Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 17 Oktober 2016

Perikanan Inklusif (LUKY ADRIANTO)

Akhir-akhir ini, dunia tata kelola perikanan nasional mencapai titik kulminasi tertinggi, khususnya dalam perspektif ekologi-ekonomi, setelah terjadi diskursus yang cenderung kurang sehat antara pemangku kepentingan perikanan, baik dalam perspektif pemerintah maupun pelaku usaha, dan masyarakat sipil.

Diskursus ekologi yang disebut membaik ditantang oleh diskursus ekonomi yang memburuk dengan masing-masing membawa informasi yang afirmatif dan terkadang artifisial. Hal ini mengarah pada perdebatan yang tidak produktif dan bisa tidak berujung. Adalah sebuah paradoks ketika "pemogokan" industri perikanan terjadi pada saat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Industri Perikanan belum lama dikeluarkan dan justru memerlukan banyak energi untuk mengimplementasikannya.

Situasi diskursus perikanan seperti ini, menurut saya, seperti kasus orang yang (tidak) buta mendefinisikan gajah (baca: tata kelola perikanan) dalam perspektif ekor atau belalai. Orang yang memegang ekor mendefinisikan gajah seperti ekor dan sebaliknya untuk belalai. Perlu kejujuran dan kearifan untuk mendefinisikan gajah (baca: tata kelola perikanan) secara lebih inklusif sehinggapassion dan semangat merestorasi tata kelola perikanan menjadi milik seluruh pemangku kepentingan, bukan kepentingan dan pemahaman satu pihak saja.

Inklusivitas perikanan

Mengapa perlu perikanan inklusif? Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, perikanan adalah sebuah sistem yang kompleks. Ray Hilborn, salah satu pakar perikanan dunia, pernah mengatakan bahwa membuat roket itu adalah hal yang tidak terlalu sulit sehingga Amerika Serikat berhasil mengirim manusia ke bulan hanya dalam waktu sepuluh tahun, tetapi mencapai perikanan yang berkelanjutan secara ekologis dan ekonomis adalah tidak mudah dan terkadang bersifat sulit dipahami (elusive).

Menurut Charles (2001), sistem perikanan terdiri dari tiga dimensi, yaitu dimensi alamiah, dimensi manusia, dan dimensi manajemen. Ketiga dimensi ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga perencanaan perikanan yang hanya mempertimbangkan faktor alamiah eko-biologi semata, akan tidak optimal karena ada faktor manusia, misalnya politik dan ekonomi, yang tidak terduga (unforeseen).

Demikian juga sebaliknya, perencanaan perikanan yang hanya mendasarkan pada faktor ekonomi juga akan tidak optimal karena ada faktor eko-biologi yang tidak terduga. Singkat kata, karena sifatnya yang kompleks, pengambilan kebijakan publik perikanan sebaiknya menggunakan kerangka pemikiran sistem dan tidak boleh parsial. Agak berat memang. Namun, karena ciri umum perikanan yang kompleks, perikanan harus tetap dikelola dengan prinsip manajemen yang kuat (robust management) dan pada saat yang sama menggunakan pendekatan sistem yang inklusif.

Kedua, salah satu ciri khas utama perikanan dan sekaligus menjadi tantangannya adalah ketidakpastian (fisheries uncertainty) yang bersumber pada ketidakpastian alamiah (natural uncertainties) dan ketidakpastian manusia (human uncertainties). Charles (2000) menjelaskan bahwa ketidakpastian alamiah lebih banyak didorong oleh dinamika ekologi dan lingkungan yang lebih banyak beyond our control. Sementara ketidakpastian manusia lebih didorong oleh "ketidakpastian" preferensi, perilaku, dan terkadang kebijakan yang dalam beberapa hal can be under controlmelalui pendekatan regulasi dan tata kelola yang inklusif.

Dalam konteks ini, maka penulis setuju perikanan dikelola dengan pendekatan aksi, seperti yang sekarang dilakukan, tetapi mestinya tidak mengabaikan proses yang baik dan inklusif. Kebijakan perikanan adalah sistem yang fuzzy dan tidak harus mengikuti prinsip bilangan biner (binary number), nol atau 1. Dalam beberapa hal, kebijakan perikanan bisa juga menggunakan kaidah fuzzy, kombinasi, dan hibrida—tidak selalu ekstrem tidak boleh sama sekali atau sebaliknya ekstrem boleh semaunya. Inilah seninya perikanan. Perikanan bermain dengan ketidakpastian yang tinggi dan ini perlu pendekatan lain yang non-biner. Kebijakan biner hanya boleh untuk mengatasi perilaku yang buruk, misalnya memberantas pencurian ikan (illegal fishing) dan praktik-praktik perikanan yang tidak bertanggung jawab.

Command and control approach perlu dalam konteks pemberantasan illegal fishing, tetapi dalam perspektif "mengisi kedaulatan laut dengan pembangunan ekonomi perikanan berkelanjutan", sudah saatnya pemerintah bergeser dari pendekatan command and controlmenjadi pendekatan fisheries co-management, yaitu pembagian tanggung jawab secara adil dan beretika antara pemerintah dan pelaku usaha perikanan. Dan, ini memerlukan prasyarat: inklusif.

Ketiga, tujuan tata kelola perikanan adalah menjamin keberlanjutan perikanan itu sendiri. Kebijakan perikanan saat ini sudah benar dengan meletakkan pilar "sustainabilitas" paling tidak dalam konteks maksud besarnya. Namun, kita harus sadar bahwa keberlanjutan perikanan tidak hanya dalam konteks eko-biologi semata, tetapi juga keberlanjutan sosial, ekonomi, dan ditopang oleh tata kelola perikanan yang baik. Kementerian Kelautan dan Perikanan harus bijak dalam menerjemahkan keberlanjutan perikanan ini dengan tetap berpegang pada prinsip "institusionalisme", yaitu regulatif, normatif, dan kognitif.

Kebijakan saat ini sudah memenuhi prinsip regulatif dan normatif, tetapi tidak banyak menempatkan prinsip kognitif dalam proses pengambilan keputusannya. Prinsip kognitif ini mendorong keterlibatan para pemangku kepentingan kunci (key stakeholders) dalam proses. Inilah ciri perikanan inklusif. Tentu saja pelibatan para pemangku kepentingan kunci ini harus yang benar-benar "domba" bukan "serigala berbulu domba". Pemetaan para pemangku kepentingan tersebut harus berdasarkan "trusted", "transparansi", dan "fakta" bukan sekadar dugaan. Dalam kondisi distrusted fisheries seperti saat ini, panel independen untuk membantu mengurai akar masalah tata kelola perikanan ini menjadi perlu.

Institusionalisasi WPP

Lebih dari itu, tantangan perikanan saat ini adalah bagaimana mendesain dan menjelaskan kepada publik tentang the big picture dari perikanan ke depan, khususnya dalam perspektif rentang kendali tata kelola perikanan. Dengan rentang luas geografis sebesar Indonesia, seluruh persoalan perikanan tidak bisa dikendalikan dan diurus hanya dari Jakarta. Segenap langkah pengelolaan yang ada saat ini adalah ibarat pintu, meja, dan kursi, tetapi rumahnya belum kelihatan. Pintu rumah tipe 21 belum tentu pas untuk rumah tipe 350 dan sebaliknya.

Dengan demikian, kebijakan perangkat pengelolaan perikanan saat ini akan semakin efektif apabila pemerintah memikirkan dengan serius institusionalisasi percepatan industri perikanan melalui pembentukan dan penguatan unit tata kelola di tingkat wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Sebab, setiap WPP memiliki karakteristik yang berbeda, baik sistem alam, sistem manusia, maupun sistem manajemennya, sehingga karakterisasi WPP menjadi agenda penting danbusiness process setiap WPP boleh jadi berbeda.

Dengan demikian, apabila "rumah" untuk setiap WPP dapat dibangun, efektivitas tata kelola perikanan dapat ditingkatkan dengan tetap mempertimbangkan peran dan tugas masing-masing unsur pemangku kepentingan di setiap WPP. Institusionalisasi WPP dengan pendekatan semacam local fisheries management organization dapat menjadi instrumen untuk membuat perikanan lebih inklusif.

Apa pun dinamika yang ada saat ini, maka kita perlu terus mengawal kebijakan kelautan dan perikanan serta tugas kita untuk selalu memberikan solusi terhadap ketidaksempurnaan yang ada. Yang penting adalah semangatnya sama dalam kerangka mewujudkan perikanan berkelanjutan di Tanah Air kita, untuk saat ini, saat mendatang, dan untuk selamanya demi bangsa serta negara kelautan terbesar di dunia ini. Semoga.

LUKY ADRIANTO, DEKAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN IPB

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Perikanan Inklusif".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger