Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 14 September 2016

Menyoal Profesionalisme KPU (INDRA PAHLEVI)

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo membentuk Tim Seleksi Salon Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu untuk periode 2017-2022.
DIDIE SW

Tim Seleksi yang dipimpin Saldi Isra dan Ramlan Surbakti itu tentu memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan mengingat akan diselenggarakannya Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta memilih presiden dan wakil presiden. Di sisi lain, perangkat yuridis, yakni UU Pemilu, belum dibahas meski ditargetkan akan selesai awal 2017. Ekspektasi masyarakat akan sangat tinggi kepada Tim Seleksi untuk menghasilkan calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) profesional, sebagaimana amanat Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945, yakni sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Landasan yuridis yang digunakan dalam proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu masih menggunakan UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, baik dari sisi persyaratan maupun prosesnya yang akan menghasilkan jumlah dua kali lipat dari anggota yang dibutuhkan. Selanjutnya, nama-nama hasil pilihan Tim Seleksi diserahkan oleh Presiden kepada DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.

Proses yang berlangsung tersebut sesungguhnya menyiratkan bahwa para anggota KPU dan Bawaslu dipilih melalui proses politik meskipun proses seleksinya dilakukan sebuah tim seleksi yang dibentuk Presiden, yang beranggotakan sekelompok orang yang dinilai punya kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan integritas untuk menyeleksi. Sebagai proses politik, sifat "mandiri" sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi harus dimaknai secara lebih hati-hati.

Mandiri dan independen

Kehati-hatian itu sangat perlu karena selama ini pengalaman menunjukkan, sejak KPU periode Pemilu 1999 yang beranggotakan unsur partai politik dan wakil pemerintah, KPU dicap sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang tidak mandiri dan tidak profesional. Muaranya, Pemilu 1999 harus "diambil alih" Presiden BJ Habibie sebagai penanggung jawab pemilu untuk memutuskan hasil pemilunya akibat KPU tidak kunjung menghasilkan keputusan. Meski demikian, sifat "mandiri" sebagaimana tercantum dalam konstitusi juga harus menjadi pedoman utama dalam menghasilkan KPU dan Bawaslu yang profesional.

Secara harfiah, kata mandiri bermakna 'tidak bergantung pada pihak lain'. Makna ini sering disinonimkan dengan kataindependen yang berasal dari serapan bahasa Inggris yang bermakna 'netral'. Dengan demikian, makna mandiri atauindependen lebih mengarah pada sifat tidak bergantung pada pihak lain dan netral dalam menjalankan tugasnya.

Selain perlunya pemahaman terhadap makna kata mandiri, kita juga dihadapkan kepada persoalan profesionalisme penyelenggara pemilu, khususnya KPU. Ketika KPU diisi kaum akademisi dan profesional—setidaknya dari sisi sumber perekrutannya—ternyata persoalan lain muncul ketika beberapa komisionernya ditetapkan menjadi tersangka korupsi, termasuk ketua KPU kala itu, Nazaruddin Sjamsuddin. Menjadi sebuah ironi bahwa lembaga penyelenggara pemilu yang menurut pengamat asing dianggap sebagai pemilu paling rumit di dunia, dan dianggap Jimmy Carter Center sebagai pemilu yang berhasil, ternyata menghasilkan para tersangka korupsi di pihak penyelenggara.

Perjalanan berlanjut ketika KPU periode 2007-2012 berhasil menyelenggarakan Pemilu 2009, tetapi di banyak hal menyisakan persoalan mendasar, termasuk karut-marut daftar pemilih yang akhirnya DPR membentuk Panitia Angket Daftar Pemilih Tetap (DPT). Salah satu kesimpulannya adalah ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu dan merekomendasikan mengganti semua komisionernya. Bahkan, beberapa pihak menyebut bahwa KPU "berpihak" kepada penguasa ketika ikut berkeliling bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari TPS ke TPS. Apa pun yang terjadi, KPU dinilai tidak cukup profesional menyelenggarakan pemilu.

Periode berikutnya, 2012-2017, yang masih bertugas hingga kini dinilai berhasil menyelenggarakan Pemilu 2014 dan bahkan pilkada serentak 2015. Namun, terdapat catatan kritis bahwa munculnya fenomena "tidak akurnya" antara KPU dan DPR serta pemerintah dalam beberapa hal, terutama terkait keharusan mengonsultasikan setiap rancangan peraturan KPU yang dimaknai DPR adalah mengikat. Sementara bagi KPU, hal tersebut menjadikannya tidak independen serta tidak profesionalnya KPU. Bagi DPR, KPU wajib mengikuti keputusan hasil konsultasi karena untuk menjaga kesesuaian antara isi atau amanat UU dan peraturan pelaksana yang tertuang dalam Peraturan KPU karena terdapat beberapa persoalan dalam Peraturan KPU yang tidak sesuai dengan filosofi dan original intent UU.

Berdasarkan catatan itu, terlihat bahwa hingga saat ini sebenarnya belum terlihat profesionalisme KPU dalam arti yang sesungguhnya. Hal itu disebabkan proses yang dilalui para anggota KPU dan Bawaslu adalah proses politik sehingga nilai-nilai profesionalisme tidak bisa sepenuhnya dapat dicapai. Padahal, secara prinsip terdapat beberapa hal penting dari sebuah lembaga penyelenggara pemilu, yaitu (1) kemandirian dan ketidakberpihakan; (2) efisiensi; (3) profesionalisme; (4) tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang ada; (5) stabil; dan (6) transparan.

Dari beberapa hal penting tersebut, profesionalisme harus menjadi pegangan utama karena merupakan sifat yang sangat penting dalam melihat bagaimana sebuah lembaga penyelenggara pemilu bertindak sesuai tugas dan wewenangnya. Salah satu makna kata "profesional" adalah "memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya". Hal penting untuk menjadikan lembagapenyelenggara pemilu ini profesional adalah KPU harus diisi oleh orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilu dan filosofi pemilu yang bebas dan adil. Seorang anggota KPU dan Bawaslu tidak sekadar "lulus" tes potensi akademik, juga harus mampu melaksanakan wewenang yang diberikan UU dan filosofi pemilu demokratis dan mampu mengatur serta melaksanakan semua proses pemilu.

Kesinambungan keanggotaan

Belajar dari pengalaman seleksi anggota KPU tahun 2006/2007, beberapa nama kompeten "terpaksa" gugur akibat tidak lolos seleksi tes potensi akademik, termasuk Ramlan Surbakti dan Valina Singka Subekti yang notabene adalah komisioner KPU yang masih menjabat kala itu. Saat ini, kedua nama itu menjadi anggota Tim Seleksi tentu memiliki parameter bagaimana menyeleksi para bakal calon anggota KPU dan Bawaslu yang profesional, kompeten, dan berintegritas.

Meskipun profesionalisme akan tetap bercampur proses politik, setidaknya Tim Seleksi harus menghasilkan nama calon anggota KPU dan Bawaslu yang jika diurutkan, 1-14 untuk KPU dan 1-10 untuk Bawaslu, memiliki standar yang sama atau mendekati sama. Calon yang memiliki kedekatan dengan kekuatan politik atau ormas tertentu mesti diminimalkan. Kalaupun ada calon dari kalangan parpol yang harus mengundurkan diri saat mendaftar, harus dipastikan bahwa yang bersangkutan memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan integritas untuk menjadi calon anggota KPU atau Bawaslu.

Selain pengalaman calon dalam bidang kepemiluan seperti pernah menjadi anggota KPU atau Bawaslu/Panwaslu di daerah, juga harus diuji kemampuan menjadi seorang pemimpin dalam lembaga penyelenggara pemilu yang memiliki karakteristik khusus serta perlunya passion dari calon untuk menjadi seorang penyelenggara pemilu. Persyaratan terukur dalam UU tidak menjamin seseorang mampu menjadi calon anggota KPU atau Bawaslu yang baik, tetapi itu lebih pada untuk melihat persyaratan administrasi sebagai "pintu masuk" bagi para calon anggota penyelenggara pemilu.

Itu karena penyelenggara pemilu sebagai bagian dari electoral laws (Douglas Rae, 1986) harus benar-benar menjadi sebuahelectoral management body yang profesional. Ia menjalankan serangkaian tugas teknis kepemiluan, seperti logistik dan administrasi, pemrosesan data atau teknologi informasi, informasi dan publikasi, serta tugas substansi yang terkait dengan tahapan pemilu, seperti pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta penyelesaian sengketa pemilu. Kompetensi itu sesungguhnya bukan pekerjaan politis, melainkan di Indonesia menjadi sebuah pekerjaan dengan sentuhan "politik" karena akan memengaruhi hasil akhir, yakni perolehan kursi di DPR atau DPRD serta keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tim Seleksi juga tidak boleh menjaring para job seeker, tetapi orang yang bersungguh-sungguh ingin menjadi penyelenggara pemilu dalam rangka memajukan demokrasi.

Kondisi yang menunjukkan proses seleksi dan profesi sebagai penyelenggara pemilu adalah profesi yang bersifat politis harus dihentikan, dan itu ditandai serangkaian proses yang transparan dan berintegritas yang dilakukan Tim Seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu. Apalagi, tahun 2019 akan diselenggarakan pemilu serentak dengan makna keserentakan, yakni pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, serta pemilu presiden dan wakil presiden diselenggarakan bersamaan waktunya. Ini semua perlu kemampuan mumpuni dari penyelenggara pemilu.

Selanjutnya, Tim Seleksi menyampaikan sejumlah nama kepada Presiden untuk dapat disampaikan kepada DPR; meskipun menurut penulis hal itu sebaiknya ditiadakan di masa yang akan datang. Satu hal yang patut dipertimbangkan Tim Seleksi adalah kesinambungan keanggotaan. Jika KPU periode saat ini habis masa jabatannya tahun 2017, tentu semua anggotanya tidak akan lagi menjabat. Padahal, dalam penyelenggaraan setiap pemilu terdapat kesinambungan yang harus dijaga, seperti pemeliharaan daftar pemilih, sistem informasi teknologi, proses atau tahapan pemilihan yang berikutnya.

Pada masa awal pembahasan RUU tentang Penyelenggara Pemilu 2007, pernah digagas adanya kesinambungan keanggotaan melalui adanya seleksi secara parsial. Artinya, hanya separuh dari jumlah anggota KPU yang diseleksi dan selanjutnya dua setengah tahun berikutnya dilakukan seleksi lagi. Untuk selanjutnya akan terjaga kesinambungan antarperiode. Namun, ketika aturan dan UU tak memungkinkan, maka harus didorong juga para komisioner yang masih bertugas untuk ikut kembali seleksi calon anggota KPU dengantreatment berbeda. Jangan terulang pengalaman masa lalu ketika Ramlan Surbakti dan Valina Singka harus ikut seleksi dari tahapan seleksi administrasi, padahal saat itu yang bersangkutan pun "diminta" ikut seleksi kembali dan hasilnya tidak lolos tes potensi akademik yang dilakukan pihak ketiga.

Ke depan harus diatur dalam UU bahwa keanggotaan KPU dan Bawaslu harus dipastikan profesionalismenya melalui serangkaian tindakan yang diatur, seperti mempertimbangkan meniadakan proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR, tetapi persyaratannya harus diperketat dan dipilih oleh tim seleksi yang kredibel. Berikutnya terdapat kesinambungan keanggotaan KPU dan Bawaslu agar berbagai persoalan pemilu dari waktu ke waktu dapat diatasi dan terkoordinasi dengan baik karena sifat KPU yang tetap menurut UUD 1945. Terakhir, KPU dan Bawaslu harus menjadi lembaga penyelenggara pemilu yang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang memiliki filosofi terselenggaranya pemilu yang demokratis, fair, dan mampu mengatur serta melaksanakan semua proses pemilu. Semoga Tim Seleksi dapat melakukan proses tersebut dengan baik dan menghasilkan para calon anggota KPU dan Bawaslu yang baik pula.

INDRA PAHLEVI, PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR; PEMERHATI PEMILU

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Menyoal Profesionalisme KPU".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger