Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 11 Oktober 2016

Harga Gas Turun (MARWAN BATUBARA)

Presiden Joko Widodo meminta agar harga gas untuk industri dapat diturunkan hingga 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) dari saat ini 9-10 dollar AS/MMBTU. Permintaan itu disampaikan Presiden kepada sejumlah menteri pada Rapat Kabinet Terbatas, 4 Oktober 2016.

Harga final gas itu akan ditetapkan pada akhir November 2016 dan mulai berlaku Januari 2017. Sebelumnya, 7 Oktober 2015, pemerintah mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi III yang antara lain berisi rencana penurunan harga gas menjadi 7 dollar AS/MMBTU pada 1 Januari 2016. Namun, hingga sekarang, rencana itu belum terwujud.

Tentu saja pengarahan Presiden itu kita sambut baik mengingat akan banyak manfaat yang akan diperoleh, seperti keuntungan ekonomi yang menurut Kementerian Perindustrian mencapai Rp 31 triliun per tahun dan meningkatnya PDB sektor industri sebesar 2 persen dari 20,48 persen saat ini. Sementara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyatakan turunnya harga gas akan membuat pertumbuhan ekonomi 2017 mencapai 7 persen. Namun, sebelum harga baru gas ditetapkan, diperlukan kajian dan perbaikan yang obyektif dan komprehensif, baik pada internal sektor industri sebagai konsumen gas maupun di internal industri migas sendiri sebagai penyedia gas.

Perlu hati-hati dan selektif

Presiden Jokowi mengatakan harga gas 9,5 dollar AS/MMBTU di Indonesia itu tertinggi di ASEAN. Disebutkan, di Singapura dan Malaysia harga gas 4 dollar AS/ MMBTU dan di Vietnam 7 dollar AS/ MMBTU. Padahal, harga gas 4 dollar AS/ MMBTU di Singapura merupakan harga landed price. Jika ditambah biaya transmisi, distribusi, dan komponen lain, harga gas di konsumen mencapai 13-17 dollar AS/ MMBTU (citigas.com.sg). Sementara di Malaysia, harga gas murah karena adanya subsidi pemerintah yang mencapai 10,5 miliar ringgit atau Rp 33 triliun (2014) dan sejak 1997 terakumulasi mencapai 230 miliar ringgit (Rp 718 triliun). Ternyata basis perbandingan harga di atas tidak akurat dan faktor subsidi pemerintah pun berperan, di mana Pemerintah RI absen. Karena itu, sebelum memutuskan, pemerintah perlu hati-hati menggunakan data dan motif di balik data yang ditampilkan.

Penurunan harga gas bagi sektor internal industri, baik sebagai bahan bakar maupun sebagai bahan baku, tentu akan bermanfaat bagi konsumen produk-produk industri ataupun daya saing nasional. Namun, dari 10 sektor industri yang diusulkan penurunan harga gasnya oleh Kemenperin,  pemerintah tetap perlu selektif, tergantung kontribusi gas terhadap total biaya produksi. Misalnya kontribusi gas pada industri petrokimia, pupuk, dan baja masing-masing sekitar 70 persen, 70 persen, dan 50 persen total biaya produksi. Adapun terhadap tujuh jenis industri lainnya, gas sebagai energi hanya berkontribusi 10-20 persen total biaya produksi. Karena itu, harga gas pada tiap jenis industri tak tepat diseragamkan.

Sejalan dengan itu, upaya peningkatan daya saing tak tepat jika hanya difokuskan pada penurunan harga gas. Faktanya, sejumlah kajian menemukan, produktivitas SDM nasional  hanya 30 persen produktivitas SDM Tiongkok. Indonesia juga punya masalah dalam hal biaya logistik yang tinggi, mencapai 27 persen dari PDB. Selain itu, masalah birokrasi dan perizinan merupakan faktor-faktor produksi lain yang membuat produk industri nasional menjadi lebih mahal. Karena itu, perbaikan sektor industri mestinya tak hanya terbatas pada tuntutan harga gas murah, tetapi secara proporsional perlu pula meningkatkan produktivitas SDM, efisiensi sistem logistik, serta reformasi sistem birokrasi dan perizinan.

Terkait peran pasokan listrik, sektor industri perlu pula memperoleh jaminan harga listrik yang rendah. Hal ini akan dapat diperoleh jika harga gas sebagai energi primer bagi pembangkit listrik PLN juga rendah. Oleh sebab itu, selain menurunkan gas sektor industri, sudah sepantasnya jika pemerintah menurunkan gas bagi PLN.  Pada 2015, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLTG yang menggunakan gas sekitar Rp 3.306 per kWh, sedangkan produksi listrik PLTG 2015 sekitar 51.358,66 GWh (29,10 persen). Maka, turunnya harga gas akan sangat berperan menurunkan tarif listrik.

Pada internal sektor migas, secara praktis, harga gas bumi ditentukan oleh komponen harga pada tiga mata rantai bisnis gas, yaitu sisi hulu (lapangan gas), sisi tengah (midstream, transportasi), dan sisi hilir (distribusi dan niaga). Formulasi harga gas perlu ditetapkan secara komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kelayakan dan keberlanjutan bisnis pada semua sisi. Harga gas harus menarik bagi investor untuk berinvestasi di sisi hulu, mendukung pembangunan infrastruktur transmisi, termasuk penerima LNG dimidstream, serta insentif untuk pipa distribusi dan pengembangan jumlah konsumen di hilir.

Secara rerata, porsi sisi hulu, midstreamdan hilir terhadap harga akhir gas masing- masing 60 persen, 22 persen, dan 18 persen. Karena itu, penurunan harga di sisi hulu cukup dominan dalam penurunan harga gas. Harga gas bergantung pada kesepakatan awal pemerintah dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) saat lapangan akan dikembangkan. Harga disusun berdasarkan keekonomian lapangan dan hasil negosiasi bisnis. Harga gas hulu dapat dibuat rendah. Namun, ini berdampak pada turunnya minat kontraktor berinvestasi. Hal ini tak sejalan dengan skema insentif yang baru terbit Oktober 2016 dalam revisi PP No 79/2010.

 Cara lain adalah dengan menurunkangovernment take atau bagian negara sehingga minat investor tetap terjaga. Untuk itu, pemerintah harus siap untuk mengurangi PNBP migas secara signifikan. Saat ini, harga rata-rata gas di sisi hulu 5,9 dollar AS/MMBTU. Penurunan harga gas 1 dollar AS/MMBTU akan berdampak ada pengurangan PNBP gas Rp 7 triliun-Rp 18 triliun. Dalam hal ini, pada kondisi defisit APBN yang terus meningkat, pemerintah harus siap mengurangi PNBP gas sekitar Rp 14 triliun-Rp 36 triliun agar harga gas di hulu turun menjadi 4 dollar AS/MMBTU.

Pada sisi midstream, harga gas ditentukan oleh toll fee pipa transmisi yang antara lain bergantung pada biaya investasi, tingkat pengembalian investasi (IRR), tingkat pengisian gas, periode depresiasi, tingkat inflasi, dan prospek pengembangan permintaan. Depresiasi infrastruktur dihitung berdasarkan kontrak jual-beli gas yang jangka waktunya relatif singkat, mengikuti kurva produksi lapangan gas, tidak sesuai dengan umur infrastruktur. Agar toll feeturun, pemerintah perlu meminta badan usaha memperpanjang depresiasi sesuai umur pipa.  Selain itu, pemerintah perlu menanggung sebagian dari biaya depresiasi dan juga biaya pembangunan pipa mengingat status pipa seharusnya merupakan infrastruktur publik.

Di hilir, harga gas dapat turun jika trader-broker yang tak berfasilitas dihapuskan. Diharapkan pada 2017 para trader gas sudah dihapuskan atau dialihkan fungsinya menjadi partner BUMN/BUMD.

 Selain menghapus broker, pemerintah pun harus mengatur margin badan usaha dan menggunakan otoritas sebagai penentu harga gas. Faktanya sejak putusan Mahkamah Konstitusi (2004) atas judicial review UU Migas No 22/2001 (berisi penolakan harga gas sesuai mekanisme pasar) melalui Peraturan Menteri ESDM No 19/2009, hingga saat ini peran penetapan harga gas tak sepenuhnya mampu dijalankan pemerintah. Tampaknya pemerintah tak berdaya menghadapi broker dan kalangan liberalis. Dengan terbitnya Perpres No 40/2016, Peraturan Menteri ESDM No 6/2016 dan Peraturan Menteri ESDM No 16/2016, peran penentu harga itu coba direbut kembali oleh pemerintahan Jokowi. Hasilnya mungkin akan terlihat pada Januari 2017.

Akibat liberalisasi sektor migas

Uraian di atas memperlihatkan, target penurunan harga gas 6 dollar AS/MMBTU dapat dicapai jika perubahan harga dilakukan di sektor hulu, tengah, dan hilir rantai bisnis gas. Namun, karena harga di hulu berkontribusi sekitar 60 persen terhadap harga akhir gas, dan subsidi harga merupakan hal yang lumrah dilakukan banyak negara, maka kesediaan pemerintah untuk mengurangigovernment take dan memberi subsidi merupakan faktor menentukan guna mencapai target tersebut. Malah pemerintah dituntut untuk siap menanggung  sebagian biaya depresiasi pipa di sisi midsteram. Selain itu, mata rantai bisnis gas harus bebas dari broker. PGN dan Pertagas secara sinergis perlu diberi hak monopoli alamiah, sedangkan usaha swasta perlu dikendalikan melalui kerja sama dengan BUMN dan BUMD.

Liberalisasi sektor migas dalam UU No 22/2001 telah menempatkan BUMN dalam posisi bisnis yang semakin terdesak karena sebagian peluangnya di wilayah- wilayah padat konsumen diambil swasta. Hal ini mengurangi terjadinya subsidi silang antarwilayah sehingga pembangunan infrastruktur di daerah-daerah menjadi terkendala atau terhenti. Karena itu, tidak tepat jika Menko Kemaritiman Luhut B Pandjaitan mengatakan akan memberi kesempatan kepada swasta membangun pipa di wilayah-wilayah padat konsumen, sedangkan yang minim konsumen dibangun oleh BUMN. Untuk itu, pemerintah mestinya segera menetapkan terjadinya monopoli alamiah melalui sinergi/holding BUMN, dimulai dengan skema open-access terbatas hanya antar-BUMN.

Monopoli alamiah di tangan BUMN adalah langkah yang harus diambil karena sesuai amanat konstitusi. Langkah tersebut terbukti menjadi pilihan terbaik dan awalnya diadopsi di seluruh dunia dalam penyediaan pelayanan public utilities, terutama saat negara dalam tahap pengembangan infrastruktur (Indonesia saat ini hanya 20 persen pipa yang terbangun dari 100 persen kebutuhan) yang butuh subsidi silang antarwilayah dan antar-golongan konsumen. Namun, meskipun BUMN memegang hak monopoli, penetapan harga gas harus tetap di tangan pemerintah (ESDM). Akhirnya, kita berharap semoga permintaan Presiden Jokowi agar harga gas industri turun menjadi 6 dollar AS/ MMBTU dapat terlaksana pada Januari 2017.

MARWAN BATUBARA INDONESIAN RESOURCES STUDIES, IRESS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Harga Gas Turun".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger