Penegasan pemerintah untuk mengikuti amnesti pajak tidak serta-merta memudahkan golongan tertentu untuk memanfaatkan program ini. Meskipun setiap hari muncul artikel mengupas amnesti pajak dari berbagai opini, penulis berpendapat bahwa amnesti pajak kehilangan aspek hukum keperdataan dan hukum pertanahan. Kedua aspek tersebut seharusnya diakomodasi oleh UU Pengampunan Pajak karena sangat erat kaitan antara harta dan cara perolehannya.
Dalam hukum perdata diatur cara perolehan harta melalui pewarisan atau hibah. Jika harta tersebut berupa aset tanah dan bangunan, cara peralihan hak atas perolehan harta tersebut harus memenuhi aspek hukum pertanahan. Fakta di masyarakat, perolehan harta berupa tanah dan bangunan yang paling sering menimbulkan sengketa.
Memahami pewarisan dan hibah
Dalam berbagai seminar tentang amnesti pajak selalu muncul pertanyaan peserta tentang perlakuan harta warisan dan harta hibahan apakah menjadi harta tambahan obyek amnesti pajak. Pewarisan adalah suatu peristiwa hukum yang pasti dialami oleh setiap wajib pajak. Sementara hibah merupakan perbuatan hukum yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kriteria dalam pelaksanaannya. Pentingnya pengetahuan hukum keperdataan dan hukum pertanahan dalam UU Pengampunan Pajak adalah untuk mencegah kebingungan dan keraguan para ahli waris dan penerima hibah.
Dalam hukum waris, menurut Burgerlijk Wetboek, berlaku suatu asas bahwa "Apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya". Dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Artinya, jika seseorang meninggal dunia, semua hak dan kewajibannya beralih atau berpindah kepada ahli warisnya.
Sementara Pasal 833 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal. Artinya, pewarisan adalah suatu peristiwa hukum.
Hibah (schenking) dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diartikan sebagai "Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu".
Bukan obyek pajak
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (perubahan terakhir atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan) dalam Pasal 4 Ayat 3 telah tegas mengatur bahwa harta hibah yang diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan warisan tidak termasuk obyek pajak.
Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 11 Tahun 2016 seolahmenjawab keraguan masyarakat yang terungkap dalam opini-opini yang beredar secara viral di media sosial dan aplikasi pesan seluler sehingga menarik perhatian masyarakat dan memunculkan dugaan bahwa amnesti pajak telah salah sasaran.
Aturan tersebut menentukan syarat ahli waris dan penerima hibah dibebaskan dari uang tebusan jika ingin memanfaatkan amnesti pajak. Syarat pertama, mereka adalah ahli waris atau penerima hibah yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Syarat kedua bahwa obyek tersebut sudah pernah dilaporkan dalam SPT PPh Tahunan pewaris atau pemberi hibah.
Pasal 4 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (perubahan terakhir Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan) telah tegas mengatur bahwa harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan warisan tidak termasuk obyek pajak. Artinya,tidak ada pajak yang harus terutang untuk pewarisan dan hibah golongan tersebut.
Jika dikaitkan dengan amnesti pajak yang menghapuskan pajak terutang, seharusnya pengaturan mengenai waris dan hibah golongan tersebut tidak perlu menentukan syarat pembebasannya. Alasannya karena tidak ada pajak yang perlu dibebaskan sehubungan obyek tersebut bukan obyek pajak.
Jika peristiwa kematian pewaris terjadi belasan tahun yang lalu, tentunya sulit bagi ahli waris untuk mengetahui bahwa ia memiliki penghasilan di bawah PTKP yang berlaku pada saat peristiwa pewarisan tersebut terjadi. Selanjutnya, apabila pewaris tidak melaporkan obyek warisan ke dalam laporan pajak pewaris, tentunya bukan menjadi alasan menghilangkan hak ahli waris atas pewarisannya karena "mewarisi" kelalaian orangtuanya.
Demikian pula dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia, tidak dimungkinkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut mengalahkan UU. Mengingat banyak masyarakat yang ingin berpartisipasi memanfaatkan amnesti pajak dan petunjuk pelaksanaan serta petunjuk teknisnya masih terus menimbulkan keraguan, maka untuk mendukung keberhasilan program amnesti pajak yang sangat positif bagi pembangunan negeri ini, aturan mengenai waris dan hibah dalam amnesti pajak perlu ditinjau ulang.
ALBERT R ARUAN, NOTARIS DAN PPAT
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Waris dan Hibah dalam Amnesti Pajak".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar