Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 24 September 2016

Prospek Damai di Suriah (IBNU BURDAH)

Apakah jalan menuju perdamaian di Suriah sudah benar- benar buntu? Jika menilik beberapa negosiasi perdamaian yang sudah terjadi, jawabannya bisa jadi benar. Kedua pihak mendekati mustahil berkompromi dalam masalah yang paling diperselisihkan, yaitu nasib Assad pada masa transisi dan pasca transisi.

Alih-alih mencapai kompromi, mengagendakan isu itu saja sudah jadi persoalan begitu berat. Kedua pihak dan segenap pendukung domestik, kawasan, bahkan internasionalnyakaku dalam persoalan ini. Bagi satu pihak, mempertahankan Assad seolah harga mati dan bagi pihak lain kejatuhan Assad tak bisa ditawar lagi. Kendati dengan rumusan yang berbeda-beda, kedua pihak dalam beberapa negosiasi damai sebelum ini memang memasang target yang hampir mustahil dicapai dalam situasi "yang berimbang" di lapangan saat ini.

Gencatan senjata

Tercapainya kesepakatan senjata beberapa hari ini di Suriah sungguh signifikan. Kendati tidak disetujui seluruh pihak yang berkonflik dan bukan gencatan senjata permanen, kesediaan hampir semua faksi untuk menghentikan pertikaian senjata menunjukkan beberapa hal. Pertama, setiap pihak sudah merasa "letih" dengan perang dengan segala akibat destruktifnya. Mereka mungkin mulai menyadari bahwa perang tak akan bisa mengantarkan mereka mencapai semua tujuan.

Betapa pun, mereka akan mengerahkan semua sumber daya yang ada sulit bagi mereka bisa menciptakan zero-summit game. Lamanya konflik menunjukkan secara jelas perimbangan kekuatan di lapangan itu nyata. Bahkan, paritas itu tak hanya meliputi kekuatan domestik, tetapi juga kekuatan-kekuatan regional dan internasional pendukung.

Kedua,tersirat bahwa kedua pihak sesungguhnya menginginkan gencatan senjata dan segera mencapai solusi damai yang permanen. Namun, bayangan mengenai isu Assad benar-benar mengganggu. Kepentingan banyak aktor dalam konflik ini sepertinya terkait juga dengan bertahan atau lengsengnya Assad.

Karena itu, kebutuhan untuk berkompromi tentang klausul ini mutlak diperlukan. Negosiasi berarti kerelaan setiap pihak membiarkan sebagian kepentingannya tidak tercapai. Dalam hal ini, lingkaran Assad, oposisi "moderat" ataupun Fath al- Syam, Iran-Hizvullah, Saudi- Turki, Rusia dan AS, harus merelakan sebagian kepentingannya demi kepentingan kemanusiaan yang jauh lebih besar dan mendesak.

Formula solusi yang kreatif sangat diperlukan dalam isu ini agar setiap pihak bisa menerima kesepakatan damai tanpa tercapainya semuakepentingannya.

Ketiga, menilik respons pihak- pihak yang terlibat pertikaian terhadap gencatan senjata, aktor dalam konflik Suriah memang berlapis dengan kepentingan yang kompleks. Salah satu persoalan krusial terkait pelaksanaan gencatan senjata adalah kelompok Fath al-Syam. Apakah metamorfosis kelompok Jabhah al-Nusra yang merupakan cabang Al Qaeda itu akan dikecualikan dari perjanjian gencatan senjata atau tidak. Apakah mereka termasuk dalam oposisi moderat atau sebagaimana Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang harus segera dihancurkan.

Secara ideologis dan historis, Fath al-Syam seharusnya masuk kategori teroris sebagaimana NIIS. Itu berarti kelompok itu tidak termasuk dalam gencatan senjata dan akan menjadi target bersama sebagaimana NIIS. Penghentian perang sesungguhnya didorong semangat untuk bersama-sama menghancurkan kelompok teroris.

Persoalannya di lapangan tidak sesederhana itu. Fath al-Syam saat ini tak menyebut dirinya cabang Al Qaeda atau metamorfosis dari Al Nusra. Mereka juga mengubah strategi dari "teror" ke strategi "sosial" dengan membantu penduduk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti air bersih dan gandum. Kendati itu bisa dimengerti sebagai bagian dari strategi persaingan mereka dengan NIIS, simpati rakyat Suriah terhadap mereka mulai tumbuh.

Lebih drastis lagi, kelompok ini sekarang menjadi bagian dari kelompok oposisi. Bahkan, mereka merupakan faksi dominan dalam barisan oposisi dalam perang melawan Assad. Persoalannya tak akan mudah sebab Rusia, Iran, dan Assad tetap melihat kelompok ini sebagai bagian dari teroris global Al Qaeda yang harus menjadi target bersama saat gencatan senjata. Mereka tentu tak bisa melupakan begitu saja beringasnya aksi-aksi teror kelompok itu sebelumnya.

Sementara pihak oposisi bersikeras sebaliknya. Bahwa Fath al-Syam bukan kelompok teroris sehingga harus menjadi bagian dari perjanjian gencatan senjata. Faktanya, kelompok ini memang menjadi tulang punggung oposisi dalam melawan Assad beberapa waktu terakhir.

Negosiasi

Jika perbedaan dalam isu ini gagal diselesaikan, gencatan senjata kemungkinan buyar. Distribusi bantuan beberapa hari ini ke penduduk korban perangtentu sangat membantu meringankan penderitaan mereka. Ini juga salah satu tujuan penting dalam kesepakatan gencatan senjata kali ini. Itu merupakan kabar yang sangat diharapkan.

Namun, tujuan pokok kesepakatan gencatan senjata saat ini justru bisa gagal, yaitu menghancurkan kekuatan teroris yang masih merajalela di Suriah sekaligus menyediakan situasi yang kondusif bagi munculnya inisiatif-inisiatif negosiasi perdamaian. Sebab, tanpa tercapainya dua hal itu, konflik di Suriah akan terus berkobar dan perdamaian di Suriah sepertinya mustahil akan terwujud.

IBNU BURDAH, PEMERHATI TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM, DOSEN PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Prospek Damai di Suriah".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger