Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 08 November 2016

TAJUK RENCANA: Turki dan Masalah Kurdi (Kompas)

Situasi politik di Turki memanas lagi dan boleh jadi akan berlarut-larut selagi buntut usaha kudeta gagal 15 Juli silam belum berakhir.

Tindakan penangkapan terhadap sembilan anggota parlemen dari partai oposisi pro Kurdi, Partai Demokratik Rakyat (HDP), tak pelak lagi membuat suhu politik di Turki memanas. Penangkapan tersebut terkait dengan aksi isu terorisme oleh Partai Pekerja Kurdistan (PKK).

Bahkan, karena tindakan penangkapan terhadap sembilan anggotanya itu, HDP mengancam akan menarik semua anggotanya dari parlemen. Komposisi parlemen saat ini adalah Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) menduduki 317 kursi, Partai Rakyat Republik (CHP) menguasai 134 kursi, HDP menduduki 59 kursi, dan Partai Gerakan Nasionalis (NHP) memiliki 40 kursi. Jumlah semua anggota parlemen 550 orang.

Mundurnya HDP dari parlemen memang tidak akan menggoyahkan dominasi AKP, partai yang memerintah. Akan tetapi, hal itu tetap akan mengganggu keseimbangan di parlemen, sekurang-kurangnya akan mencederai sistem demokrasi di Turki; dan menegaskan penguasa mempergunakan kekuasaannya untuk melemahkan oposisi.

Yang perlu dicatat adalah isu Kurdi bukanlah masalah baru di Turki. Konflik Kurdi ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan "Masalah Kurdi", bukan lagi sekadar "isu" yang bisa diragukan kebenarannya. Kalau dikatakan sebagai "masalah", tentu perlu penyelesaian atau harus diselesaikan agar tidak menjadi penyakit nasional yang menggerogoti stabilitas ekonomi dan keamanan serta politik dan sosial, kemasyarakatan Turki.

Persoalannya adalah hingga kini belum ditemukan formula yang pas, yang disepakati kedua belah pihak, untuk menyelesaikan "Masalah Kurdi" itu. Menyelesaikan "Masalah Kurdi" memang tidak mudah. Apalagi, masalah ini memiliki akar kultural dan sejarah yang dalam dan dapat dilacak ke zaman Kesultanan Ottoman. Karena itu, "Masalah Kurdi" adalah masalah yang sangat menyakitkan dan sangat sulit bagi Turki.

Turki Modern, yang didirikan Mustafa Kemal Atatürk pada tahun 1923, tidak pernah menerima gagasan minoritas etnik Kurdi dengan hak-hak minoritasnya. Dalam konstitusi pun hanya disebut "warga negara Turki" tidak ada pembedaan etnis yang jelas. Di sinilah letak perbedaannya dengan Indonesia yang mengakui keanekaragaman agama, suku, ras, etnik, bahasa, dan budaya, tetapi menjadi satu kesatuan, yakni bangsa Indonesia.

"Masalah Kurdi" ini akan menjadi masalah permanen bagi Turki dan akan sangat mengganggu jika tidak ada keberanian untuk mengambil terobosan untuk menyelesaikannya. Sementara itu, Turki juga menghadapi banyak persoalan lain, baik karena faktor internal maupun eksternal: isu Gulen, perang, dan pengungsi Suriah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Turki dan Masalah Kurdi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger