Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 Oktober 2016

Orang Kuat yang Mengerikan (R WILLIAM LIDDLE)

Reaksi langsung Donald Trump, calon presiden dari Partai Republik, terhadap penangkapan Ahmad Khan Rahami, tersangka dalam kasus peledakan bom baru-baru ini di New York dan New Jersey, adalah cemoohan pada institusi negara hukum di AS.

"Celakanya," kata Trump setelah tahu bahwa Rahami terluka saat ditangkap, "orang itu akan dirawat dokter-dokter terbaik di dunia. Kepadanya akan disajikan kamar rumah sakit yang paling modern. Lagi pula, pembela hukumnya tentu yang terbaik. Kasusnya pasti tak terselesaikan selama beberapa tahun dan hukuman akhirnya lebih ringan dari yang semestinya. Sayang, semua ini tidak seperti dulu."

Keluhan Trump mengejutkan banyak pengamat, yang mengingatkan orang awam bahwa baru tahun lalu Dzhokhar Tsarnaev, pelaku pengeboman Boston Marathon, dihukum mati oleh pengadilan federal, terdiri atas juri warga, di Boston. Lebih pokok, menurut Konstitusi kami, Rahami berhak mendapat perawatan dan perwakilan di pengadilan selaku warga negara Amerika.

Lebih aneh lagi, Trump menganjurkan supaya "semua cara sesuai dengan hukum dipakai untuk mendapatkan informasi" dari Rahami sebagai foreign combatant, petempur asing, status yang tidak dimiliki Rahami.

Ditanya tentang peningkatan jumlah pembunuhan di Chicago baru-baru ini, Trump menganjurkan supaya polisi kota itu mengadopsi program stop and frisk, hentikan dan geledah, orang yang dicurigai tanpa bukti nyata. Program itu, menurut pendukungnya, berhasil mengurangi tingkat kejahatan di New York pada awal abad ini. Pada 2013, hakim federal memutuskan bahwa praktik itu melanggar hak konstitusional minoritas, terutama Amerika-Afrika dan Hispanik. Namun, Trump berkilah bahwastop and frisk justru akan mengurangi kekerasan pada masyarakat hitam.

Remehkan kebebasan pers

Semenjak awal kampanyenya tahun lalu, Trump juga membuktikan berkali-kali bahwa ia tidak menghormati kebebasan pers, yang dijamin Amendemen Pertama pada Konstitusi kami. Sejumlah media dilarang selama beberapa bulan menghadiri pidato dan rapat umumnya. Lagi pula, Trump sering mengancam menggugat media yang memuat artikel negatif. Pada Februari lalu, ia berjanji bahwa kalau berhasil menjadi presiden, "Kita akan membuka undang-undang fitnah itu. Jadi, kalau kami dipukul oleh artikel The New York Times yang mencemarkan nama baik kami, kami bisa menggugat dan mendapat uang."

Dengan pandangan-pandangan seperti itu, seharusnya Trump sudah lama tak laku sebagai calon presiden di negara maju seperti Amerika. Ia jelas ingin menjadi orang kuat yang berkuasa tanpa banyak halangan dari cabang-cabang legislatif dan yudikatif. Namun, setelah pertengahan Agustus, menurut kebanyakan survei, jumlah pendukungnya terus naik hingga akhir September, menjelang debat presidensial pertama dengan Hillary Clinton, calon presiden dari Partai Demokrat. Pada waktu itu persentase pemilih keduanya praktis seimbang.

Untungnya, Clinton dinilai umum memenangi debat pertama dan kedua, 26 September dan 9 Oktober. Setelah itu, dukungan kepadanya terus naik, baik menasional maupun di nega- ra-negara bagian kunci. Namun, Trump masih punya kans realistis memenangi pemilihan presidensial pada awal November mendatang. Debat ketiga dan terakhir akan diadakan pada 19 Oktober.

Apa yang mendorong kenaikan popularitas Trump? Menurut Jim Papa, mantan asisten buat hal ihwal legislatif di Gedung Putih, "Kita masih berada di negara yang memilih Barack Obama pada 2008 dan kita mampu mengulangi atau melebihi kemenangan itu. Namun, kita juga mampu membuat pilihan yang buruk dan dirayu oleh orang yang memanipulasi ketakutan, kegelisahan, dan perbedaan-perbedaan rasial kita."

Analisis itu kedengaran partisan, yaitu berpihak pada Partai Demokrat, tetapi diperkuat data kuantitatif bermutu. Menurut sebuah survei canggih yang diadakan pada Juni lalu oleh laman tepercaya fivethirtyeight.com, laki-laki putih yang kurang terdidik, 65 tahun ke atas, tinggal di desa di daerah Selatan, serta sering ke gereja cenderung memilih Trump. Saya teringat pada penemuan Saiful Mujani dan saya pada awal reformasi tentang para pemilih islamis di Indonesia.

"Meski para pemimpin islamis merupakan warga kota teralienasi, pendukungnya pada umumnya terdiri atas orang desa yang meyakini suatu pengertian khas tentang hubungan agama dan masyarakat yang kami namakan 'Desanya Tuhan'," (Journal of Democracy, 2004).

Tentu analisis yang lengkap harus juga memperhitungkan berbagai sifat dan perilaku negatif Clinton sendiri. Sejak awal masa presiden suaminya, Bill Clinton, sampai kini, Hillary terkenal menjauhkan diri dari pers. Tatkala menjabat selaku Menteri Luar Negeri, 2009-2013, dia tidak menggunakan server surel yang disediakan pemerintah, yang banyak mengundang kecaman. Heboh terakhir, dia meletakkan separuh dari pendukung Trump di sebuah basket of deplorables, keranjang orang-orang tersesalkan.

Akhirulkata, satu hal harus kita pegang teguh. Betapa seriusnya kekurangan dan kesalahannya, Hillary Clinton terbukti mampu menjadi Presiden AS. Sebaliknya, Donald Trump, mengutip tajuk The Washington Post, "merupakan suatu ancaman unik terhadap demokrasi Amerika".

R WILLIAM LIDDLE

Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State University, Columbus Ohio, AS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Orang Kuat yang Mengerikan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger