Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 18 Oktober 2016

Sekitar Fungsi DPD (BAMBANG KESOWO)

Satu pertanyaan muncul setelah kasus penangkapan melalui operasi tangkap tangan Ketua Dewan Perwakilan Daerah mereda. Anggota DPD itu sejatinya wakil rakyatkah atau seperti namanya mewakili daerah?

Alih-alih menghadirkan jawab, pertanyaan tadi malah memancing pertanyaan yang lebih mendasar: apa persisnya fungsi DPD? Lalu akhirnya: perlu atau tidakkah DPD dalam sistem ketatanegaraan kita?

Sejarah pembentukan, ide dasar, dan perdebatannya pastilah terekam dan terbuka untuk dipelajari di perpustakaan MPR. Namun, apa dan bagaimanapun latar belakang pikir dan alur penjabarannya, pengaturan DPD dalam Pasal 22 C dan D dalam Bab VIIA UUD hasil perubahan ketiga, ataupun dalam UU MD3, memang tidak dengan jelas menjawab pertanyaan tentang hakikat fungsi, kedudukan, serta keberadaan DPD.

Bahwa DPD dilahirkan dalam gelora reformasi dengan segala aspirasinya, semua sudah tahu. Namun, apa latar belakang pemikiran dan filosofi yang melandasi serta bagaimana desain jabaran konseptualnya hingga muncul pertanyaan tadi, masih belum jelas benar. Munculnya pertanyaan-pertanyaan tadi, di balik desakan perbaikan pengaturan DPD melalui perubahan UUD agaknya ditangkap sebagai petunjuk tentang soal itu.

Pasal 22 C UUD bicara tentang pemilihan anggota DPD dari setiap provinsi melalui pemilu, tentang komposisi keanggotaan yang sama dari tiap provinsi dan total keanggotaan yang tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR, tentang bersidangnya yang sekali setahun, serta tentang susunan dan kedudukan yang akan diatur lebih lanjut dengan UU.

Pasal 22 D menentukan bahwa DPD dapat mengajukan RUU di bidang tertentu ke DPR, dapat ikut membahas, dan memberi pertimbangan terhadap RUU tertentu tersebut. DPD dapat mengawasi pelaksanaan UU tertentu tadi dan menyerahkan hasil kepada DPR dan tata cara pemberhentian anggotanya.

Perwakilan daerah

UU MD3 2009 dan kemudian 2014 yang mengatur kedudukan, susunan, dan fungsi DPD menahbiskan di awal bab pengaturannya bahwa DPD adalah lembaga perwakilan daerah. Fungsinya adalah pengajuan usul dan ikut dalam pembahasan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran atau penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; memberi pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama; dan pengawasan pelaksanaan UU yang berkenaan dengan soal-soal tadi. (Jangan-jangan ini sekadar kekaguman pada konsep kelembagaan yang mirip di negara lain, menuntun lahirnya sebutan "senator" bagi para anggota DPD).

Dengan rumusan UU MD3 tentang tugas dan kewenangan yang prinsipnya masih sejajar dengan fungsi di atas, lalu sedikit tambahan sekitar hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK, serta keikutsertaan DPD dalam penyusunan program legislasi yang berkaitan dengan aspek kedaerahan tadi, secara keseluruhan fungsi DPD memang bagai penggalan (dan berimpit dengan) fungsi-fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran DPR. Bedanya, kesejajaran tadi hanya terbatas pada hal-hal tertentu.

Maka kalau ada pertanyaan perlukah kalau sekadar ikut serta dalam proses yang hanya sebagian dan tertentu tadi, mungkin jawabnya cenderung negatif. Sebab, di tengah keterbatasan tadi, tampil pertanyaan lain. Kompetensi manakah yang tidak dimiliki wakil rakyat di DPR yang kiranya tidak menjangkau aspek-aspek kepentingan rakyat dan daerah dalam beberapa hal yang tertentu tadi? Apabila kompetensi itu mestinya ada, lantas mengapa ada lagi lembaga seperti DPD?

Kalaupun dicoba merunut dan memahaminya dengan sudut pandang dan kepentingan seperti yang disorongkan para anggota DPD, mungkinkah yang diinginkan adalah dimilikinya fungsi yang lebih luas (seluas kewenangan legislasi DPR) atau yang lebih dalam (tidak sekadar mengusulkan dan ikut membahas, tetapi juga menyetujui atau tidak menyetujui RUU)? Mungkinkah itu latar belakang keinginan DPD untuk mengubah lagi UUD? Jika demikian, perlukah ada dua lembaga yang hanya berbeda nama, tetapi fungsi serupa? Jangan-jangan memunculkan komentar, "Satu saja kayak gini, apalagi dua"?

Agar masyarakat awam dapat memahami, mungkin baik ditanyakan dengan kalimat yang sederhana: dalam konteks tujuan dan fungsi negara, apa keberadaan DPD benar-benar dibutuhkan? Apa landasan pikir dan tujuan untuk menjelaskan kebutuhan tersebut? Kalau dibutuhkan, bagian fungsi negara yang mana yang akan dipikulkan kepadanya? Pemahaman terhadap masalah tersebut bersifat mendasar karena dibolak-balik pun, justifikasi terpulang pada jawaban pertanyaan itu. Meskipun sederhana, perlu kejujuran dan kearifan menjawabnya. Sebab, sedikit banyak hal itu akan menyangkut tiga hal.

Pertama, menyoal eksistensi DPD yang telah ada dan mengungkit latar pikir dan tujuan pembentukan DPD. Kedua, bahasan soal tersebut akan menjadi ujian ulang, khususnya mengapa kita tidak menganggap cukup konsepsi utusan daerah dan golongan pada masa sebelumnya. Apabila hanya karena kelemahan atau kekurangan dalam praktik, mengapa harus mengubah sistem? Ketiga, perlu disadari benar dan dengan sikap konsisten, konsekuensi yang harus dihadapi. Mengabaikan itu semua, hanya menyeret kita dalam jebakan kepentingan politik sempit dan biasanya jangka pendek. Kita hanya akan sekadar mengubah tanpa pemikiran matang, tanpa pola, tanpa visi yang jauh.

Usung perubahan

Karena itu, jika selama ini anggota DPD menginginkan perubahan, apakah semua itu sekadar ingin punya fungsi dan kewenangan yang lebih besar serta kekuasaan yang sama seperti DPR? Atau dengan ungkapan yang lebih gagah, mengusung perubahan yang bergerak dalam pola pikir sistem dua kamar/bikameral dalam parlemen, seperti ada majelis rendah (house of commons) dan majelis tinggi (house of lords)?

Bergerak dengan alur pikir di atas, kalau sistem bikameral tadi yang dikehendaki, maka yang kini namanya DPR harus mau jadi bagian dari rumah atau badan yang lebih besar, sebagai sejenis majelis rendah, walau masih ingin menggunakan nama sebagai house of representatives. Sebaliknya, DPD jika benar ingin menjadi sejenis majelis tinggi, tidak lagi relevan membawa kata "daerah" dalam namanya. Perlu konsisten karena sistem dua kamar seperti itu hanya ada dalam satu badan. DPR ataupun DPD bahkan tidak lagi berupa lembaga tinggi negara seperti sekarang ini.

Secara konseptual, sejarah pemikiran tentang bikameral memang dilandasi keinginan mewujudkan keseimbangan guna mengerem-apa pun nama atau istilahnya-ekses atau bahkan amuk demokrasi (the fury of democracy). Dalam bahasa halusnya, kalau kita kembali pada masa lalu (yang lama sekali!) ketika orang memikirkan sistem yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya demokrasi.

Di AS, di mana sejarah politik, demokrasi, dan konstitusi berawal di pantai timur (dengan akar yang kuat dalam peradaban Inggris), kekaguman terhadap kehebatan sistem demokrasi di Inggris telah memberi warna yang tebal. Sekalipun begitu, khususnya dalam sejarah Senat di AS, tokoh-tokoh bangsa itu menggambarkan keinginan tentang keseimbangan dengan ungkapan perlunya proses yang lebih matang, tenang, dan lebih berkearifan dalam berdemokrasi. Karena ide itu pula, para pendahulu bangsa sedari awal merumuskan syarat lebih tinggi, antara lain minimum umur yang lebih tinggi (senioritas) dan rekam jejak yang lebih panjang, dibanding calon anggota DPR mereka.

Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, selain isu keseimbangan dalam penyelenggaraan demokrasi, kebutuhan untuk menjaga kepentingan negara bagian khususnya yang berpenduduk sedikit, sedari awal juga mewarnai pemikiran tentang sistem perwakilan dalam Kongres AS. Perlu diingat, negara-negara (bagian) di AS lahir terlebih dahulu dan rakyat di negara-negara (bagian) itulah yang membentuk negara AS. Kebutuhan bahwa suara dan kepentingan rakyat negara-negara (bagian) yang kecil tetap dijamin didengar dalam sistem demokrasi dan pengambilan keputusan di AS yang lebih besar, setidaknya juga melandasi kelahiran kelembagaan Senat di negara tersebut. Dukungan besar Kongres AS yang memberi persetujuan ketika Presiden AS memutuskan menggelontorkan dana yang luar biasa besar bagi pembangunan beberapa dam di Sungai Tennessee, guna menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi di masa krisis sekitar tahun 1930-an, memberi gambaran soal tadi. Hanya dinamika kehidupan dan perkembangan kohesivitas bangsa AS yang kian menguat apalagi dihadapkan tantangan menjelang, ketika, dan sesudah Perang Dunia II, mendorong wacana bangsa lebih meningkat ketimbang isu negara-negara (bagian). Sejak itu, Senat dalam Kongres AS kian lebih banyak menitikberatkan penanganan "rakyat" ketimbang "kedaerahan asal" mereka.

Bilamana kita bandingkan, hal ini jelas berbeda ketika NKRI kita lahir lebih dahulu dan provinsi yang baru kita bentuk kemudian. Karena itu, perlu jelas apa dan yang mana sebenarnya yang kita inginkan. Ingin DPD dengan segala anomalinya seperti saat ini atau seperti sistem bikameral dengan segala konsekuensinya. Sebagai bandingan, kita memiliki sistem dalam UUD yang belum diubah, dalam mewujudkan perwakilan dan permufakatan.

Pelajaran yang baik untuk ditarik, adaptasi suatu konsep memang tidak boleh lepas dari sejarah pemikiran, filosofi, dan kebutuhannya. Jelas berbeda dari sekadar mengadopsi. Memetik bagian hanya yang enak dan terhormat itu biasa. Namun mengambil begitu saja, apalagi untuk sebuah sistem, akhirnya hanya menampilkan wajah yang tambal sulam, lalu bingung sendiri. Kalaupun itu semua sekadar eksperimen akademik, menjadi terlalu mahal bagi arah dan perjalanan kehidupan bernegara dan berbangsa.

BAMBANG KESOWO

Ketua Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Sekitar Fungsi DPD".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger