Pertama kita garis bawahi keprihatinan bahwa terjadi kenaikan jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD), dari 129.650 kasus dengan 1.071 kasus kematian tahun 2015 menjadi 155.927 kasus dan 1.296 kasus kematian tahun 2016. Di samping itu, DBD lebih banyak menyerang orang dari rentang usia 15-44 tahun, yang merupakan rentang usia produktif.
Untuk biaya pengobatannya, ahli epidemiologi UI Tri Yunis Miko Wahyono menyebut Rp 1,8 triliun per tahun. Itu belum termasuk biaya pencegahan memberantas sarang nyamuk, pengasapan, atau pemberian larvasida pembunuh jentik nyamuk. Jika hilangnya waktu produktif bekerja, sekolah, dan izin menunggui keluarga yang sakit dihitung, beban ekonomi akibat DBD akan bertambah.
Dalam karya ilmiahnya, Melody Tan dan sejawatnya menyebut beban ekonomi DBD di Indonesia sekitar 300 juta dollar AS atau setara Rp 3,9 triliun per tahun. Ini sepertiga dari beban biaya akibat DBD di ASEAN.
Kata kunci yang kita dapat dari uraian di atas ialah selain merenggut nyawa orang terkasih, DBD juga menimbulkan kerugian dan beban ekonomi yang terus membesar.
Yang ingin kita soroti juga adalah diperolehnya vaksin dengue CYD-TDV melalui riset selama 20 tahun. Kita salut pada penelitian yang diprakarsai perusahaan Sanofi Pasteur dari Perancis yang didukung peneliti Indonesia seperti Prof Sri Rezeki Hadinegoro.
Daya keampuhan vaksin ini 65,6 persen, mampu menekan kasus dengue 80,8 persen, dan mengurangi DBD berat 92,9 persen. Diakui bahwa vaksin ini tidak mampu memberikan perlindungan 100 persen, tetapi dari hasil itu sudah memberi harapan. Keterlibatan warga Indonesia dalam penelitian dan pengujiannya sangat kita hargai.
Hal lain yang juga sangat kita hargai, aktivitas penelitian itu sendiri. Ini hal yang amat penting untuk negara kita, yang dari waktu ke waktu terus diancam oleh bahaya penyakit, baik yang bersifat infektif maupun degeneratif.
Sekarang kita masih dalam kepungan DBD dan suatu saat nanti, penyakit DBD bisa kita atasi. Namun, nanti akan muncul varian penyakit ini yang lebih hebat lagi daya serangnya, hal yang menuntut manusia untuk bekerja kreatif lagi dalam mengatasinya.
Upaya merespons tantangan alam ini dalam sejarah kemajuan manusia hanya bisa dilakukan melalui riset. Namun, riset punya tantangan khusus, yakni membutuhkan SDM pintar dan tekun, biaya, dan sabar. Tanpa semangat dan kultur itu, kita akan terus disandera oleh penyakit dan kita tahu betapa mahal dan merugikan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 November 2016, di halaman 6 dengan judul "DBD dan Riset Kesehatan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar