Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 14 September 2016

Mengantisipasi Pilkada Calon Tunggal (IKHSAN DARMAWAN)

Pemilihan kepala daerah serentak akan digelar 15 Februari 2017. Sisa waktu menuju hari-H pilkada serentak jilid II tak akan lama lagi.

Para pembuat aturan pilkada perlu mempersiapkan semua aspek regulasi dengan maksimal agar pilkada berjalan dengan baik, tak terkecuali mengenai pilkada calon tunggal.

Memang ada asumsi yang mengatakan, kecil kemungkinan pilkada tahun depan diikuti satu calon. Alasannya cukup sederhana. Berangkat dari kasus di tiga daerah yang mengadakan pilkada satu calon, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah Utara, elite politik di 101 daerah yang akan terdapat pilkada pada tahun 2017 sepertinya tidak akan membiarkan pilkada diikuti satu calon meski mereka berhitung bahwa kalaupun ikut berkompetisi belum tentu akan menang.

Hal itu berkenaan erat dengan kondisi di mana UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengakomodasi kemungkinan terjadinya pilkada dengan satu pasang calon (Pasal 85 Ayat 2b). Adapun di UU Nomor 8 Tahun 2015, dan juga sebelum keluarnya Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015, terdapat celah di mana ketika terjadi hanya satu pasang calon saja yang mendaftar, maka akan ditunda di pilkada serentak selanjutnya. Celah itu merupakan salah satu sebab elite-elite di daerah pilkada calon tunggal 2015 tidak mendaftarkan calon mereka.

Meski demikian, besar ataupun kecil, kemungkinan adanya pilkada calon tunggal akan tetap ada. Paling tidak, bisa jadi ada juga calon kepala daerah, terutama calon petahana, yang ingin memanfaatkan bolehnya pilkada dengan satu calon dengan cara "memborong" semua dukungan partai politik.

Setelah itu, calon tersebut tinggal memastikan bahwa pilihan setuju untuk mereka lebih besar daripada pilihan tidak setuju sehingga bisa menang.

Catatan calon tunggal

Terkait hal itu, belum lama ini penulis berkesempatan melakukan riset lapangan di dua dari tiga daerah yang pernah melaksanakan pilkada calon tunggal, yakni Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Timor Tengah Utara.

Ada banyak hal penting dan menarik yang seharusnya dapat menjadi catatan. Terutama bagi para pembuat kebijakan yang sedang membahas Peraturan KPU, khususnya Peraturan KPU tentang pilkada calon tunggal, penting kiranya memperhatikan sejumlah hal.

Pertama, pilkada calon tunggal tidak seperti pilkada lain pada umumnya karena calon pemilih tidak memilih orang, tetapi memilih "setuju" atau "tidak setuju". Pada kertas surat suara terdapat foto pasangan calon yang membawahkan kotak bertuliskan "setuju" dan "tidak setuju". Dari pengalaman yang ada, diketahui bahwa model surat suara seperti itu problematik karena menyebabkan banyak suara tidak sah. Penyebabnya adalah jika hanya mencoblos gambar dan tidak diikuti mencoblos setuju atau tidak setuju, hal itu dianggap tidak sah. Padahal, tidak sedikit pemilih yang tidak paham mengenai ketentuan itu. Lebih-lebih, ketidaktahuan itu berlaku juga pada pemilih buta huruf.

Keduamodel surat suara yang terdapat foto pasangan calon sebaiknya diubah sehingga menjadi hanya kotak bertuliskan "setuju" atau "tidak setuju" saja. Foto pasangan calon bisa saja hanya ada di tempat pemungutan suara dan terpisah dari surat suara. Tujuannya adalah untuk menekan kemungkinan terjadi kekeliruan yang dilakukan pemilih karena mencoblos foto pasangan calon.

Ketiga, penyelenggara pemilu mesti meningkatkan sosialisasi kepada calon pemilih. Dalam konteks pilkada calon tunggal, tidak sedikit masyarakat yang tidak hadir karena mereka beranggapan ketidakhadiran mereka itu adalah wujud dari mereka memilih opsi "tidak setuju".

Padahal, sudah jelas bahwa memilih "tidak setuju" harus ditunjukkan dengan hadir dan mencoblos pilihan tersebut sehingga dapat dihitung bersama dengan pilihan "setuju" untuk diketahui mana yang lebih besar. Bagi sebagian besar orang, hal itu mungkin terdengar "menggelikan". Namun, praktiknya, hal itu nyata terjadi pada pilkada calon tunggal yang lalu.

Sosialisasi

Keempat, penyelenggara pilkada mesti melaksanakan sosialisasi yang ekual kepada masyarakat setempat. Menyuguhkan pilihan "setuju" atau "tidak setuju" kepada masyarakat adalah wajib hukumnya. Agar tidak membuat penyelenggara di tiap daerah takut salah, ketentuan mengenai ini idealnya juga termaktub dalam Peraturan KPU.

Terakhir,regulasi dalam aturan lama, yakni Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015, masih bernapaskan model pemilihan umum, bukan model referendum. Pengaturan bahan kampanye dan alat peraga kampanye, yang juga dibiayai negara, hanya untuk pasangan calon alias pilihan "setuju" saja.

Dalam kasus Tasikmalaya dan Timor Tengah Utara, sebelum pilkada pada 9 Desember 2015, terjadi demonstrasi masyarakat di kedua daerah tersebut yang menyuarakan kesetaraan hak dan pengakuan untuk pilihan "tidak setuju". Tidak hanya diakui, "pilihan tidak setuju" seharusnya juga dibiayai oleh negara.

Apa yang disuarakan kelompok masyarakat itu merupakan hal yang logis dan wajar karena pilkada calon tunggal sesungguhnya adalah manifestasi dari model referendum.

IKHSAN DARMAWAN, DOSEN DEPARTEMEN ILMU POLITIK UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Mengantisipasi Pilkada Calon Tunggal".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger