Namun, optimisme itu tentu saja harus terukur sekaligus valid agar tidak semakin menempatkan rakyat ke dalam jurang kekecewaaan yang lebih menyesakkan. Dalam rangka mengukur dan menvalidasi optimisme masyarakat serta menyukseskan program reformasi hukum (PRH) Jokowi tersebut, tulisan ini hendak memberikan beberapa catatan yang kiranya jadi masukan agar gelaran PRH Jokowi sukses merealitas, mencapai target yang diharapkan.
Isu laten
Isu reformasi hukum sesungguhnya bukan kausa baru di Indonesia. Reformasi hukum merupakan isu laten yang dicanangkan oleh hampir semua presiden Indonesia di era reformasi. Namun, sampai hari ini, isu reformasi hukum masih sebatas jargon politik alias program gagal tindak. PRH tidak merealitas dalam kehidupan masyarakat dan praktik bernegara.
Berdasarkan pengalaman demikian, masyarakat pantas memiliki reserveyang meragukan efektivitas PRH Jokowi yang akan digelar. Semoga Presiden Jokowi menangkap keraguan sekaligus keresahan masyarakat tersebut seraya menjadikannya sebagai tantangan dalam mengusung PRH yang berkualitas, efektif, serta-tentu saja-benar- benar merealitas.
Sebelum Jokowi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya telah mencanangkan PRH. Ada macam-macam kebijakan ataupun aturan hukum yang dinisbahkan Yudhoyono, seperti pembentukan satuan tugas pemberantasan mafia hukum, atau percepatan pemberantasan tindak kKorupsi dengan menerbitkan Instruksi Presiden No 5/2004.
Inpres No 5/2004 diterbitkan Yudhoyono di awal masa jabatan yang pertama sebagai presiden. Namun, apa hasilnya? Selama 10 tahun pemerintahan Yudhoyono, praktik korupsi bukannya berkurang, malah makin merajalela, bahkan pelaku korupsi adalah orang-orang yang ada di lingkaran dekat Yudhoyono sendiri.
Akhirnya, di depan sidang DPR pada 15 Agustus 2014, Yudhoyono mengakui kegagalan itu dengan mengatakan: "Reformasi hukum merupakan tantangan terberat yang dihadapinya." Ia mengakui telah gagal merealitaskan program reformasi hukum selama masa jabatannya.
Jauh sebelum Yudhoyono, Presiden BJ Habibie telah mencanangkan PRH dengan membentuk Tim Nasional Menuju Masyarakat Madani melalui Keppres No 198/1998. Namun, tim itu tidak mampu bekerja efektif oleh karena pemerintahan Habibie tidak berumur panjang.
Untuk mengusung PRH yang sukses merealitas, Jokowi perlu mencermati beberapa hal yang merupakan kosmologi hukum. Secara esensial, Presiden Jokowi perlu membedakan bahwa PRH tidak dapat disandingkan dengan paket kebijakan ekonomi yang cukup sukses dilaksanakan dengan menerbitkan beberapa kebijakan ekonomi baru.
Esensi perbedaan antara kebijakan ekonomi dan PRH mencakup aspek kosmologi dan konstitusi. Pada level kosmologi, obyek paket kebijakan ekonomi cenderung berupa benda yang bersifat tangible, kalkulatif, dan prediktif. Adapun obyek PRH cenderung berupa perilaku manusia yang bersifat absurd, amorf, bahkan manipulatif.
Sementara dari aspek konstitusi, kebijakan ekonomi memang sepenuhnya berada dalam lingkungan kekuasaan eksekutif, sedangkan PRH bersifat lintas cabang kekuasaan yang mencakup kekuasaan legislatif dan kehakiman, bahkan titik tekannya ada pada kekuasaan kehakiman (yudisial) yang justru berada di luar kekuasaan eksekutif Presiden. Kedua aspek tersebut sangat perlu dipahami Presiden Jokowi agar tak terjebak ketika menerbitkan PRH yang mubazir dan sia-sia.
Tak terpasung idiom hukum usang
Upaya Presiden Jokowi menelurkan PRH yang efektif dan merealitas seyogianya tidak (lagi) terpasung idiom hukum usang yang umumnya disodorkan pemegang jabatan, yang cuma berkutat pada teori klasik tentang substansi hukum, infrastruktur hukum, dan budaya hukum. PRH yang dicanangkan Jokowi seyogianya mencari formula pemutus rantai persoalan hukum Indonesia yang silang sengkarut. Praktik itu sudah dilakukan Indonesia dalam upaya memberantas korupsi yang selama ini stagnan, dengan terobosan mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat independen dan diberi wewenang lebih.
Agar PRH yang akan diluncurkan Presiden Jokowi efektif dan merealitas, sangat mungkin apabila bobot PRH melebihi bobot KPK yang bersifat parsial dan sektoral. Sebab, PRH mencakup aspek kosmologi, paradigmatik, dan melintas cabang kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, Presiden Jokowi perlu melakukan kajian sungguh-sungguh sebagai landasan kosmologi dan konstitusi PRH.
Ada tiga aspek PRH yang perlu dicermati Presiden Jokowi. Pertama, aspek leveling, pelevelan. PRH yang efektif dan merealitas pasti melintasi kekuasaan eksekutif, oleh karena itu Presiden harus berkonsolidasi dan berkoordinasi dengan pemegang kekuasaan legislatif dan yudisial.
Kedua, aspek pengaturan. PRH yang efektif dan merealitas hanya dapat terwujud apabila diatur secara kuat, tegas, dan komprehensif; yang tidak didasarkan pada kompromi politik. Dalam konteks ini, PRH tidak kompatibel diatur dalam perpres atau keppres, seperti yang sudah pernah dilakukan.
Ketiga, aspek pelaksana. PRH tidak kompatibel dilaksanakan lembaga permanen pemerintahan yang ada. Sebab, PRH akan mengganggu wewenang dan kepentingan kelembagaan yang sudah established. PRH harus dilaksanakan personalia yang memiliki kompetensi, kreativitas, dan integritas yang mumpuni yang seyogyanya bersifatad hoc. PRH akan gagal apabila dilaksanakan oleh personalia yang sudah terjerat dalam kosmologi bossy yang birokratis.
Semoga Presiden Jokowi sukses menelurkan PRH yang efektif dan merealitas, sebagai solusi atas kegundahan rakyat yang tertindas karena diperlakukan tidak adil oleh birokrasi hukum yang bengis, kejam, dan menindas.
BAHRUL ILMI YAKUP
KETUA ASOSIASI ADVOKAT KONSTITUSI, ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM BUMN; KANDIDAT DOKTOR ILMU HUKUM FH UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Merealisasikan Gagasan Reformasi Hukum Presiden Jokowi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar