Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 24 September 2016

”Mengkloning” Artidjo (DEDI HARYADI)

Besok atau lusa, karena penyebab alamiah—habis masa jabatannya, misalnya— Hakim Agung Artidjo Alkostar tak akan mengadili lagi. Keputusan-keputusannya, sebagai ketua majelis hakim, dalammengadili perkara korupsi di Mahkamah Agung telah menimbulkan—kita sebut saja—efek Artidjo.

Posisinya sebagai ketua majelis hakim itu, di sini, perlu ditekankan untuk menghindari mispersepsiseolah itu keputusan pribadi.Contoh yang jadi "korban" keputusannya adalah Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Muhammad Nazaruddin, dan terpidana lain.

Koruptor pun jadi enggan atau malah membatalkan niat untuk kasasikalaumereka tahu perkaranya akan ditangani Artidjo. Sebab, ada risiko tinggihukumannya mungkin diperberat.Efek Artidjo telah membuat koruptor takut diadili. Takutdiadili itu efek jera juga. Lebih dari sekadar takut melakukan korupsi.

Dua isu transformatif

Kita harus memperkuat efek Artidjo ini supaya beresonansi dan mewabah ke semua level pengadilan (negeri, tinggi, dan mahkamah agung) dan publik. Ada dua isu transformatif penting di sini. Pertama, bagaimana mentransformasikan perasaan koruptor takutdiadili Artidjo yang nuansanya lebih personal ini menjadi perasaan koruptor takutdiadili Mahkamah Agung (MA) yang lebih institusional.

Kalau ditakui itu terkait dengan maruah, maka—dengan kata lain—di sini kita berupaya bagaimanamentransformasikan maruah personal jadi maruah institusional. Kalau perasaan takut diadili MA itu ada sejak dulu, mungkin tak perlu ada kisah MAnunggak perkara.

Kedua, bagaimana mentransformasikan perasaan takut diadili yang sifatnya individual ini—yang bermula dari para koruptor yang mengajukan kasasi—kemudian mewabah menjadiperasaansemua orang (publik). Kalau takut diadili ini jadi roh dan semangat semua orang, jumlah dan kualitas (kecanggihan modus) insiden korupsi dan kejahatan lain saya yakin akan berkurang.

Dus, dua isu transformatif inilah—bukan hanya karena kelangkaan dan keniscayaan berakhirnya masa jabatan—yangmendorong kitauntuksegera "mengkloning" Artidjo.Urgensi"mengkloning" Artidjo itu derajatnya segera.Lambat melakukan iniberarti kita membiarkanfenomena korupsi, khususnya korupsi yudisial, akan meluas dan dalam. Konsekuensinya serius: tak ada cara yang dapat diandalkan untuk mencari dan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Yang dikloning tentu bukan dimensi fisiknya, tetapi lebih pada karakternya. Sekurangnya ada lima karakteryangmelekat pada Artidjo: profesional, integritas, indepedensi, nyali, dan hatiyang hidup.Profesionalisme, integritas, dan indepedensi sudah banyak dibahas orang. Yang belum dikaji lebih dalam adalah soal nyali dan hati yang hidup. Nyali yang kuat dan penuh—tak takut kepada siapa pun danpada keadaan apa pun—dalam menghadapi risiko keselamatan dan keamanan penting dimiliki hakim. Demikian juga hati yang hidup. Hati yang hidup ini perlu diberi perhatian dengan bobot lebih. Karena ia adalah "fakultas" untuk menangkap dan mereproduksi kebenaran.

Menghidupkan hati

Pertanyaan klasik yang muncul ketika kita ingin mereproduksi orang baik (berkualitas) adalah apakah orang itu dilahirkan secara alamiah (nature) atau bisa dibudidayakan (nurture)? Dengan kekuatan cipta, rasa, dan karsa yang kita miliki saat ini, sesuatu yang tadinya alamiah itu sebenarnya bisa dibudidayakan, bisa direkayasa. Dengan itu, maka nyali yang kuat dan penuh dan hati yang hidup—apalagi profesionalisme, integritas, independensi—bisa dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan yang baik dan tepat.

Nyali seseorang bisa dikembangkan dariyang tadinya penghindar risiko menjadi pengambil risiko. Banyak contoh, orang yang tadinya berada di zona nyaman, setelah dididik dan dilatih dengan metode dan teknik yang tepat kemudian berubah menjadijihadis. Terlepas apakah jihadnya benar dan orisinal atau semu. Poinnya adalah dengan metode dan teknis yang tepat,kita berpotensi mereproduksihakim bernyali kuat dan penuh.

Kalau belum ada kurikulum formal untuk mengasah hati, kita bisa meminjamnya dari kalangan dan tradisi sufistik. Mereka punya teori dan praksis menghidupkan hati. Dalam tradisi sufistik, digambarkan ada tiga keadaan hati dalam menerima dan memproduksi kebenaran: hati yang mati, membatu, dan hidup.

Hati yang membatu, terlebih yang mati, tak bisa menangkap dan memproduksi kebenaran. Hanya hati yang hidup yang bisa begitu. Hati hakim—dan penegak hukum lainnya—harus hidup supaya bisa menangkap dan mereproduksi kebenaran.Kalauhati para hakim itu hidup, sehidup-hidupnya, maka kebutuhan pengawasan teknis yudisial dariMA, pengawasan kode etikKomisi Yudisial dan kontrol publik dari masyarakat mungkinakan minimal.

Implikasinya jelas: dalam merekrut danmempromosikan, kita harus bisa mengidentifikasi dan memastikan apakah calon hakim atau hakimitu masihmemiliki hati yang hidup atau tidak. Uji kelayakan dan kepantasan yang seringkita pakai selama ini kelihatannya sudahkedaluwarsa. Ia tak bisa menangkap apakah hati seseorang itu masih hidup, mati atau membatu.

DEDI HARYADI, DEPUTI SEKJEN TRANSPARANSI INTERNASIONAL INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 September 2016, di halaman 6 dengan judul ""Mengkloning" Artidjo".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger