama hanya lantaran yang bersangkut pemeluk Penghayat Kepercayaan. Meskipun kini telah masuk kembali dan akhirnya tetap naik ke kelas XII, tetapi hal itu terjadi hanya dengan diskresi tertentu.

Pada kasus lain, kesulitan mendapatkan e-KTP atau KTP elektronik menimpa sebagian besar warga Ahmadiyah di Manis Lor dan warga pemeluk Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Meski mereka telah merekam data di kantor pemerintah untuk e-KTP, tetapi hingga kini sebagian besar belum menerimanya. Kasus yang sama tentang terhalangnya mendapatkan e-KTP dan akses sekolah juga menimpa sejumlah komunitas Penghayat Kepercayaan, Ahmadiyah, dan Syiahdi sejumlah daerah.Dalam kasus Ahmadiyah di Manis Lor, pemerintah daerah dan pejabat pelayanan publik Kabupaten Kuningan menolak memberikan e-KTP kepada mereka dengan alasan ada tekanan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan gerakan intoleran tertentu setempat.

Di sisi lain, ada kasus Arcandra Tahar, mantan Menteri ESDM, yang baru ketahuan memiliki kewarganegaraan ganda setelah diangkat jadi menteri dan kemudian dicopot dari jabatannya. Namun, pemerintah tampaknya secara serius telah berusaha mengembalikan kewarganegaraan Arcandra dengan cara yang di luar jalur perundang-undangan (Kompas, 7/9). Di sisi lainnya lagi, ada 177 orang yang dengan sengaja, meskipun hal itu dilakukan oleh agen perjalanan, secara melawan hukum menggunakan kewarganegaraan Filipina untuk berangkat haji, dan, dengan mudah, dikembalikan kewarganegaraan Indonesia-nya.

Pemerintah seperti tidak memiliki kepekaan tentang adanya pembedaan terhadap sesama warga negara dalam pelayanan publik berupa sesuatu yang amat mendasar bagi warga negara, yaitu status kewarganegaraan berupa kartu tanda penduduk (KTP), hanya karena perbedaan agama dan kepercayaan serta kelas sosial. Tanda status kewarganegaraan berupa identitas e-KTP berimplikasi sangat jauh bagi akses pelayanan publik: dari pendidikan, kesehatan seperti BPJS, hingga hak kepemilikan harta benda dan bahkan hak hidup.

Mala-administrasi

Jika dilacak, praktik diskriminasi tersebut bukanlah berakar pada konstitusi yang membedakan perlakuan bagi warga negara. UUD 1945 Pasal 28 D Ayat 1 memberikan jaminan tentang hal itu. Diskriminasi itu terjadi pada level UU atau aturan lainnya, serta kebijakan tertentu yang sebagian disusun sebelum dan sebagian lainnya setelah amandemen UUD 1945. Ironisnya, setelah 15 tahun amandemen UUD tidak terjadi penyelarasan substansi dan pelaksanaan serta tetap terjadi penyimpangan atas lahirnya UU baru pasca-amandemen. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa diskriminasi itu merupakan penyimpangan terhadap konstitusi. Hal itu berimplikasi pada menghalangi akses bagi rakyat tertentu atas pelayanan publik kemudian menimbulkan mala-administrasi.

Salah satu alasan mengapa Zulfa diberi nilai nol dalam Agama-Budi Pekertidan, karena itu, tidak naik kelas karena ajaran Penghayat Kepercayaan belum memiliki kompetensi dalam kurikulum Sistem Pendidikan Nasional berdasar pada Permendikbud No 64/2013. Di sana hanya diatur kompetensi enam agama besar. Permendikbud ini didasarkan pada UU No 20/2003 Pasal 12 Ayat 1 yang hanya menyebut agama dan tidak menyebut Penghayat Kepercayaan.

Ketiadaan penyebutan penghayat kepercayaan dalam UU Sisdiknas tersebut diartikan sebagai ketidakharusan negara dan pemerintah melayani warga negara pemeluk Penghayat Kepercayaan. Ironis bahwa pemeluk agama atau kepercayaan asli Indonesia justru disingkirkan dari UU yang notabene seharusnyamelindungi warga negara Indonesia secara keseluruhan. Kini memang baru lahir Permendikbud No 27/2016 yang mengatur tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan YME, tetapi entah kapan aturan itu bisa diimplementasikan.

Adapun pengingkaran pelayanan e-KTP kepada Penghayat di banyak daerah didasarkan pada anggapan bahwa Penghayat bukan termasuk ke dalam kategori "enam agama yang diakui". Anggapan itu berakar padaUU yang lahir sebelum amandemen, yaitu Pasal 1 UU No 1 PNPS 1965 berisi tentang deskripsi eksistensi enam agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Namun, jika kita cermati penjelasan Pasal 1 UU tersebut, tidak satu pun ada kata yang menyebut enam agama sebagai agama resmi dan lainnya tidak resmi atau diakui dan tidak diakui. Anggapan tentang agama resmi dan tidak resmi serta diakui dan tidak diakui hanya berangkat dari imajinasi atau persepsi belaka dan tidak ada dasar hukumnya. Pasal tersebut hanya mendeskripsikan agama mayoritas yang dipeluk dan pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan terhadap mereka. Sementara di luar enam agama tersebut tetap dibiarkan hidup dan dijamin sesuai Pasal 29 Ayat 1 dan Ayat 2 UUD 1945.

Namun, persepsi tersebut justru kemudian dituangkan ke dalam UU No 24/2013 yang merupakan perubahan atas UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Di sana dinyatakan: "Bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan".

Jika dibandingkan dengan kebijakan Orde Baru yang mengharuskan berafiliasi ke agama yang enam, maka pemberian pilihan untuk mengosongkan memang kemajuan. Namun, hal itu berimplikasi pada diskriminasi dalam bentuk lain. Di banyak daerah, pengosongan kolom agama berimplikasi bahwa mereka mengalami kesulitan atau ditutup dari akses pelayanan publik karena dianggap tidak beragama.

AHMAD SUAEDY, ANGGOTA OMBUDSMAN RI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Menagih Revolusi Mental Kewarganegaraan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger