Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 12 Oktober 2016

Cerita Fiksi dan Pendidikan Karakter (CONRAD WILLIAM WATSON)

Salah satu berita pendek dalam  rubrik "Kilas Iptek" di Kompas, Jumat (23/9), hampir luput dari pengamatan. Saya melihat ada nama Robin Dunbar di situ, guru besar antropologi-biologi di Universitas Oxford, Inggris, tokoh yang saya kagumi.

Selain reputasi sebagai antropolog, Dunbar terkenal di kalangan orang bisnis karena-berdasarkan penelitiannya mengenai dinamika pergaulan antara manusia dan teori Dunbar's number(angka Dunbar). Menurut teori Dunbar ini,  angka kunci adalah 150, jumlah maksimum untuk pergaulan efektif di antara manusia di mana pun di dunia yang ingin menjalin hubungan erat.

Sekilas, kita dapat mengerti mengapa penemuan ini sangat bermanfaat dalam pengelolaan organisasi apa pun. Sebab, dapat diramalkan kinerja organisasi bakal menurun apabila seandainya jumlah orang di dalam satu unit kerja melebihi 150 orang. Kalau melebihi 150 orang, semangat kepercayaan atau ikatan batin, menurut teori, akan makin longgar.

 Tampaknya Mark Zuckerberg amat terpengaruh oleh teori Dunbar ini sehingga ia mengubah penyusunan fisik perusahaan Facebook supaya sesuai teori. Bukan Zuckerberg saja, melainkan banyak perusahaan sudah menerapkan teori ini sebagaimana diceritakan Gillian Tett, redaktur di New York dari surat kabar  Inggris, Financial Times, dalam buku The Silo Effect (2015).

Maka, melihat nama Dunbar, saya baca artikel di Kompas dengan saksama. Ternyata kali ini Dunbar menguraikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa manusia dari zaman purba sampai sekarang sangat terpengaruh cerita fiksi. Memang kita semua tahu, dari dulu mitos dapat ditemui di peradaban mana pun di dunia, dan cerita epos memainkan peranan yang maha- penting dalam membentuk corak khas satu bangsa.

Tambah lagi, Aristoteles pernah menjelaskan mengenai teori  manfaatnya sastra bahwa penonton yang menyaksikan drama yang menyedihkan, tragedi seperti Oedipus Sang Raja, akan mengalami apa yang dia sebut katarsis; perasaan lega seakan jiwa kita telah dicuci dan menjadi bersih. Namun, banyak yang mencemoohkan Aristoteles karena tidak ada bukti nyata untuk membenarkan teorinya.

Sekarang, 2.500 tahun kemudian, sebagaimana dilaporkan, berkat penelitian Dunbar bukti itu ada, "menonton film atau drama fiksi dapat memicu pelepasan endorfin, senyawa kimia yang menimbulkan perasaan senang. dan meningkatkan ikatan dengan orang sekitar".

Kemudian Dunbar menjelaskan bagaimana dongeng dan cerita rakyat mewariskan kebajikan atau menanamkan nilai luhur yang lain, dan betapa penting proses ini untuk "kohesivitas sosial" (kerapatan anggota komunitas  ataupakumbuhan satu sama lain). Apabila kita merenungkan sebentar saja penemuan Dunbar ini, kita dapat menginsafi pentingnya kini usaha membentuk  karakter bangsa.

Dalam pembahasan mutakhir mengenai pendidikan karakter sudah banyak dijelaskan mengenai nilai karakter yang dikehendaki: religius, jujur, dan toleransi. Namun, sedikit sekali ide-ide bagaimana kita dapat mengarah ke satu sistem pendidikan yang akan berhasil menanam sifat-sifat ini dalam sanubari anak-anak kita sehingga menjadi sebagian dari darah dagingnya.

Sistem pengasuhan anak

Memang masalahnya sulit dan tak ada kunci mujarab yang dapat dipakai untuk mengatasinya. Walau bagaimanapun kita mengolah kurikulum, berusaha mengukur setakat mana nilai karakter sudah terwujud atau-paling konyol- berusaha menguji karakter bangsa, tetap kita menghadapi kesulitan.

Namun, teori baru Dunbar berdasarkan ilmu biologi menunjukkan benarnya apa yang dari dulu dikatakan orang humaniora: menghargai sastra asal diperkenalkan dengan baik kepada murid, dapat mengembangkan kepekaan kepada orang dan lingkungan sekitar.

 Dulu, di pulau-pulau di Indonesia orang cukup menyadari hal ini dan  hidupnya cerita rakyat di tengah masyarakat dapat ditemui dari Sabang hingga Merauke. Namun, sekarang cerita- cerita semacam ini digeser oleh teknologi modern. Begitu pula nasib cerita mengenai nabi-nabi dalam agama Islam dan Kristen, yang dulu sangat terkenal dan menjadi contoh teladan.

Sekarang cerita-cerita itu masih diajarkan di sekolah, tetapi cerita-cerita itu tidak hidup dan terasa kering. Murid hanya diminta menghafal cerita, bukan menyerap nilai-nilai luhur yang terkandung di situ. Sampai di rumah, cerita itu tidak diingat lagi karena tak diperkuat cerita serupa dari orangtua; cepat kalah oleh cerita yang mereka saksikan di televisi atau di games, di mana bukan kebajikan yang diutamakan, melainkan cara untuk menghancurkan lawan.

Melihat keadaan demikian, kita harus mengakui, menghidupkan kembali manfaatnya cerita dan sastra dalam rangka membentuk karakter di Indonesia merupakan uphill struggle, mendaki gunung tinggi. Namun, sudah ada tanda para ahli pendidikan mengerti apa yang perlu dikerjakan. Usaha mendorong orangtua untuk bercerita kepada anaknya menjelang tidur, misalnya, merupakan satu langkah yang sangat menjanjikan.

Namun, masih banyak yang patut dipikirkan. Bagaimana, umpamanya, guru-guru di sekolah di mata pelajaran apa pun dapat menggunakan kreativitas dan pengalaman sendiri untuk menanamkan kebajikan lewat cerita, tanpa memberi kesan berkhotbah. Bagaimana kelanjutan gerakan, yang pernah terdengar beberapa tahun silam, untuk memperkenalkan liberal artssebagai mata kuliah wajib di semua perguruan tinggi?

Dan, akhirnya, bagaimana dapat kita menyingkir dampak korosif dari televisi dan games, serta mengembalikan ke orangtua peluang untuk  mengasuh anak dengan semestinya lewat usaha bergaul, bertutur, dan bercerita kepada mereka?  

CONRAD WILLIAM  WATSON

PROFESSOR SCHOOL OF BUSINESS AND MANAGEMENT, ITB; PROFESOR (EMIRITUS) SCHOOL OF ANTHROPOLOGY AND CONSERVATION, UNIVERSITY OF KENT, UK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Cerita Fiksi dan Pendidikan Karakter".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger