Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 08 Desember 2016

Demi Kekukuhan NKRI (DAOED JOESOEF)

Perkembangan sosio-politik yang kita saksikan serta situasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang kita alami belakangan ini semakin jelas menunjukkan betapa rawannya eksistensi NKRI.

Negara-bangsa kita ternyata belum berupa satu organisme yang cukup dewasa, suatu keseluruhan yang artikulatis, terdiri atas bagian-bagian yang punya fungsi spesifik, tetapi baru merupakan suatu tumpukan lepas materi. Berhubung tak melekat satu sama lain, ibarat beras yang gampang berserakan, jika diterpa suatu tiupan destruktif. Tiupan ini adalah hasutan radikalisasi kepentingan golongan internal dan ancaman eksternal yang mengarah ke balkanisasi Indonesia. Dengan kata lain, NKRI belum berupa satu struktur dan, karena itu, tidak berkemampuan sembuh sendiri (self healing) bak kiambang yang tidak dengan sendirinya bertaut setelah lewat biduk berkekuatan membelah.

Kita tahu benar bahwa negara-bangsa Indonesia yang membentuk NKRI adalah suatu komunitas majemuk di aneka bidang kehidupan. Berhubung punya tekad hidup demokratis yang kini tidak lagi bersifat langsung individual seperti di zaman negara kota Yunani Purba, kini demokrasi memerlukan perwakilan. Kita bersepakat mendirikan partai politik yang kian dipertegas oleh gebrakan reformasi. Namun, parpol sekarang semakin jelas tidak punya ideologi, tetapi kepentingan yang dikemas bagai opini yang sama sekali tidak mengikat orang yang mengutarakannya, apalagi orang-orang separtai.

Sementara sebelum suatu komunitas, suatu kluster human, secara efektif mengurus perjalanannya sendiri, ia memang perlu lebih dahulu mengembangkan sebuah subsistem yang berspesialisasi dalam menghasilkan keputusan kolektif yang mengikat. Kita dahulu sepakat bahwa subsistem tersebut adalah Pancasila yang dinyatakan sebagai filosofi dasar baik bagi negara-bangsa maupun NKRI.

Seorang intelektual Belanda pernah mengatakan dengan sinis agar tidak meminta orang Indonesia memaparkan filosofi Pancasila. Dia akan berbicara panjang lebar hingga sulit dihentikan karena dengan begitu dia merasa sudah membuktikan "berpancasila", sudah pancasilais. Padahal berpretensi punya filosofi, apa pun namanya, tidak dengan sendirinya berarti telah berfilosofi, apalagi telah mengamalkannya. Mempunyai filosofi adalah satu hal, berfilosofi dalam melakukan suatu tindakan hal lain lagi.

Pengamalan Pancasila

Di zaman Orde Baru tahun 1980-an, sekelompok dosen berusaha merumuskan ekonomi Pancasila. Pada era reformasi, seorang daripada perumus tersebut diangkat menjadi wakil presiden. Melihat kedudukan formal politik yang begitu penting di bidang eksekutif berarti sejarah telah memberikan kesempatan kepada dia untuk mewujudkan sepenuhnya ide ekonomi Pancasila.

Ternyata tidak demikian. Selaku tokoh nomor dua penting dalam pemerintahan NKRI dia tentu sering memberikan wejangan. Dia memang telah membicarakan banyak hal, kecuali ekonomi Pancasila. Dia biarkan ekonomi Indonesia berkembang ke arah yang kian nonpancasilais. Sambil duduk di kursi kekuasaan eksekutif yang serba empuk dia menyaksikan merajalelanya realitas kehidupan ekonomi yang bertolak belakang dengan ideal yang dirumuskannya dulu ketika menjadi dosen.

Hukum formal memang tidak bisa menuntutnya agar berbicara lantang demi mewujudkan ekonomi Pancasila. Namun, nurani human bisa mengualifikasi sikapnya ini tidak hanya sekadar beda perbuatan dan ucapan, tetapi sebagai suatu "pengkhianatan intelektual". Ini memang suatu pengkhianatan besar mengingat dosen adalah guru, seorang tokoh yang seharusnya bisa ditiru dan digugu.

Kalau Pancasila memang hendak diamalkan, dibuat membumi, tidak dipakai hanya sebagai basa-basi politik, kita perlu mengaitkan filosofi Pancasila dengan "kehidupan sehari-hari". Hidup ini sebenarnya urusan setiap orang. Dia terlibat dalam kehidupan dari hari ke hari, yang sarat dengan nilai, ritual, dan mitos. Maka, keseharian ini bukan sekali-kali merupakan obyek yang semata-mata dikhususkan bagi ilmuwan atau pakar tertentu, apakah orang ini sosiolog, yuris, ekonom, dokter, filosof, atau politikus. Kita akui kebiasaan sehari-hari itu ada jika kita, selaku individu dan warga andalan negara-bangsa Indonesia, berusaha mempertanyakan langsung "kepancasilaan" dari setiap tindak tanduk kita, lebih-lebih jika ia terkait langsung dengan kepentingan publik.

Sikap ini tentu lebih dituntut pada para petinggi negara di kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Berarti, Presiden Joko Widodo pantas mempertanyakan relevansi (rencana) kerja dan kebijakan dengan Pancasila dari setiap menteri dan staf kabinetnya. Misalnya, mana kepancasilaan dari amnesti pajak? Mana kepancasilaan dari pembangunan megaproyek bandara internasional Jawa Barat yang sebelumnya tidak mengajak bermusyawarah para petani yang harus mengorbankan sawah dan huniannya? Apakah sikap pemerintah yang tidaknguwongke mereka sesuai dengan diktum sila kedua dan kelima Pancasila?

Sila mana dari Pancasila yang membenarkan pencabutan subsidi BBM? Apakah pancasilais kalau PBB dikenakan juga atas pekarangan dan bangunan persekolahan? Bukankah terpenuhi sila kedua dan kelima kalau pemerintah (Bulog) yang memborong beras sewaktu panen dengan harga masuk akal bagi petani untuk kemudian dijual relatif murah kepada warga kota, sebab dengan begitu yang memberi subsidi kepada kaum urban (termasuk buruh) bukan petani tetapi pemerintah?

Kalau kebijakan ini cukup pancasilais, mengapa tidak dilaksanakan oleh pemerintah? Kalau tidak, apa alasan kepancasilaannya? Apakah usaha membangun dinasti politik keluarga pancasilais? Usaha ini pantas diuji mengingat yang koruptif itu bukan the power an sich, tetapi nafsu untuk terus berkuasa (the will to remain in power). Apakah sikap presidensial ini tidak terlalu berlebihan? Sama sekali tidak! Sikap tersebut malah diniscayakan. Presiden bisa saja tegak diam di tengah arus sungai tetapi tidak di suatu komunitas human di mana dia dipilih selaku pemimpinnya.

Dengan demikian juga menjadi jelas apakah suatu kebijakan dalam dirinya merupakan tujuan atau sekadar jalan/cara (means) untuk mencapai tujuan. Bisa jadi jalan/cara tak pancasilais, selagi tujuannya relevan dengan Pancasila atau sebaliknya. Jadi dengan nalar kita membuktikan kelayakan Pancasila, bukan mengetengahkan dongeng "Kesaktian Pancasila".

Nilai-nilai keindonesiaan

Selain dengan pengamalan Pancasila, kita bisa juga mengukuhkan NKRI melalui penerapan nilai-nilai keindonesiaan sebagai pelekat. Hikmat Pancasila dan peran nilai keindonesiaan ini tidak berlawanan, bersifat derivatif dan suplemen, bisa saling memantapkan, misi nasional masing-masing. Demikianlah pendapat sementara intelektual kita yang berdialog sebulan sekali, guna "menggali" nilai-nilai ini.

Adalah Yayasan Suluh Nuswantara Bakti yang memprakarsai dialog ini, sejenis musyawarah antarwarga Indonesia dari semua profesi dan vokasi, sipil dan militer, termasuk mahasiswa dan pelajar. Mirip pertemuan "Senin malam Selasa kliwonan" yang dulu diadakan Boedi Oetomo di kalangan mahasiswa kedokteran.

Setiap dialog keintelektualan dihadiri oleh rata-rata seratus orang dari Jakarta dan kota-kota lain. Setelah berjalan hampir dua tahun sejak Agustus 2015, dialog ini berhasil menjaring 45 nilai kebudayaan penting bagi "Nilai Keindonesiaan". Ia kemudian dikelompokkan menjadi Lima Gugus Nilai Budaya Bangsa Indonesia: Kebangsaan, Unggul, Mandiri, Gotong Royong, dan Amanah.

Dari kluster nilai-nilai tersebut satu di antaranya, yaitu Kebangsaan, berkualifikasi strategis. Artinya, pemantapan penghayatannya akan membuka jalan untuk memudahkan penyelesaian masalah lain.

Sementara semua nilai secara konseptual berbobot sama, ada nilai-nilai yang lebih penting daripada yang lain jika diterapkan di suatu wilayah tertentu, pada suatu waktu tertentu. Artinya, nilai yang dianggap tepat di Jawa tidak dengan sendirinya tepat di Papua. Bahkan, di Jawa atau di Papua bobot relevansi setiap nilai bergantung pada situasi dan kondisi lokalitas penerapannya. Maka itu, jumlah nilai selaku konseptualisasi ideal bisa membingungkan karena berpembawaan kondisional. Bisa saja bukan yang banyak itu berarti baik tetapi yang baik itu, secara faktual, adalah banyak.

Penerapan nilai-nilai keindonesiaan, sama dengan kepancasilaan, perlu dilakukan sedini mungkin, yang berarti dijadikan bagian kegiatan dari sistem pendidikan. Bukan ditambahkan pada kurikulum, tetapi cukup sebagai acuan dalam pembinaan karakter atau ketika murid-murid perlu berkarya kolektif, seperti membuat perahu, menata taman, mengatur ruangan upacara, dan lain-lain. Pelaksanaan jenis kekaryaan ini mau tidak mau memerlukan seorang pemimpin. Berarti mereka dibiasakan mengakui dengan ikhlas "kelebihan" orang lain.

Kebesaran suatu bangsa merupakan integrasi dan sinergi banyak elemen. Jika rakyat, terutama lapisan elitenya, bobrok secara politis, akan sia-sia mengharapkan apa pun kebajikan dari sistem pendidikan yang paling sempurna. Kemajuan pendidikan, jika benar-benar suatu organ fungsional dari bangsa, tergantung lebih banyak pada suasana budaya di mana ia dijadikan bagiannya ketimbang pada suasana pedagogis yang diciptakan secara artifisial di dalam labirin pendidikan.

Kelangsungan (survival) negara-bangsa pada tingkat pertama dan terakhir terjamin oleh perilaku murid-murid di arena permainan sekolah ketimbang di area latihan akademi militer. Sebab, kedewasaan sudah terpolakan ketika selaku bocah menemukan keseriusan selagi sedang bermain, keseriusan yang memupuk kompetensi. Dengan kata lain, kesejatian kancah penempaan perwira yang berkarakter dan berjiwa pemimpin sudah berawal di arena permainan anak-anak.

Setelah Inggris mengalahkan agresi Napoleon, ada adagium The battle of Waterloo was won on the playing fields of Eton. Eton adalah sebuah sekolah umum yang tidak hanya membina kecerdasan, tetapi juga karakter. Tidak disebut dalam adagium tersebut. was won on the training areas of Sandhurst (Akademi Militer). Kesungguhan dan kompetensi merupakan satu kombinasi yang kuat. Kalau dalam politika, hal itu sudah merupakan segala-galanya.

DAOED JOESOEF

Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Demi Kekukuhan NKRI".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger