Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 07 Desember 2016

TAJUK RENCANA: Bencana dan Peran Kita (Kompas)

Hujan lebat disertai angin kencang melanda beberapa kawasan di Indonesia, dan ini masih akan berlangsung hingga pertengahan Desember.

Cuaca memang sedang tak menentu. Badai tropis yang biasanya muncul di utara dan selatan tidak kelihatan. Mengutip Paulus Agus Winarso, pakar meteorologi dan geofisika, pemicu penyimpangan cuaca yang belum banyak disoroti adalah gelombang udara yang bergolak.

Dampaknya sudah dirasakan bersama: bencana banjir dan longsor yang berlangsung sepanjang tahun 2016. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprakirakan, kerugian akibat bencana yang 80 persen didominasi banjir dan longsor itu setara Rp 30 triliun-Rp 40 triliun, tertinggi di ASEAN. Sebagian bahkan terjadi pada periode yang biasanya masuk kategori musim kemarau.

Meningkatnya suhu Bumi adalah faktor lain perubahan iklim ini. Suhu di Laut Jawa, Selat Karimata, dan Laut Maluku yang naik 0,6-0,8 derajat celsius dalam kurun 1954-2007 membuat uap air tinggi sehingga hujan turun sepanjang kemarau (Kompas, 21/10/16).

Pulau Jawa adalah yang paling rentan bencana karena luas hutannya tinggal 11 persen dari total luas Pulau Jawa. Itu pun masih terus dikonversi. Menurut BNPB, dari 118 kabupaten atau kota di Jawa, 94 rawan banjir. Kondisi Indonesia secara keseluruhan juga tak jauh beda. Dalam 25 tahun terakhir, hutan Indonesia berkurang 42,35 juta hektar dan masih terus menurun. Rendahnya daya dukung lingkungan selaras dengan naiknya frekuensi bencana.

Kondisi itu semakin diperburuk dengan tidak ditaatinya penataan ruang. Kawasan Bandung Utara sebagai contoh dikuasai 250 pengembang. Padahal, keputusan Presiden dan surat keputusan Gubernur Jawa Barat sudah menetapkan kawasan ini sebagai area konservasi.

Bandung Utara adalah wilayah tangkapan air yang menyediakan 70 persen cadangan air tanah. Ketika berubah menjadi hutan beton, air yang harusnya terserap melimpas membanjiri Bandung dan sekitarnya.

Merebaknya hutan beton juga memicu fenomena heat island, yaitu efek pemanasan daerah perkotaan. Panas ini memengaruhi gelombang udara dan berkontribusi pada cuaca ekstrem di kawasan Bandung.

Dengan demikian, bencana datang bukan karena faktor iklim semata. Ada faktor antropogenik, dalam hal ini ulah manusia, sebagai pemicu bencana di Tanah Air. Oleh karena itu, upaya pengurangan risiko juga kembali bergantung kepada manusia.

Mengembalikan daerah tangkapan air pada fungsinya harus diikuti dengan penerapan pembangunan berkelanjutan yang konsisten dan tanpa kompromi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Bencana dan Peran Kita".



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger