Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 11 Oktober 2016

Pilkada DKI//Tanggapan Ditjen Pajak (Surat Pembaca Kompas)

Pilkada DKI

Warga DKI dengan segala bentuk kebinekaannya adalah barometer kehidupan politik di Tanah Air. Karena itu, menarik sekali mengikuti persiapan dan persaingan menuju pemilihan Gubernur DKI Jakarta, 15 Februari 2017.

Cara partai politik memunculkan tiga pasang calon pada saat-saat terakhir menunjukkan beratnya persaingan untuk memenangi Pilgub 2017. Bahwa ketiganya akan menghadapi ujian sesungguhnya di TPS adalah keniscayaan. Namun, sejatinya parpol yang baik dan sukses pendidikan politiknya adalah yang mampu menyediakan dan mendorong kadernya sebagai calon utama pada setiap pemilu. "Membajak" kader boleh-boleh saja, tetapi militansi kader parpol yang utama.

Dalam pilkada mendatang, ada potensi konflik terbuka antarmassa mengambang. Saya yakin mesin intelijen telah memitigasi ancaman-tantangan-hambatan-gangguan yang berpotensi timbul pada masa kampanye nanti. Namun, dengan pertimbangan sebagian besar warga DKI telah "melek TI", saya mengusulkan kepada KPU agar rangkaian kampanye di lapangan terbuka ditiadakan.

Para calon bisa menyosialisasikan program, visi, dan misi melalui debat, rapat politik di tempat terbatas, dan kampanye terbuka di media massa. Kampanye menggunakan TI akan meraup pemirsa yang lebih luas dan menghindari risiko gesekan. Menciptakan Pilkada DKI yang berkualitas, aman, dan lancar merupakan tanggung jawab bersama.

Rakyat yang akan memilih pemimpinnya, sesuai ungkapan vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Maka, mereka yang berniat menodai dan merusak kesucian pesan itu pasti akan mendapatkan karmanya.

SAHAT SITORUS

Pondok Bambu, Jakarta Timur

Tanggapan Ditjen Pajak

Menanggapi surat pembaca di Kompas(16/9) berjudul "Jangan Takuti Wajib Pajak" yang ditulis Saudara Hasiholan Siagian, kami sampaikan hal-hal berikut.

Dalam setiap penyusunan atau penyempurnaan aturan perpajakan, pemerintah berpegang pada prinsip perpajakan yang universal: keadilan, kemudahan, efisiensi administrasi, dan optimalisasi penerimaan negara.

Salah satu asas dalam pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) adalah kemampuan untuk membayar. PPh dikenai atas penghasilan seseorang yang telah melampaui batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Karena pengenaan PPh bagi orang pribadi menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, maka besarnya PTKP untuk setiap wajib pajak mengikuti keadaan keluarganya. Besarnya PTKP orang berstatus lajang tidak sama dengan PTKP bagi wajib pajak kawin dengan sejumlah tanggungan. Besarnya PTKP 2016 ditetapkan Rp 54 juta untuk diri wajib pajak, dengan tambahan Rp 4,5 juta apabila berstatus kawin dan tambahan lagi Rp 4,5 juta untuk setiap anggota keluarga yang jadi tanggungan, paling banyak tiga orang.

Jika penghasilan istri digabungkan untuk menghitung pajak terutang, ada tambahan PTKP lagi Rp 54 juta. Jadi, dasarnya PTKP setahun untuk wajib pajak orang pribadi besarnya minimal Rp 54 juta sampai Rp 126 juta untuk wajib pajak dengan penggabungan penghasilan suami-istri dan tiga tanggungan.

Pemerintah dapat mengenakan pajak yang bersifat final dengan tarif tertentu. Salah satunya adalah penerbitan PP Nomor 46 Tahun 2013, di mana atas penghasilan dari usaha yang diperoleh wajib pajak dengan omzet tidak lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun dikenai PPh final 1 persen dihitung dari omzet per bulan. Batasan omzet itu dengan pertimbangan bahwa usaha wajib pajak beromzet di atas Rp 4,8 miliar setahun mampu menyelenggarakan administrasi pembukuan. Ketentuan ini mengurangi beban administrasi wajib pajak karena penghitungannya sederhana.

Pada program amnesti pajak, pemerintah mendorong partisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin memanfaatkan fasilitas amnesti pajak. Program ini sifatnya tidak wajib.

Kebijakan amnesti pajak adalah bentuk pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang tahun-tahun lalu. Setelah berakhirnya program diharapkan partisipasi masyarakat dalam membayar pajak terdistribusi merata.

Tujuan program adalah mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, mendorong reformasi perpajakan menuju perpajakan yang lebih berkeadilan, serta meningkatkan penerimaan pajak untuk pembangunan.

HESTU YOGA SAKSAMA

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak

Kementerian Keuangan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger