Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 14 Oktober 2016

Polemik Hak Pilih TNI (SABARTAIN SIMATUPANG)

Pada saat memperingati HUT Ke-71 TNI, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kembali menyinggung isu hak pilih TNI dalam pemilu. Beliau mengemukakan bahwa seperti di negara lain, prajurit TNI tidak menggunakan hak pilihnya. Isu ini jelas mendapat reaksi pro dan kontra dari sejumlah pihak. Meski demikian, Panglima TNI akhirnya menegaskan untuk sepuluh tahun ke depan hak pilih TNI belum saatnya diberikan. 

Seyogianya kita tak perlu berpolemik mengenai hak pilih TNI tersebut. Mungkin saja Panglima TNI hanya mengkhawatirkan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu nantinya. Politisi di DPR akan memunculkan perlunya pemberian hak pilih TNI sebagai "komoditas politik"-nya. Untuk tidak menimbulkan polemik berkepanjangan, sebaiknya semua pihak arif dan obyektif mempertimbangkannya dalam konteks kelanjutan reformasi TNI.

Reformasi kultural TNI

Reformasi internal TNI yang dilaksanakan hampir dua dasawarsa ini pada prinsipnya sudah banyak merespons dinamika tuntutan masyarakat. Saat ini pihak TNI terus berupaya melanjutkannya secara bertahap, meliputi baik aspek struktural maupun kultural. Upaya gradual ini bertujuan untuk mewujudkan postur TNI yang solid, andal, dan profesional.

Reformasi aspek struktural sudah dilaksanakan melalui pembenahan organisasi, doktrin, pendidikan dan latihan, serta pemenuhan kesejahteraan. Sesungguhnya reformasi struktural sulit diwujudkan secara optimal jika tidak didukung reformasi kultural.

Membangun kultur TNI yang demokratis sudah merupakan keputusan dari Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ditandaskan bahwa TNI harus mengikuti "kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia".

Dengan demikian, tuntutan profesionalisme TNI hendaknya diwujudkan dalam suatu kultur yang demokratis. Komitmen ini pun sebenarnya sudah diupayakan sejak awal reformasi internal TNI hingga sekarang. Hanya saja, yang menjadi persoalannya adalah kelanjutan program penuntasan reformasi ini masih terkendala pada realisasi penataan kultur TNI. 

Reformasi kultural dimaksudkan untuk mewujudkan karakter prajurit TNI yang profesional dan bermoral sesuai Sapta Marga, Delapan Wajib TNI, Doktrin TNI, serta ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini tidak mudah diwujudkan begitu saja karena kendalanya terletak pada perubahan tingkah laku prajurit TNI.

Dalam UU TNI tersebut, ketentuan yang relevan menjadi ukuran bagi TNI untuk dapat membangun kultur yang demokratis adalah "prajurit TNI tidak boleh berpolitik praktis" dan "harus bersikap netral dalam politik".

Sebenarnya harapan TNI setelah menjalani  proses reformasi jelas menginginkan agar diposisikan sebagai TNI yang profesional. Implikasinya memang secara kelembagaan TNI tidak boleh lagi berpolitik. Politik TNI adalah politik negara dalam rangka mengamankan kewibawaan, kedaulatan, dan konstitusi negara. Dengan demikian, profesionalisme TNI harus diwujudkan oleh setiap prajurit TNI dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Komitmen dan konsistensi peran ini secara hierarkis berada pada pundak perwiranya.

Oleh karena itu, keberhasilan reformasi internal TNI ini seyogianya menjadi pertimbangan mutlak bagi pemenuhan hak pilih TNI. Dalam konteks ini, pemenuhan profesionalisme TNI harus mendapatkan dukungan kebijakan dan anggaran dari pemerintah (presiden dan DPR). Kebijakan ini meliputi  kesejahteraan TNI dan dukungan pemenuhan kapasitas serta kapabilitas kekuatan TNI agar dapat menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, idealnya pemberian hak pilih TNI baru bisa dimungkinkan jika pemerintah telah berhasil mewujudkan profesionalisme TNI. Dalam hal ini, prajurit TNI juga telah menjamin dirinya bisa membuktikan keandalannya secara profesional, humanis, dan menghargai demokrasi.

Sikap arif DPR dan presiden

Dalam kaitan ini, komitmen Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta DPR untuk mendorong "agar TNI benar-benar menghargai demokrasi" perlu diangkat kembali. Hal krusial bagi TNI untuk meningkatkan keseriusannya menghargai demokrasi antara lain dengan pembuktian tidak berpolitik praktis dan netralitas TNI dalam setiap pemilu dan pilkada. Keputusan pelaksanaan komitmen TNI ini jelas mendapat tantangan yang serius, baik secara internal maupun eksternal.

Secara internal, jelas tantangannya menyangkut konsistensi sikap mental perwira pimpinan TNI dalam menyikapinya. Sementara secara eksternal, komitmen TNI mendapat tantangan dari sikap politik elite sipil yang bertendensi menarik-narik TNI ke kancah politik.

Menyimak sejumlah argumen yang dilontarkan oleh pihak yang pro hak pilih TNI sungguh dapat dapat dimaklumi. Argumennya adalah penggunaan hak memilih prajurit TNI dalam pemilu merupakan hak asasi setiap warga negara dalam suatu negara demokrasi. Sesuai dengan pandangan individualisme berdemokrasi, hak politik perseorangan merupakan tuntutan HAM yang diberikan kepada siapa pun, termasuk anggota militer.

Pemenuhan hak pilih TNI ini malah dianggap sebagai konsekuensi logis dari proses reformasi internal TNI, khususnya kewajiban untuk "tidak berpolitik praktis" dan "bersikap netral dalam politik" bagi prajurit.

Dari perspektif kepentingan yang lebih luas juga perlu dipertimbangkan dengan obyektif. Sejumlah faktor pertimbangan ideologis, yuridis konstitusional, dan sosiologis sebaiknya perlu dijadikan rujukan bagi pemenuhan hak pilih TNI. Sadar tidak sadar apabila sebagian masyarakat menghendaki agar hak pilih TNI segera diberikan perlu dikaji apakah hal ini sudah sesuai dengan pemahaman ideologi Pancasila.

Pandangan filosofis Pancasila secara prinsipiil menekankan adanya keseimbangan antara hak asasi dan kewajiban sosial setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, kalangan DPR perlu hati-hati untuk tidak begitu saja mewacanakan kembali hak pilih TNI tanpa adanya pertimbangan ideologis tersebut.

Dari pertimbangan yuridis konstitusional, pemenuhan hak pilih TNI merujuk pada konstitusi dan sejumlah ketentuan perundang-undangan. Diharapkan bahwa pemerintah dan DPR perlu mengkaji secara mendalam dasar-dasar pemikiran, landasan, serta konsekuensi hukum bagi pengaturan hak memilih dan dipilih setiap warga negara, termasuk hak pilih TNI.

Jangan sampai ketentuan yang sudah ada saling bertabrakan dan bahkan merusak tatanan sosial politik masyarakat, serta bertentangan dengan ideologi dan falsafah Pancasila tersebut. Kita tidak mengharapkan politisi di DPR memutuskan suatu kebijakan negara yang sarat dengan kepentingan sesaat dan demi kelompoknya.

Dari pertimbangan faktor sosiologis dalam berdemokrasi, pemenuhan hak pilih TNI ini baru layak diberikan negara jika kondisi sosial politik masyarakat memungkinkan. Dari pengalaman pemilu dan pilkada yang dilaksanakan secara langsung sejak masa reformasi,  kualitas berdemokrasi yang dipraktikkan di kalangan masyarakat belumlah optimal.

Perilaku politisi lewat aktivitas partai dan kiprahnya di DPR belum menunjukkan kedewasaan berdemokrasi. Kondisi ini jelas dikhawatirkan akan memengaruhi perilaku politik setiap warga negara, termasuk prajurit, dalam penggunaan hak pilihnya dalam pemilu. TNI yang dalam pelaksanaan tugasnya menggunakan senjata tentunya rentan jika terpolitisasi oleh kepentingan partai-partai politik. 

DPR bersama presiden sebagai lembaga penentu kebijakan lebih lanjut terhadap hak pilih TNI agar dapat berpikir jernih bagaimana sebaiknya dan kapan saat yang tepat untuk memberikannya kelak. Seyogianya pihak pemerintah (Menteri Sekretaris Negara), aktivis LSM, dan anggota DPR (Komisi I) tidak perlu menanggapi pendapat Panglima TNI secara reaksioner karena sesungguhnya Panglima TNI tidak dalam posisi yang berkeinginan untuk segera memulihkan hak politik TNI. Untuk itu, kita juga mengharapkan agar pimpinan TNI tidak tergiring pada upaya politisasi kelompok-kelompok politik tertentu yang dapat merugikan komitmen TNI dalam melanjutkan reformasi internalnya. Semoga!

SABARTAIN SIMATUPANG

Akademisi Universitas Pertahanan Indonesia dan Alumnus Magister Kajian Strategik Ketahanan Nasional Universitas Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Polemik Hak Pilih TNI".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger