Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 03 September 2016

Sumbangan Ibu Rumah Tangga (SINTA F VERMONTE)

Tulisan ini mempersoalkan inkonsistensinya penghargaan sosial ekonomi kepada perempuan yang memilih karier sebagai ibu rumah tangga.

Terdapat paradoks, di satu pihak ibu rumah tangga (IRT) diagungkan, dianggap kunci keberhasilan keluarga; di pihak lain, peran itu tak direkognisi secara konkret dalam pembangunan, pun dalam analisis ekonomi. Survei Litbang Kompasmenjelang Hari Ibu 2015 menggarisbawahi gambaran itu. Sejumlah 1.640 pelajar menengah atas dari 12 kota besar menempatkan ibu sebagai tokoh penting bagi kehidupan mereka.

Sebanyak 47,1 persen menyebut ibu sebagai tempat curhat dibandingkan ayah, yang hanya mendapat 7,7 persen. Lebih dari 50 persen responden remaja memilih membangun komunikasi dengan ibu dibandingkan ayah (kurang dari 10 persen). Bahkan, mereka memilih kawan melalui ragam media sosial ketimbang ayah. Mereka juga tetap memilih ibu sebagai pahlawan (46,2 persen) meski mereka menyebut ayah kepala keluarga dan pencari nafkah (Litbang Kompas,2015).

Namun, hasil survei itu seperti tak terhubung dengan kajian politik ekonomi. Sejauh saya tahu, kajian politik ekonomi Indonesia jarang sekali menganalisis peran dan sumbangan IRT atau merekognisi dengan mengonversi sumbangan tenaga mereka dalam mengurus rumah tangga, anak, menunjang karier suami, dan mengelola komunitas sebagai sumbangan bagi pembangunan.

Bacaan saya mengantarkan pada jawaban klasik bahwa persoalan ini berpangkal dari pandangan biner soal peran publik- domestik. Pemisahan ini, dalam konteks masyarakat industri, melahirkan pembagian kerja jender yang tak setara. Pembagian kerja jender ini menempatkan perempuan dalam kerja reproduksi, seperti pengasuhan dan pemeliharaan keluarga yang diberi label ibu rumah tangga, sementara kerja produktif secara otomatis dihubungkan pada lelaki sebagai kepala keluarga, pencari nafkah utama. Meski kenyataan itu telah lama berubah dan bergeser, label peran dan status yang berangkat dari oposisi biner tersebut nyaris tak berubah.

Persoalannya, seluruh perhatian politik ekonomi tampaknya hanya meneropong aktivitas manusia di ruang publik dan untuk jenis pekerjaan berbayar. Sementara pekerjaan IRT yang secara normatif dituntut menghasilkan tatanan keluarga yang sehat, aman, dan nyaman, tak dibedah oleh pisau analisis ekonomi serupa itu. Sekat biner telah menempatkan IRT di posisi yang sulit diteropong oleh analisis ekonomi yang tersedia.

Adanya pembagian kerja jender juga melahirkan kesenjangan pada perempuan sebagai IRT. Menjadi IRT pada kenyataannya hanya menghasilkan penghargaan moral sosial atau keagamaan. Sumbangan mereka tak pernah dikalkulasi secara ekonomis. Bandingkan, misalnya, dengan kerja produktif yang bukan hanya dapat pengakuan, melainkan juga memiliki peluang mengembangkan diri dan membangun kapasitas. Ini karena peran dan kehadirannya direkognisi dalam politik ekonomi dan karena itu kebutuhan-kebutuhannya relatif lebih diperhatikan dan dipenuhi. Pembagian kerja jender bukan hanya melahirkan kesenjangan, melainkan tak ada peluang yang setara (equal opportunity).

Penghargaan untuk IRT

Lihat saja, banyak pasangan yang semula memasuki rumah tangga secara setara kelak memunculkan ketimpangan ketika salah satu memilih tinggal di rumah demi keluarga. Banyak pasangan yang sama-sama lulusan perguruan tinggi secara sadar melakukan pembagian kerja demisurvival mereka. Namun, pada akhirnya mereka menghadapi situasi yang menempatkan salah satu pihak menjadi subordinat dan stagnan. Suami dapat melanjutkan sekolah, mengembangkan karier, dan mencari nafkah, sementara istri menjadi IRT dan hilang dari radar analisis.

Ini karena oposisi biner juga bersifat diskriminatif. Ruang publik senantiasa menyediakan segala macam pilihan bagi mereka yang aktif di dalamnya untuk bekerja dan naik kelas. Sebaliknya, sekeras apa pun kerja IRT menjalankan "kariernya", sumbangan mereka tak direkognisi dan dinilai secara konkret.

Secara sosial, biasanya orang akan berharap bahwa reward akan mereka terima dari suami atau anak-anak. Namun, ini mengandaikan setiap pasangan mendapatkan penghargaan atas perannya itu dan negara ikut memastikan terjaminnya reward ini. Lalu bagaimana pula dengan IRT yang secarade facto menjadi orangtua tunggal atau suami tak bertanggung jawab? Sementara penghargaan lebih nyata dari negara atas peran dan sumbangsih mereka nyaris tak terdengar.

Sesungguhnya jika negara punya political will untuk menghitung sumbangan mereka, negara akan diuntungkan dengan bertambahnya nilai jumlah tenaga kerja. Misalnya dengan menghitung curahan waktu kerja IRT. Dan itu sangat dimungkinkan. Ketika suami saya mendapatkan pendidikan di Australia dan kemudian di Amerika, para ibu rumah tangga, bahkan untuk keluarga pendatang seperti kami, mendapatkan peluang untuk tumbuh kembang dalam fungsinya sebagai IRT.

Mereka direkognisi dan dipenuhi kebutuhannya sesuai perannya sebagai IRT. Mereka dimudahkan bekerja mencari nafkah baik paruh waktu atau penuh sambil tetap berstatus sebagai IRT. Seseorang yang memilih profesi sebagai IRT masih dapat mengembangkan diri karena negara mengakui keberadaan mereka. Berbagai fasilitas yang ramah pada kebutuhan IRT, seperti teknologi, industri makanan cepat saji yang sehat dan murah, serta sistem dukungan yang menimbang peran dan kebutuhan IRT, tersedia. Tempat penitipan anak yang dilindungi pengawasannya tersedia di mana-mana.

Negara juga menyediakan fasilitas antar jemput sekolah dan fasilitas bermain yang aman. Sementara itu, di setiap lingkungan ada perpustakaan yang referensinya selalu diperbarui dan ramah pada kondisi dan kebutuhan IRT, terutama yang membawa anak- anak. Meskipun hanya kerja sampingan, pendapatan IRT di kedua negara itu dapat mencukupi kebutuhan keluarga muda seperti kami. Ketika pasangannya tak ikut mencari nafkah karena harus menulis disertasi atau harus riset penuh waktu, mereka masih tetap terjamin kesejahteraannya dengan penghasilan yang diperoleh IRT. Ini juga karena model dan sistem pengupahan memungkinkan bagi IRT menjadi pekerja sesuai waktu yang mereka punyai yang menggabungkan antara pengurus rumah tangga dan pencari nafkah.

Di Indonesia, setelah kami pulang dan saya memilih menjadi IRT, saya kehilangan fasilitas serupa itu. Kemacetan di kota besar dan keterbatasan fasilitas bagi IRT untuk mengembangkan diri dengan biaya murah sulit diperoleh. Selain itu, sistem pengawasan bagi keselamatan anak-anak di ruang publik sangat buruk. Demikian halnya pengawasan pada produk makanan di luar rumah. Situasi itu mengharuskan IRT bekerja penuh waktu hanya untuk keluarga. Namun akibatnya, makin menempatkan IRT pada situasi yang tidak dikenali peran dan sumbangannya. Kini, mengingat jumlah IRT cukup besar, sudah saatnya negara memiliki kebijakan yang mengakui peran IRT. Dan itu harus berangkat dari kerangka teoretis yang mampu menghidung kehadiran dan sumbangan IRT bagi pembangunan.

SINTA F VERMONTE, IBU RUMAH TANGGA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Sumbangan Ibu Rumah Tangga".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger