Selain korban kehilangan nyawa, korban lain mengalami cacat fisik, trauma, dan rugi materi. Keberhasilan dalam mengungkap kasus/aksi dan jaringan terorisme tidak serta-merta menghilangkan ancaman terorisme dari Indonesia.
Dari data mengenai terorisme di Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan 2015, diketahui bahwa beragam faktor melatarbelakangi lahirnya terorisme. Aksinya sulit diprediksi secara tepat; baik bentuk, waktu, maupun tempatnya.
Aksi terorisme tidak lagi dalam bentuknya yang konvensional. Zaman berubah. Motif, pola, dan cara perekrutan teroris menjadi lebih canggih.
Di Indonesia, masuknya seseorang ke jaringan teroris tidak pandang umur, status sosial, tingkat ekonomi, dan jenjang pendidikan. Informasi mengenai terorisme dengan mudah dapat diunggah dan diunduh dari jejaring media sosial hanya dengan salin-tempel dan sebar gagasan melalui Blog, Facebook, Twitter, WA, BBM, dan aplikasi semacamnya. Individu ataupun komunitas dapat dipengaruhi. Semua itu dapat diperoleh dengan mudah oleh setiap orang, dari golongan belia remaja sampai angkatanlaruik sanjo, yang berpendidikan rendah sampai berpendidikan tinggi, dari yang rudin sampai yang berada. Asalkan mereka mendapat akses ke internet.
Pelaku teror berusia 18 tahun di Gereja Katolik, Medan, pada 28 Agustus 2016 lalu itu merakit bom dan melakukan aksinya terinspirasi aksi teror di Perancis.
Begitu pula dengan bom Thamrin yang terjadi pada Januari 2016. Aksi itu menginspirasi empat tersangka yang ditangkap di Surabaya pada Juni 2016 karena merencanakan aksi bom di beberapa tempat di Surabaya serupa dengan aksi bom Thamrin.
Peran keluarga
Kemudahan mengakses informasi terkait aksi terorisme dari internet membuat peran keluarga dalam pembinaan anggotanya menjadi penting. Orangtua dalam keluarga memiliki tanggung jawab lebih besar dalam mendidik, memantau, mengarahkan anak-anaknya terhadap akses informasi, baik melalui media sosial, internet, maupun komunitas lingkungannya. Kurangnya perhatian terhadap anggota keluarga dalam konteks ini memperlebar ruang yang nyaman bagi mereka terjerat ke dalam jaringan terorisme.
Sedekat-dekatnya seseorang dengan orang lain, keluarga sendirilah yang lebih dekat. Oleh karena itu, penanggulangan terorisme harus dimulai dari keluarga. Pembinaan di tingkat keluarga akan mempersempit ruang dan mengikis sumber daya teroris. Keluarga sebagai unit terkecil dalam sebuah masyarakat dapat menjadi benteng memilah arus informasi yang diterima melalui tradisi dan cara khas yang dimiliki tiap keluarga.
Setiap warga harus tanggap dan segera melapor jika menemukan indikasi atau kejadian yang dapat mengarah pada tindakan terorisme. Dengan demikian, kita dapat mempersempit ruang gerak berbagai paham radikal terorisme.
Selain keluarga korban dari aksi teror, keluarga pelaku terorisme juga perlu mendapat perhatian. Mereka perlu diarahkan, dirawat, dan diperlakukan dengan baik. Jangan sampai mereka dimarjinalkan sebab pemarjinalan dapat membuat mereka menjadi sel-sel atau jaringan baru terorisme.
Pembinaan keluarga pelaku terorisme dilakukan dengan kerja sama masyarakat lingkungannya dan lintas instansi pemerintah. Pembinaan tersebut melalui berbagai pendekatan: agama, ekonomi, pendidikan, ataupun sosial budaya. Misalnya dengan memberi pelatihan keterampilan yang dapat menopang ekonomi keluarga, membangun sebuah pesantren yang menampung anak-anak para teroris dengan memberi pemahaman yang benar sehingga mereka tidak mengikuti kesalahan orangtua mereka yang telah menjadi teroris.
Mari memperkuat keluarga sebagai benteng pertahanan nilai luhur dan menolak segala bentuk kekerasan yang dapat merusak tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara Indonesia.
SUHARDI ALIUS
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme RI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Peran KeluargaMencegah Terorisme".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar