Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 24 September 2016

Mentalitas Keragaman dan Toleransi (ZULY QODIR)

Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara-negara Timur Tengah dalam mengelola keragaman dan sikap toleran. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar, tetapi tidak mendakukan dirinya sebagai negara Islam. Inilah kelebihan Islam Indonesia yang bersifat toleran dan moderat.

Sejumlah peristiwa pengeboman beberapa waktu ini, seperti di Amerika Serikat, Turki, Perancis, ataupun Belgia—yang senantiasa melibatkan penduduk beragama Islam asal Timur Tengah—menjadi salah satu batu sandungan aktivitas toleransi dan moderasi Islam di Timur Tengah. Oleh sebab itu, aktivitas toleransi dalam masyarakat yang beragam sebenarnya benar-benar bisa diharapkan datang dari Indonesia sebagaimana pernah dikatakan Abdullahi Ahmed An Naim (2015), ahli hukum Islam asal Sudan.

Sebagai bangsa yang majemuk, kita harus mampu mengembangkan perbedaan dalam keragaman, tetapi juga mendukung prinsip pluralisme sekaligus multikulturalisme. Agree in the diversitymerupakan prinsip berbangsa dalam negara yang multikultur (pluralistik), seperti Indonesia. Kita tidak perlu jauh-jauh belajar ke Kanada, Inggris, Swedia, Norwegia, ataupun Swiss kalau sekadar ingin melihat keragaman. Hal yang bisa diambil sebagai pelajaran dari negara-negara lain adalah bagaimana mereka mengelola keragaman dalam kondisi dan situasi keadilan.

Kondisi keadilan hukum, ekonomi, dan partisipasi masyarakat dalam menjaga keragaman akan memberikan kekuatan yang memadai di Indonesia agar terus berlangsung. Oleh sebab itu, kita harus saling memiliki sikap percaya kepada semua elemen masyarakat untuk mendorong harmoni sosial.

Salah satu model bagaimana mengelola keragaman yang pernah dilakukan di negeri ini sebenarnya telah banyak dilakukan masyarakat Jawa dan Ambon yang mampu hidup berdampingan dalam keragaman budaya dan agama. Bagaimana masyarakat Jawa mampu menghargai kehadiran orang yang bukan Jawa, bukan satu agama, bahkan tidak satu aliran (mazhab), tetapi bisa berdampingan dalam masyarakat.

Demikian pula yang dilakukan masyarakat Ambon, yang mampu hidup berdampingan dengan masyarakat tidak satu agama dan satu etnis. Saat ini yang perlu dilakukan sebenarnya bagaimana agar kehidupan harmonis masyarakat Jawa dan Ambon, seperti sebelum reformasi politik terjadi, terus terjaga, bukan harmoni dalam kepura-puraan.

Masyarakat perlu didesain (social engineering) agar tetap memiliki daya tahan (resilience) untuk menghargai, menghormati, serta melangsungkan kehidupan harmoni sosial tidak dalam kepura-puraan. Hal ini penting karena sering kali harmoni dalam kepura-puraan akan menciptakan persoalan yang jauh lebih serius daripada sebelumnya dikelola dan dipersiapkan terlebih dahulu.

Berharap kepada Muhammadiyah dan NU

Di sinilah tugas pendidik, ustaz, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, dan pemuda menjadi pilar untuk membangun mentalitas keragaman dalam negara demokrasi. Sebagai negara yang memiliki kekuatan masyarakat sipil, Indonesia sebenarnya dapat berharap kepada masyarakat sipil semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mendukung berlangsungnya kehidupan keagamaan, sosial, dan politik yang stabil.

Muhammadiyah dan NU bisa diharapkan menumbuhkan budaya toleran dan keagamaan moderat sebagai bagian dari kultur keagamaan sipil. Keagamaan sipil (civil religion) merupakan keagamaan yang tidak mengancam, menindas kelompok minoritas, menghadang keterlibatan sosial keagamaan di masyarakat. Keagamaan sipil itu cenderung berkultur memilih hidup tenang, damai, dan menyelamatkan pihak lain.

Bahkan, sekarang ini secara kenegaraan kita bisa berharap kepada Muhammadiyah dan NU yang telah secara tegas mendukung kehadiran negara Pancasila sebagai dasar negara, tanpa harus merombak dasar filosofis berbangsa dan bernegara. Karena itu, hadirnya Muhammadiyah dan NU menjadi penting dalam mendukung keinginan bangsa ini untuk memiliki mentalitas setia kepada dasar negara, keragaman, dan memiliki pandangan kenegaraan yang kosmopolitan. Muhammadiyah dan NU telah sepakat mendorong Indonesia menjadi negara yang mampu hadir dalam kehidupan global sebagai bagian dari negara-bangsa.

Mungkinkah kita merawat keragaman sebagai ibu kandung negara ini? Semua akan terletak pada semua elemen bangsa ini. Bangsa ini harus digerakkan menjadi bangsa yang mampu menyantuni dirinya sendiri. Bangsa yang mampu menjadi kader bangsa, kader umat, dan kader kemanusiaan bukan sekadar kader sektarianisme dan gethoisme yang kadang merusak sendi- sendi berbangsa dan bernegara.

Kita harus jaga bangsa ini menjadi bangsa yang benar-benar mampu menciptakan harapan baru oase kehidupan yang lebih sejahtera, mandiri, partisipatif, dan akuntabilitasnya terjaga. Kita agaknya tidak perlu lagi memperdebatkan tentang demokrasi yang secara prinsip tidak bertentangan dengan Islam dan agama apa pun di dunia ini. Bahwa praktik demokrasi masih compang-camping merupakan hal yang harus dibenahi secara bersama-sama.

Namun, itu semuanya akan terletak pada kita semua yang menghendaki adanya demokrasi yang lahir dari rahim bangsa sendiri. Demokrasi yang lahir dari rahim masyarakat sipil dan ormas keagamaan sebab berharap demokrasi yang sesungguhnya dari partai politik tampaknya jauh panggang dari api. Namun, nasib demokrasi yang sesungguhnya akan suram jika masyarakat sipil dan keagamaan sipil perilakunya tak jauh beda dengan partai politik. Bangsa ini tetap akan jadi pecundang jika perilaku ormas keagamaan juga bermartabat rendah, menjadi pengemis di hadapan negara!

ZULY QODIR, SOSIOLOG UMY, PENELITI SENIOR MAARIF INSTITUTE JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Mentalitas Keragaman dan Toleransi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger